Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Glow up
"Jadi, maksudmu apa?" tanya Nayna pada gadis di depannya.
"Sengaja, emang kenapa? Salah?" balasnya dengan mata merendahkan.
"Termasuk kejadian waktu aku hanyut dulu?" Nayna teringat akan masa lalu.
"Haha, iya. Baru sadar? ... Aw! Apa-apaan lo, Nay?" Gadis itu terkejut dengan gerakan Nayna yang tiba-tiba.
Nayna tersenyum kecil. Tangannya kembali meletakkan sebuah cup plastik yang telah kosong. Sementara gadis di depannya, melotot dengan rambut dan wajah basah. Di puncak kepalanya, masih ada serpihan es batu yang perlahan mencair.
"Maaf, sengaja. Biar otakmu adem, Vit," ucap Nayna yang berdiri dan berlalu pergi.
Puluhan pasang mata di kantin, sukses melihat pertunjukan itu. Bahkan ada pula yang merekam dan menyebarkannya di sosial media.
Tania yang sejak tadi berdiri tak jauh dari sana, segera berlari mensejajarkan langkah, kala Nayna menarik tangannya.
Kejadian di kantin cukup membuat sosial media kembali geger, khususnya warga Bina Karya. Mereka saling mendukung pilihan masing-masing. Ada kubu yang menyalahkan Nayna, ada pula yang mendukung tindakannya.
Nayna tak ambil pusing dengan semua itu, dia berusaha untuk menenangkan pikiran dan memilih menyendiri di perpustakaan.
Suasana tenang, dengan aroma apel yang menyeruak hidungnya, membuat dia memejamkan mata dengan novel terbuka di meja. Bunyi pendingin ruangan seakan melodi indah bagi penikmatnya.
Beberapa pengunjung hanya menatap sekilas, tanpa tanya, tanpa suara apa pun. Mereka hanya melirik sambil lalu. Video di kantin sudah menyebar dengan cepat bak debu tertiup angin di beberapa sosmed, termasuk beragam komentar yang memenuhi kolom di bawahnya.
Di sisi lain, Sandy tersenyum kecil setelah selesai melihat video itu. Ada rasa puas yang tiba-tiba datang saat melihat reaksi Nayna di sana.
Lo emang bukan lagi Nayna si periang itu, lo juga bukan Nayna si pendiam yang selalu teringat masa lalu dan ... mungkin aja first love yang nggak punya hati. Sekarang lo adalah Nayna yang tetap gue kenal sejak dulu, tapi dengan versi lebih garangnya. Haha.
Biar tu cewek tahu rasa, dia yang jadi cikal bakal semuanya. Gue tahu, Vita suka Aksa, tapi emang dasar tu pak Ondel nggak peka atau emang sok kegantengan aja, malah bikin ruwet semua.
Saat yang sama, Aksara mendekat dan menepuk bahu Sandy.
"Thanks, lo udah bantu nyari tahu tentang ini."
Sandy menoleh, bibirnya sedikit terangkat. "Semua karena lo, muja-muja lo kek dewa, sampai Nayna hampir mati kebawa arus. Kenapa lo nggak langsung nolongin? Padahal dulu, lo itu ketua regu. Malah asyik berduaan sama yang lain. Sekarang lo tahu kan? Gimana si Vita itu. Dia sengaja bikin Nayna hilang kendali."
Sandy terdiam, mencoba menenangkan debar jantung yang meningkat beberapa saat. Sebaliknya, Aksara justru menatap sendu pada lawan bicaranya. Terdengar dia menarik napas berat sebelum mulai berbicara.
"Maaf soal kejadian itu. Gue ... gue juga nggak tahu harus nyelamatin yang mana. Waktu itu, Vita juga takut hanyut dan gue nggak tahu kalau dialah penyebab Nayna seperti itu. Gue ngaku salah, gue minta maaf."
Sandy meraih botol minum yang masih sisa setengah, menenggak isinya, hingga habis tak tersisa. Dia melemparkan botol itu ke dalam kotak sampah di dekat pintu.
"Lo nggak ada salah sama gue, jadi lo nggak berhak minta maaf ke gue. Lo pasti tahu, siapa yang harus lo datengin sekarang. Gue percaya, lo cowok baik, gue juga tahu, lo ngomong gitu ke Nayna waktu di rumah Faiz, pasti ada sebabnya. Lo pernah ngomong ke gue soal perubahan sikap Nayna, kan? Ya itu karena lo, karena kata-kata lo. Emang terkesan sepele, tapi sakit karena kata-kata lebih menyayat dari pada kena pisau, yang berdarah, besoknya udah sembuh. Dahlah, gue laper. Lo udah makan?"
Sandy berdiri, menatap Aksara yang masih terduduk di lantai dengan mata menatap lantai, entah apa yang dipikirkan.
"Hei, Bro. Gue nanya lo. Malah ngitung keliling sama luas lantai. Emang ya, otak pinter sama pas-pasan mah beda." Sandy tertawa untuk mencairkan suasana. Sementara Aksara mendongak, lalu tersenyum kecil.
"Oke. Gue yang traktir."
Keduanya keluar dari aula menuju kantin. Tentu dengan berbagai pikiran berisik di kepala mereka.
*
Sepulang sekolah, Nayna membuka laptop, meng-klik sebuah aplikasi dan men-scroll mencari sesuatu di sana.
Siapa dia? Kok rasanya nggak asing gitu. Dia seakan tahu semua masa laluku.
Nihil. Tak ada jawaban. Di layar, hanya terpampang foto seorang pria yang membelakangi kamera. Jari lentik Nayna bersiap meng-klik untuk menutupnya, namun tak disengaja, dia melihat sesuatu yang familiar di dalam gambar itu.
Gelang? Kok sama kayak punyaku?
Ah, mungkin cuma kebetulan. Toh ini gelang di abang-abang mainan, bukan gelang limited edition dari Balenciaga.
Namun, rasa penasaran masih bergelayut di hatinya. Nayna kembali men-scroll akun dengan nama 'Sandy_kalap' itu hingga gambar terakhir. Semua hanya gambar-gambar biasa, sepasang sepatu, langit, juga gambar satu dua orang yang diambil secara candid.
Tunggu, Sandykala? P-nya apa? Prayoga? Apa mungkin dia Yoga si cupu itu? Tapi masa iya? Sekarang beda banget. Setahuku, Yoga juga namanya Prayoga.
Gadis itu terdiam sejenak, lalu memukul keningnya pelan. S. Prayoga. Apa mungkin Sandykala? Ah, kenapa malah fokus ke dia?
Nayna memijit kening yang terasa berdenyut. Dengan satu kali klik, dia berhasil mengambil salah satu gambar di akun tersebut. Dia menoleh, saat terdengar suara ibunya yang berteriak memanggil.
Gadis itu bangkit, menutup benda pipih berwarna hitam di meja, lalu melangkah ke arah pintu.
"Ada apa, Bu?" tanya Nayna tatkala wajah ibunya muncul di balik pintu.
Siti menarik anaknya ke ruang makan. "Nah, makan! Nggak usah diet-dietan. Asal sehat, segar bugar, nggak letoy kayak Bapakmu kalau nggak ngopi," ujarnya sambil meletakkan piring di hadapan anaknya. Di waktu yang sama, Rahmat tersenyum mendekat dengan cangkir kopi di tangan. Dia melirik istrinya yang masih menggerutu tak jelas.
**
Masih dengan nama yang sama, Nayna terus mencari info mengenai Sandy. Asal sekolahnya, sampai semua yang bersangkutan dengan pemuda itu. Hingga pada akhirnya...
Jadi?
Nayna terpaku menatap layar ponsel. Matanya tak lepas dari foto yang terpampang di sana.
Yoga? Sandy itu Yoga?
Tiba-tiba dia terkejut saat sebuah panggilan, masuk di nomor whatsApp-nya.
"Kamu udah tahu, Nay? Hehe, maaf ya nggak jujur dari awal. Aku sengaja, biar kamu tahu sendiri perubahan dari cowok cupu yang kerjaannya ngabisin bekal makanmu. Gimana? Glow up banget kan? Air kota ternyata pengaruh banget, Nay. Setidaknya buat mengubah seekor Yoga jadi seganteng Sandy seperti sekarang ini. Maaf ya, Nay."
Klik.
Panggilan diakhiri sepihak, membuat Nayna hanya bisa tertegun dengan ponsel masih menempel di telinga. Semua berjalan begitu cepat, sampai dia sendiri tak mendapat kesempatan untuk berbicara, sepatah kata pun.
***