"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semuanya Ternganga
“Aku enggak mungkin balik sama dia, Pak. Dia suami orang.”
“Tapi kalau dia mau? Saya tanya, kalau dia mau balik sama kamu?”
Luna melepaskan tangan pria itu, dia mundur satu langkah, kepalanya menduduk lalu dia mendongak menatap suaminya lekat.
“Aku tidak akan kembali padanya, Pak Arsen. Apa itu cukup?”
Dengan senyum menyeringai pria itu menunduk, menatap wajah Luna dengan tatapan jaman.
“Kamu sudah tidak bisa menghindar, bahkan kalau nanti kamu menangis ingin kembali padanya, saya tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Kening Luna mengerut, bulu kuduknya merinding. Tapi, ya sudahlah. Memangnya siapa yang mau kembali pada Aditya, pria yang jelas-jelas sudah beristri dan tidak mencintainya lagi.
** **
Di dalam ruangan ....
Semua anggota keluarga sibuk menyambut tamu. Tapi yang paling tidak sabar menunggu kedatangan tamu kehormatan hari itu bukan siapa-siapa selain Nayara yang selalu hidup dengan rasa ingin tahu berlebih dan mimpi glamor di kepalanya.
Dia sudah bolak balik ke depan cermin besar sejak dua jam lalu, mengecek make-up, lipstik, dan tatanan rambut yang menjuntai ke bahu.
“Zea!” panggilnya keras, membuat sahabatnya yang menikmati makanan khas itu tersentak. “Kamu tahu nggak, hari ini aku bakal ketemu siapa?”
Zea hanya melirik malas. “Siapa lagi? Jangan bilang pejabat atau seleb TikTok.”
Nayara memutar bola matanya dramatis. “Lebih dari itu! Aku bakal ketemu duda kaya raya! Dan kalau rencanaku lancar, aku bakal jadi istrinya.”
“Astaga, Nayara! Kamu serius?” Zea tertawa keras. Sahabatnya ini memang kadang-kadang suka membuat dia ingin tertawa.
“Tentu aja! Aku udah lihat fotonya dari HP Kak Adit. Duda itu mapan banget. Lihat deh, kalau nanti aku udah jadi nyonya Ar ... ” dia sengaja menggantung kalimatnya dengan senyum penuh rahasia, “aku bakal ajak kamu jalan-jalan ke luar negeri, sebulan sekali!”
“Apa?” Zea sampai terbatuk mendengar itu. “Duda macam apa sih sampai kamu segila ini?”
“Duda yang bahkan nggak butuh kerja keras lagi buat hidup sepuluh turunan!” jawab Nayara cepat, matanya berkilat penuh ambisi. Dia tersenyum lebar membayangkan akan seperti apa hubungan mereka nantinya.
Beberapa saat kemudian ....
Ruangan jadi ramai. Musik yang semula lembut berubah pelan, suasana mendadak penuh ekspektasi.
Dan di sanalah, Arsena Kusumawardhana berdiri.
Tinggi, berwibawa, dengan setelan jas hitam sempurna yang membingkai bahunya yang lebar. Setiap langkahnya sangat luar biasa, dingin, dan memancarkan aura otoritas yang sulit diabaikan.
Namun, bukan hanya sosok Arsen yang menarik perhatian. Di sampingnya, berjalan anggun dalam balutan gaun merah darah panjang dengan bahu terbuka, ada seorang perempuan yang membuat banyak kepala menoleh: Luna.
Zea sampai menahan napas, sementara wajah Nayara membeku di tempat. Senyum yang tadi lebar kini menghilang seketika. Dia pun ikut menoleh, dan saat melihat siapa yang datang, Zea buru-buru bersembunyi di belakang punggung Nayara.
“Itu,” bisik Nayara, suara agak serak. “Itu Om Duda.”
“Apa?” kegat Zea. “Jadi, yang dibilang Om Duda oleh Nayara adalah Arsen? Gila sih .... Bisa dihukum habis-habisan kalau sampai dia tahu Zea sudah menghina perempuan itu.
“Itu dia, Zea! Duda kaya raya yang aku ceritain!” ujar Nayara cepat. “Tapi kenapa, kenapa dia datang sama Luna?”
“Mungkin kamu salah lihat?” Zea tidak mau keluar dari punggung Nayara.
“Aku nggak mungkin salah lihat! Aku udah lihat fotonya di HP Kak Adit! Itu dia, aku yakin seratus persen!”
Dan seolah dunia ingin menertawakan Nayara, tatapan Arsen saat itu justru jatuh lembut ke arah Luna. Pria itu menggandeng tangan istrinya dengan tenang, seolah ingin memperkenalkan ke semua orang bahwa Luna adalah miliknya.
Luna menunduk sopan, namun keanggunannya tak bisa disembunyikan.
Beberapa tamu saling berbisik-bisik, sementara Bu Dewi, yang baru saja menghampiri, langsung berhenti di depan mereka dengan ekspresi menegang.
“Luna?” ucapnya dengan nada tak percaya, suaranya meninggi dalam sekejap. “Kamu ngapain di sini?”
“Selamat Bu, Bu. Saya ....”
“Jangan panggil saya Ibu!” potong Bu Dewi tajam. “Kamu nggak diundang. Acara ini untuk orang-orang yang pantas hadir, bukan untuk ....”
Namun sebelum kata-kata kasar itu selesai keluar, Arsen dengan tenang melangkah maju. Menjadi tameng untuk istrinya.
“Saya yang membawa istri saya, Bu Dewi.”
Ruangan langsung hening. Suara musik seakan-akan berhenti, bahkan sendok yang jatuh ke lantai terdengar nyaring.
“Istri?” gumam Bu Dewi pelan, seolah tak yakin dengan apa yang baru ia dengar. “Istri? Bukannya belum lama ini dia masih ngemis mau dinikahin anak saya? Sandiwara apa yang kalian mainkan?”
“Om Duda kamu suaminya Luna?” bisik Zea lirih.
Nayara hanya ternganga tanpa suara. Diaa benar-benar tidak percaya pada apa yang barus saja dia dengar. “Enggak mungkin,” batinnya. “Mana mungkin Om Arsen mau sama LC.”
Dan di sudut lain pun, Bu Dewi mendengus tak percaya. “Saya rasa Anda salah sebut. Luna itu ....”
“Tidak ada yang salah, Bu,” potong Arsen lagi. Kali ini tatapannya beralih kepada Aditya yang berdiri di belakang ibunya, wajahnya tegang dan sulit dibaca. “Saya Arsena Kusumawardhana, suami sah Aluna Laksita. Dan juga…” ia berhenti untuk sesaat, menatap Aditya lurus, “…Direktur utama di perusahaan tempat putra Ibu bekerja.”
Kalimat itu menghantam seperti petir di malam hari ....
Bu Dewi mematung. Nayara hampir kehilangan keseimbangan dan harus ditopang Zea. Aditya sendiri, yang sejak awal berusaha menahan diri, kini hanya bisa menatap Luna dengan campuran keterkejutan dan kekecewaan yang dalam.
“Tidak mungkin,” ucap Bu Dewi pelan. “Pak Arsen? Mana mungkin orang sekelas CEO menikah dengan dia?” Nada rendahan di kata dia terdengar jelas.
Arsen hanya tersenyum tipis, senyum dingin yang justru membuat udara di ruangan terasa menegang. “Apa yang salah dengan Luna?” tanyanya datar. “Bukankah dia manusia juga, seperti kita semua? Atau Ibu menganggap martabat seseorang hanya diukur dari isi rekening? Kalau begitu, bukankah sekarang derajatnya lebih tinggi dari Anda!”
Sontak Bu Dewi terdiam, wajahnya berganti warna antara merah dan putih. Belang kali ah, tapi tidak ... Intinya wajah Bu Dewi sudah pucat karena malu, tapi juga ada sebagian yang merah, mungkin karena kecewa sebab Luna berdiri di sisi kanan orang penting seperti Arsen.
“Saya, tidak bermaksud begitu,” ucapnya terbata. “Tentu saya hanya kaget saja. Kami tidak tahu kalau Anda suka jenis pentempuan seperti ini.”
Karena sudah lewat batas, Aditya buru-buru maju, menenangkan ibunya meskipun dia juga butuh ditenangkan.
“Sudah, Bu. Ini memang betul Pak Arsen, direktur yang sering aku ceritain. Mohon maaf kalau Ibu salah bicara.”
“Dit, tapi ....” Bu Dewi tersenyum canggung, lalu menunduk sedikit ke arah Arsen dan Luna. “Maaf, Pak Arsen. Sekali lagi saya benar-benar tidak tahu.”
“Tidak apa,” jawab Arsen santai, tapi matanya tetap menatap tajam ke arah Bu Dewi dan anak laki-lakinya. “Tapi lain kali, berhati-hatilah memilih kata di depan istri saya.”
Seketika, wajah Bu Dewi menegang. Sementara itu, Tatapan Aditya tak lepas dari Luna. Ada rindu, marah, sekaligus kehilangan yang menyeruak di matanya.
Dia menikah? pikirnya getir. Dengan Arsen? Dengan direkturnya sendiri? Jadi yang kemarin bukan pelecahan? Secepat inikah Luna melupakannya?
Luna sempat menatapnya sekilas, hanya sepersekian detik, namun cukup untuk menorehkan luka baru di dada Aditya yang sudah penuh sayatan lama.
“Apa anda tidak berniat meminta maaf pada istri saya?” ucap Arsen yang membuat Bu Dewi terdiam kaku.
“Pak Arsen ....” Pak Hendra tiba-tiba mendekat. “Maafkan istri, saya. Dia keliru, saya yang salah, seharunya ....”
Namun, Arsen malah menarik ujung bibirnya. Dia kemudian menoleh ke arah Safira, kemudian ke arah sang istri.
“Gimana, Nyonya Arsen? Apa kita hentikan kerja sama kita dengan keluarga Safira?”
“Apa!” kaget semua orang. Bahkan Safira dan kedua orangtuanya, serta kakak laki-lakinya langsung Ternganga setalah tadi hanya memperhatikan.
“Kalau kamu bilang iya, aku akan melakukannya, heum?”
jadi maksudnya apa ya?????
berteman boleh royal bego mah jangan...😄😄😄🤭