Namanya Diandra Ayu Lestari, seorang perempuan yang begitu mencintai dan mempercayai suaminya sepenuh hati. Baginya, cinta adalah pondasi rumah tangga, dan persahabatan adalah keluarga kedua. Ia memiliki seorang sahabat yang sudah seperti saudara sendiri, tempat berbagi rahasia, tawa, dan air mata. Namun, sebaik apa pun ia menjaga, kenyataannya tetap sama, orang lain bukanlah darah daging.
Hidupnya runtuh ketika ia dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai, suaminya, dan sahabat yang selama ini ia anggap saudara.
Di tengah keterpurukannya ia bertemu ayah tunggal yang mampu membuatnya bangkit perlahan-lahan.
Apakah Diandra siap membuka lembaran baru, atau masa lalunya akan terus menghantui langkahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa sakit yang mengubahku
Abian terus berlari untuk mengikuti langkah tergesa Diandra yang hampir mendekati pagar sekolah. Anak kecil itu langsung memeluk kaki panjang Diandra yang dilapisi celana kain berwarna cream.
"Bu gulu nggak boleh pelgi," lirih Abian dengan air mata berderai. Anak kecil itu tidak tahu apa-apa tetapi mendengar teman-temannya mengatakan bu guru baik tidak akan kembali ke sekolah lagi membuat dia bersedih.
"Abian kok ada di luar?" Diandra tersenyum meski ada rasa terkejut tahu anak didiknya mengikuti sampai di pagar. Ia jongkok dan menghapus air mata di pipi Abian. Satu-satunya siswa yang akrab dengannya sebab Abian lebih memilih bermain bersamanya dibandingkan anak-anak yang lain.
"Bu gulu nggak boleh pelgi."
"Bu guru ada urusan, Sayang. Lagian di sini banyak kok yang sayang sama Bian selain bu guru."
"Tapi Bian mau sama bu gulu." Mengusap kasar air matanya.
"Sini peluk." Diandra merentangkan tangannya menunggu Abian masuk kepelukannya. Sebenarnya ia juga tidak rela meninggalkan sekolah di mana separuh jiwa dan bahagianya ada di sana.
Namun, dia memiliki tanggung jawab besar yaitu perusahaan. Mengerti tidaknya ia harus belajar tentang dunia bisnis karena tidak ada lagi yang bisa ia andalkan. Luka yang diberikan oleh sahabat dan suaminya membuat dia sulit untuk mempercayai orang lagi.
Bahkan luka itu menenam dendam di hati yang bahkan melukai seseorang saja tidak tega ia lakukan.
Orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti
Kalimat itu mewakili sikap Diandra saat ini. Berusaha tetap kuat dan tegar agar harga dirinya tidak diinjak oleh orang lain untuk kedua kalinya.
"Bu gulu tetap disini."
"Meski bu guru nggak datang ke sekolah lagi, Bian bisa kok bertemu bu guru saat pulang sekolah. Bian bebas telepon bu guru kapan saja jika rindu."
"Benelan?"
"Iya Sayang."
"Bu gulu janji?" Abian menaikkan jari kelingkingnya.
"Janji." Diandra mengaitkan jari mereka berdua. "Ayah, buna dan om Hansen punya kontak bu guru, Bian bebas menyuruh siapa saja jika sedang kangen."
"Sekarang Bian masuk kelas dan belajar yang giat." Mengelus bahu Abian.
Abian mengangguk ragu ekspresi wajahnya menjelaskan anak kecil itu tidak ikhlas masuk ke kelas dan membiarkan Diandra pergi begitu saja.
Melihat Abian melambaikan tangan, Diandra pun melakukan hal yang sama. Dia meninggalkan lingkungan sekolah setelah memastikan Abian bertemu seorang guru yang akan membawanya ke kelas.
Sesampainya di apartemen, Diandra menanggalkan pakaiannya, bersiap-siap untuk menghadiri beberapa kursus tentang dunia bisnis.
Atensi Diandra teralihkan pada benda pipih yang terus berdering dan ia sengaja megabaikan sebab tahu dari suaminya.
"Ada apa?" tanya Diandra dengan nada sedikit dingin. Ia akhirnya menjawab panggilan itu agar tidak menganggu fokusnya.
"Kamu yang memblokir beberapa kartu kreditku dan mama?" Suara Ramon terdengar menahan emosi.
"Iya."
"Keterlaluan kamu. Akibat ulahmu itu mama hampir saja dipermalukan saat belanja kemarin."
"Aku hanya menonaktifkan apa yang sudah nggak jadi kewajibanku lagi. Uang itu hasil kerja keras orang tuaku. Bukan untuk berfoya-foya kamu, mamamu dan selingkuhanmu."
"Keterlaluan kamu Diandra! Sekarang sudah berani melawan aku bahkan mempermalukan mama."
"Keterlaluan?" Diandra senyum sinis tanpa Ramon lihat. "Lalu bagaimana denganmu? Kamu juga mempermalukan aku dengan selingkuh bersama sahabatku sendiri. Kamu dan mamamu menginjak harga diriku sebagai seorang wanita Ramon. Dokter mengatakan aku baik-baik saja dan nggak ada kelainan pada rahimku, tapi kalian selalu menudingku dan menyebarkan rumor pada orang-orang sekitar bahwa aku nggak bisa memiliki anak!" Dadanya naik turun, tetapi ada rasa lega terselip di antara emosinya. Seolah beban yang memberatkan pundaknya menghilang.
"Aku kira kamu nggak tahu rasanya malu," lanjut Diandra.
Ia memejamkan matanya mendengar suara meja di seberang telepon. Meja itu sepertinya dibanting oleh Ramon.
"Kamu nggak akan bisa lepas dari aku begitu saja Diandra!"
"Kita lihat nanti."
Diandra memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Duduk di bibir ranjang sambil menutup kedua wajahnya dengan tangan.
"Aku nggak keterlaluan kan? Mereka pantas mendapatkannya kan?" lirih Diandra yang kini merasa bersalah. Ternyata tekadnya untuk menjadi jahat sering kali tidak sesuai dengan hatinya.
"Ini sudah benar, mereka yang memulai. Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku," lanjutnya. Seolah dia mempunyai kembaran dengan kepribadian berbeda.
***
Sudah satu minggu sejak pemblokiran beberapa kartu kredit Ramon dan mertuanya dan selama itu pula ia sering kali dihantui oleh panggilan Helena tetapi tidak satupun yang ia jawab.
Selama itu pula Diandra menyibukkan diri dengan dunianya sendiri, belajar dan belajar sampai akhirnya siap untuk memasuki perusahaan orang tuanya dan memikul beban yang sangat besar.
"Saya ingin bertemu," ujar seorang pria di seberang telepon.
"Kebetulan saya ada di cafe dekat kantor pak Gerald."
"Saya ke sana sekarang Bu Diandra."
Diandra pun memilih tinggal di cafe setelah sambungan teleponnya terputus dengan Gerald. Tidak lama pria itu muncul dengan setepan formal berwarna biru langit.
"Sebelum mengajukan gugatan cerai ke pengadilan saya ingin bertanya sekali lagi pada bu Diandra perihal gugatan perceraian itu sendiri dan harta gono-gini. Jika digabungkan kemungkinan proses perceraian akan sangat lama sebab properti bu Diandra cukup banyak setelah menikah. Jika gugatan cerai dulu, mungkin akan selesai 2 -3 bulan."
"Kalau begitu gugatannya dipisah saja. Saya ingin segera terlepas dari status pernikahan ini."
"Baik Bu, saya akan melakukan yang terbaik agar semuanya berjalan lancar." Gerald tersenyum, apa yang menjadi keputusannya sejalan dengan Diandra. Terlebih belum banyak bukti yang ia temukan.
Bukti bahwa Ramon selingkuh dan menikah memang ada di tangan, tetapi bukti bahwa Ramon menghamburkan uang untuk menafkahi selingkuhan masih samar-samar.
"Ah ya, kartu yang sengaja bu Diandra nggak diblokir sudah saatnya di nonaktifkan, transaksi selingkuhan Ramon beberapa hari terakhir sudah bisa dijadikan bukti, terlebih Bu Diandra sudah menyimpan bukti chat ketika mempertanyakan salah satu kartu kredit pak Ramon yang hilang.
Diandra lagi-lagi menganggukkan kepalanya. Ada yang kalian lewatkan. Sebelum keluar dari ruangan pengacara keluarga Diandra beberapa hari lalu, Gerald menyarankan agar salah satu kartu tetap aktif dan saat itu Diandra mengingat bahwa ada kartu kredit yang hilang setelah suaminya dinas keluar kota.
"Bu Diandra ...."
Gerald menarik tangan Diandra ketika wanita itu akan pergi usai pembicaraan mereka. "Bukan sebagai pengacara, tapi sebagai ayah dari seorang siswa .... Bisakah Bu Diandra datang kerumah untuk menemui putra saya? Dia sedang sakit dan terus menyuruh saya untuk menghubungi anda."
"Tentu saja bisa, saya sudah berjanji pada Abian."
.
.
.
.
.
Abian kalau bisa nempel terus ya sama bu gulu, sampai ada yang jatuh cinta🤭
ni manusia oon apa terlalu pintar ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
jangan mimpi Ramon Diandra engg mungkin balik lagi sama kamu,, lagian pede banget bisa mempersulit persidangan yakin bisa lawan pak Gerald hemm 😏