Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita Maskulin (Tidak) Butuh Pria
Langkah Aurora keluar dari kantor polisi terasa begitu berat, seolah setiap pijakan kakinya menyeret rantai tak kasatmata yang membebani tubuhnya. Lampu jalan berpendar redup, menambah suram suasana malam itu. Pintu besi kantor polisi berdecit tertutup di belakang mereka, meninggalkan gema samar yang seakan mengunci segala tekanan di dalam ruang interogasi tadi.
Aditya berjalan di samping Aurora, pandangannya menoleh penuh perhatian. Ia mencoba memecah kesunyian dengan suara tenang, meski ketegangan masih terasa jelas dalam intonasinya. "Anda sudah bebas sekarang. Tidak perlu bersedih lagi! Polisi dan orang-orang itu tidak akan mengganggu anda lagi. Khususnya polisi itu, karena saya sudah mengancam beliau dengan video rekaman suara dan video. Anda aman sekarang."
"Hmph!" Aurora membuang muka kasar ke arah lain. Langkahnya dipercepat, tumit heels-nya mengetuk aspal dengan nada tajam.
Aditya terkejut dengan sikapnya, buru-buru mempercepat langkah untuk menyusul. "Mau kemana? Ini sudah semakin malam. Bagaimana jika saya antar saja?"
Aurora menghentikan langkah tiba-tiba, lalu menoleh dengan sorot mata tajam yang dipenuhi amarah bercampur luka. "Tidak mau! Aku tidak butuh bantuanmu, dasar pahlawan kesiangan!" suaranya pecah, menggema di udara malam. "Kau jelas-jelas ada di lokasi kejadian. Tapi kenapa tidak membantuku sama sekali? Kau itu manusia, kan? Oh, aku tahu!" Mata Aurora memerah, hampir pecah oleh air mata yang ia tahan mati-matian. "Kau sengaja menyuruh mereka semua untuk melecehkanku agar kau bisa menjadi pahlawan kesiangan, kan?"
Kata-katanya menghantam Aditya keras, namun lelaki itu hanya terdiam, menatapnya dalam-dalam.
Dari kejauhan, seorang pria berseragam keluar dari kantor polisi sambil membawa gelas kopi panas di tangannya. Lampu neon toko kecil di seberang jalan menyorot wajahnya. Ternyata itu IPDA Agus. Ia sempat melihat keduanya, lalu menggelengkan kepala perlahan. Senyumnya tipis, namun penuh sinisme. "Wanita itu memang makhluk paling tidak tahu diri. Sudah dibantu tapi tetap menyalahkan. Seharusnya dari awal tidak perlu dibantu saja," ucapnya, lalu melangkah kembali masuk ke dalam gedung.
Kalimat itu menusuk telinga Aurora seperti racun. Ia tertawa pahit, suaranya bergetar, matanya penuh air yang tak terbendung. "Benar! Seharusnya dari awal tidak perlu membantuku saja! Aku mau ditabrak barakuda sekarang! Hahahaha!"
Tawa itu terdengar getir, lebih menyerupai jeritan batin yang disamarkan. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipi hingga menetes ke dagu.
Aditya tidak tahan lagi melihatnya. Ia maju selangkah, lalu menggenggam tangan Aurora erat-erat. Jemarinya kuat, namun tatapannya menyalurkan kelembutan yang kontras dengan ekspresi wajahnya yang dingin.
"Aurora, anda sedang dalam suasana hati yang buruk. Sebaiknya saya antar pulang sekarang sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."
Aurora terdiam, tubuhnya bergetar halus. Ia menggeleng pelan, seolah melawan genggaman itu meski tak sepenuhnya mampu. Ekspresi wajahnya menegang, bibirnya bergetar menahan isak. "Tidak perlu, saya naik kendaraan umum saja."
Ia menarik tangannya dengan paksa, lalu mencoba melangkah menjauh. Namun baru satu langkah diambil, tubuhnya goyah. Heels yang ia kenakan membuat keseimbangannya hilang, tubuhnya condong ke depan, hampir menghantam tanah.
Refleks, Aditya bergerak cepat. Dalam sepersekian detik, tubuhnya sudah berada tepat di belakang Aurora. Tangannya menyambar pinggangnya, menahan jatuh yang bisa saja membuat tubuh rapuh itu terbentur keras.
Aurora terhenti, terengah, merasakan kehangatan genggaman itu di tubuhnya. Napas Aditya terdengar dekat di telinganya. Panas, berat, namun stabil.
Suasana jalanan mendadak senyap, hanya bunyi mesin kendaraan yang sesekali lewat dari kejauhan. Waktu seolah berhenti sejenak di antara mereka berdua.
Aurora dengan kasar mendorong dada Aditya, membuat tubuh pria itu sedikit terdorong ke belakang. Namun Aditya tidak menyerah. Wajahnya tetap tenang, penuh kendali. Dalam sekejap, dia menunduk, meraih pundak Aurora sekaligus bagian bawah lututnya, lalu mengangkat tubuh wanita itu dengan gaya bridal style.
Aurora terperangah, refleks memandang ke bawah. Jarak tubuhnya dengan tanah hanya tinggal beberapa jengkal, tapi diangkat begitu saja seolah dirinya sama ringannya dengan sehelai bulu.
"Kau mau apa sekarang?" tanya Aurora, suaranya penuh amarah yang ditahan. Tatapannya tajam, bergetar oleh rasa malu bercampur sakit hati.
"Saya ingin mengantar anda pulang." Jawaban Aditya tenang, tapi mengandung ketegasan yang tak bisa dibantah. Langkah kakinya teratur, mantap, menghantam lantai menuju parkiran.
Aurora menggeliat, berusaha melepaskan diri, namun genggaman Aditya sekeras baja. Tubuh wanita itu bergetar, bukan hanya karena marah, melainkan juga karena rasa frustasi yang semakin menumpuk.
Aditya berhenti tepat di depan sebuah mobil hitam yang mengilap di bawah redup lampu jalan. Dengan satu gerakan terlatih, ia membuka pintu mobil menggunakan kakinya, lalu menurunkan Aurora dengan hati-hati ke kursi penumpang. Seolah khawatir tubuh rapuh itu bisa pecah kapan saja, ia memperlakukan Aurora dengan kelembutan yang kontras dengan cara menggendongnya tadi.
Tanpa berkata apa-apa, Aditya menutup pintu untuknya, lalu bergegas mengitari kap mobil. Begitu ia duduk di kursi kemudi, tangannya merogoh ke laci dashboard dan mengeluarkan beberapa lembar tisu, menyodorkannya ke Aurora.
"Ini, pakailah!" ucapnya singkat.
Aurora mengalihkan wajahnya dengan kasar, menatap jendela, menolak tisu itu tanpa satu kata pun. Napasnya tersengal, dadanya naik turun cepat, sementara jemari tangannya mengepal di pangkuan.
Aditya hanya menghela napas pelan, meletakkan kembali tisu itu. Ia kemudian memutar kunci kontak, mesin mobil bergemuruh, lalu melirik sekilas ke arahnya.
"Dimana rumah anda?" tanyanya tenang.
Aurora menggerakkan tangannya dengan dingin. Ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi maps, lalu meletakkannya di dashboard mobil, memperlihatkan rute pulang.
Tanpa banyak komentar, Aditya melajukan mobil mengikuti arah yang ditunjukkan. Jalanan malam terasa panjang dan sepi, lampu jalan hanya sesekali menyorot wajah mereka. Suasana dalam mobil hening, menekan, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan keduanya.
Beberapa menit kemudian, Aditya akhirnya membuka suara. "Maaf jika tidak sopan. Tapi jika saya boleh tahu, apa yang membuat anda marah?"
Aurora menunduk, bahunya sedikit bergetar. Ia menggeleng pelan, suara lirihnya terdengar penuh sesal. "Tidak, sebenarnya kau tidak salah sama sekali. Ini hanya karena aku terlalu berharap banyak."
Alis Aditya berkerut, tatapannya beralih cepat dari jalan ke wajah Aurora.
"Apa yang anda harapkan?"
Aurora menggigit bibirnya, air mata menetes perlahan. "Mommy sering bilang bahwa wanita maskulin artinya tidak membutuhkan pria. Jadi aku pikir, aku menyesal karena melawan para penjahat itu. Harusnya aku diam saja, terlihat seperti korban. Mungkin aku akan—"
"Aurora!" Suara Aditya meledak tajam. Ia menghentikan mobil mendadak di pinggir jalan, ban berdecit menghantam aspal.
Aurora terlonjak, terdiam, menatap Aditya dengan mata melebar.
Pria itu menunduk, menatapnya lurus dengan sorot mata menusuk, keras tapi di baliknya ada kilatan ketulusan.
"Jika anda tidak melawan para penjahat itu, mungkin anda tidak akan selamat. Wanita memang terlahir lemah. Tapi bukan berarti tidak boleh kuat. Membela diri sendiri adalah hak semua orang, termasuk pria. Itu bukan berarti kau tidak membutuhkan pria."
Aurora terpaku, dadanya naik turun, sementara kilatan rasa sakit dan keraguan beradu di matanya.