Luna Arindya, pemanah profesional dari dunia modern, meninggal tragis dalam sebuah kompetisi internasional. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya berada di dalam novel fantasi yang pernah ia baca—dan menempati tubuh Putri Keempat Kekaisaran Awan. Putri yang lemah, tak dianggap, hidupnya penuh penghinaan, dan dalam cerita asli berakhir tragis sebagai persembahan untuk Kaisar Kegelapan.
Kaisar Kegelapan—penguasa misterius yang jarang menampakkan diri—terkenal dingin, kejam, dan membenci semua wanita. Konon, tak satu pun wanita yang mendekatinya bisa bertahan hidup lebih dari tiga hari. Ia tak tertarik pada cinta, tak percaya pada kelembutan, dan menganggap wanita hanyalah sumber masalah.
Namun semua berubah ketika pengantin yang dikirim ke istananya bukan gadis lemah seperti yang ia bayangkan. Luna, dengan keberanian dan tatapan tajam khas seorang pemanah, menolak tunduk padanya. Alih-alih menangis atau memohon, gadis itu berani menantang, mengomentari, bahkan mengolok-olok
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Langit masih berwarna merah muda pucat ketika pemeriksaan pasukan berakhir. Pasukan berdiri tegak seperti deretan baja hidup, sorak hormat mereka menggema. Rui berdiri di sisi Tian Ze, merasakan getaran semangat para prajurit yang seakan menembus tanah istana.
Tian Ze tak banyak bicara, hanya mengamati dengan sorot tajam. Namun sesekali, tatapannya melirik Rui dan setiap kali itu terjadi, Jun Hao, yang berdiri tidak jauh, mendadak salah tingkah. Ia menunduk dalam-dalam, berharap tak ada yang memperhatikan pipinya yang bersemu.
Setelah semua prajurit bubar, Rui berjalan perlahan di belakang Kaisar. Ia sengaja menjaga jarak satu langkah, tidak lebih, tidak kurang. Langkah-langkah tenang itu membuat para pengawal dan pejabat berulang kali melirik dengan bingung.
Permaisuri yang dulu sering diabaikan… kini berjalan di sisi Kaisar seperti bayangan yang tak tergantikan.
---
Sore menjelang. Rui dipanggil ke paviliun utama, alasan resmi, membahas laporan pasokan. Namun begitu ia masuk, ruangan terasa berbeda.
Hanya ada Tian Ze, duduk di kursi panjang dengan jubah hitam sederhana, bukan pakaian resmi. Lilin-lilin menyala lembut, cahayanya menciptakan bayangan hangat di wajah sang Kaisar.
“Duduklah,” perintahnya singkat.
Rui menaati, menempatkan dirinya di kursi samping. Di antara mereka, sebuah meja rendah terhampar dengan gulungan peta, tapi tidak ada pena atau tinta.
“Apa yang ingin Anda bicarakan, Yang Mulia?” tanyanya tenang.
Tian Ze menatapnya lama, sebelum akhirnya bersuara.
“Kenapa kau begitu gigih menekan Zhao Kun di rapat tadi pagi?”
Pertanyaan itu menusuk langsung. Rui menahan napas sesaat. Ia tahu Tian Ze bukan sekadar ingin jawaban. Ia sedang menguji.
“Karena ular berbisa harus dipotong kepalanya sebelum merayap terlalu jauh,” jawabnya, suaranya tenang tapi tajam. “Zhao Kun menyembunyikan sesuatu. Saya hanya memastikan ia tahu ada mata yang memperhatikan.”
Kaisar bersandar, jari-jarinya mengetuk perlahan meja kayu.
“Kau bicara seperti seseorang yang sudah punya bukti.”
Rui menunduk samar, bibirnya melengkung tipis. “Kadang, Yang Mulia, kebenaran tidak perlu bukti di atas kertas. Wajah seseorang sudah cukup untuk membocorkan rahasia.”
Keheningan turun. Mata Tian Ze menajam, menelusuri wajah Rui seolah ingin menyingkap lapisan demi lapisan yang ia sembunyikan.
Akhirnya, ia menghela napas, suaranya lebih rendah.
“Jika kau benar… maka kau baru saja menempatkan dirimu dalam bahaya.”
Rui tersenyum tipis, menatap lurus padanya.
“Bahaya sudah menjadi sahabat lama saya. Saya tidak keberatan menari dengannya sekali lagi.”
Tatapan mereka bertaut, api halus menyala di udara. Untuk sesaat, peta di meja dan intrik istana lenyap. Hanya ada seorang pria yang terbiasa memerintah dunia dan seorang wanita yang berani menantangnya.
Lalu Tian Ze tiba-tiba berdiri, langkahnya mendekat hingga ia berdiri tepat di depan Rui. Dengan satu gerakan, ia menurunkan tubuhnya, tangannya terulur menyentuh dagu Rui, memaksanya menatap.
“Jangan pernah bicara soal menari dengan bahaya lagi,” gumamnya, nyaris seperti perintah. “Kalau ada sesuatu yang membahayakanmu… biarkan aku yang menghadapinya.”
Rui tertegun. Kata-kata itu menembus lebih dalam daripada pedang manapun. Namun ia segera menyamarkannya dengan senyum ringan.
“Kalau begitu, Kaisar, Anda harus bersiap menari sepanjang hidup. Karena saya tidak pernah bisa duduk diam.”
Tian Ze menatapnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya melepaskan. Ia berdiri, kembali memasang wajah dingin.
“Keluar. Aku perlu waktu sendiri.”
Rui berdiri, membungkuk ringan. Namun saat ia berbalik, senyum samar tak bisa ia sembunyikan. Lelaki itu sudah benar-benar goyah.
---
Di tengah malam, Rui kembali ke ruang dimensinya. Pohon persik bersinar lembut, buah-buahnya berkilau dalam gelap. Yu Zhi mendengkur di sudut, perut kecilnya naik-turun.
Rui duduk di akar pohon, memikirkan kata-kata Tian Ze. Perlindungan… kehangatan… dua hal yang tidak pernah ia rencanakan untuk terima dari Kaisar iblis.
Namun sebelum pikirannya tenggelam lebih jauh, udara di ruang dimensi bergetar. Sesosok cahaya biru kecil muncul sebuah pesan rahasia yang dikirim oleh jaringan bayangan miliknya.
Ia membuka cahaya itu, membaca cepat.
“Zhao Kun bergerak. Malam ini, ia mengirim pesan lewat kurir rahasia menuju barat. Lokasi: gerbang selatan, sebelum pergantian jaga.”
Rui menyipitkan mata. "Jadi benar dia.”
Ia berdiri, mengenakan jubah hitam tipis, dan menyelinap keluar dari ruang dimensi.
---
Di Gerbang Selatan
Udara malam dingin, bintang redup di langit. Rui bergerak cepat di atas atap, menyembunyikan kehadirannya seperti bayangan. Dari kejauhan, ia melihat seorang pria berpenutup wajah menyerahkan gulungan kecil pada kurir berjubah kelabu.
Tepat saat kurir itu berbalik, sebuah suara berat menggelegar.
“Berhenti!”
Jun Hao melompat turun dari atap, pedang terhunus. Wajahnya menegang ketika mengenali salah satu pria pengawal bayangan Zhao Kun.
Perkelahian pecah seketika. Jun Hao bergerak cepat, tapi lawannya juga terlatih. Rui menahan diri di kegelapan, menimbang. Ia tahu, jika ia turun tangan, penyamarannya bisa terbongkar.
Namun saat kurir itu hampir lolos membawa gulungan, Rui mengangkat jarinya, mengirimkan jarum energi tipis. Senjata tak kasat mata itu melesat, menghantam kaki kurir. Lelaki itu jatuh, gulungan melayang di udara tepat ditangkap oleh Jun Hao.
Dengan cepat, pengawal Zhao Kun melarikan diri ke kegelapan, meninggalkan kurir yang tak berdaya.
Jun Hao menatap sekeliling, napasnya terengah. Ia yakin ada seseorang yang membantu. Tapi siapa?
Dari balik bayangan, Rui berbalik, menghilang sebelum Jun Hao sempat mendekat.
---
Keesokan Hari
Istana gempar. Gulungan rahasia ditemukan mengandung peta pertahanan kota, beserta catatan pasokan. Pengkhianatan Zhao Kun semakin jelas.
Namun pria itu tidak tampak terguncang. Saat dipanggil ke aula, ia bersujud dengan tenang, suaranya mantap.
“Hamba dijebak. Semua ini fitnah dari pihak yang ingin merusak kesetiaan hamba pada Yang Mulia.”
Beberapa pejabat mulai berbisik, bingung harus percaya siapa.
Rui, yang duduk di sisi Tian Ze, hanya tersenyum tipis. Ia tahu Zhao Kun cukup licik untuk memutarbalikkan keadaan.
Tian Ze tidak langsung menjatuhkan hukuman. Ia menatap Zhao Kun dengan sorot dingin, lalu berkata,
“Bukti bisa dipalsukan. Tapi kesetiaan… akan diuji oleh waktu. Untuk saat ini, kau tetap di posisimu. Namun setiap gerak-gerikmu akan diawasi.”
Zhao Kun membungkuk, menyembunyikan amarahnya. Ia sadar, ia selamat untuk sementara.
Rui menunduk, menyembunyikan senyum samar. Biarlah ular itu merasa aman. Semakin ia percaya diri, semakin mudah ia dipukul sekali mati.
---
Hari itu berakhir dengan tekanan yang tak terlihat. Rui kembali ke paviliunnya, duduk di depan cermin perunggu. Jubah perak sudah ia lepaskan, hanya tersisa lapisan tipis kain putih.
Di luar, angin malam bertiup, menggoyangkan tirai sutra. Dan tiba-tiba, suara langkah berat terdengar.
Tian Ze masuk tanpa diduga. Matanya gelap, wajahnya menegang.
“Kenapa kau berada di gerbang selatan semalam?”
Pertanyaan itu meluncur tajam, membuat Rui membeku. Jadi dia tahu.
Rui bangkit perlahan, tersenyum tipis. “Kaisar ternyata selalu tahu apa yang tidak terlihat.”
“Jawab aku.” Suara Tian Ze rendah, namun bergetar. “Kenapa kau di sana? Kenapa kau ikut campur?”
Rui melangkah mendekat, jaraknya hanya sejengkal dari tubuh Kaisar. “Karena saya tidak bisa membiarkan ular itu terus hidup tanpa kendali. Dan karena…” ia menatap langsung ke matanya, “…saya tidak percaya siapa pun, kecuali diri saya sendiri.”
Tian Ze terdiam. Dadanya naik-turun. Ia ingin marah, tapi sesuatu menahannya. Rasa takut kehilangan sesuatu yang seharusnya tidak pernah dimiliki Kaisar kegelapan menyelinap ke dalam dirinya.
Dengan gerakan tiba-tiba, ia meraih lengan Rui, menariknya mendekat hingga tubuh mereka hampir bersentuhan.
“Jangan pernah lakukan itu lagi.” Suaranya serak, matanya berkilat. “Kalau sesuatu terjadi padamu…”
Rui menahan napas. Ia bisa merasakan panas tubuh Kaisar menembus tipis kain di bahunya. Untuk sesaat, ia tak bisa menyembunyikan getaran di dadanya.
“Kalau saya jatuh,” bisiknya pelan, “bukankah Anda selalu datang tepat waktu, Yang Mulia?”
Hening.
Mata mereka bertemu, terlalu dekat, terlalu dalam. Dan untuk pertama kalinya, dinding dingin antara Kaisar dan Permaisuri runtuh lebih jauh.
Tian Ze tidak menjawab. Ia hanya menutup mata sesaat, lalu perlahan melepaskan tangannya. Tanpa kata lagi, ia berbalik dan pergi, meninggalkan kehangatan yang masih tertinggal di udara.
Rui berdiri terpaku, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, badai yang kecil itu kini mulai tumbuh menjadi sesuatu yang jauh lebih besar.
---
Malam-malam berikutnya tidak lagi sama. Zhao Kun masih berkeliat, menunggu saat menyerang balik. Namun di balik intrik itu, hubungan antara Rui dan Tian Ze makin terjalin erat diikat bukan oleh janji, melainkan oleh ketakutan halus akan kehilangan satu sama lain.
Bersambung…
karna ego dan ambisi, bisa membunuh rasa kemanusiaan yang ada di dalam dirinya.
ayo Rui, taklukkan sang kaisar baja hitam itu.
topeng yang selama ini bersemayam di wajah cantik kalian, akhirnya koyak satu persatu.
yang dianggap dan diabaikan belum tentu buruk, bisa jadi dia adalah permata yang paling berharga.
dan yang dianggap baik dan sempurna selama ini, bisa jadi dia adalah hanya fatamorgana
bercahaya dari jauh, burek dan lenyap dari dekat.
MC nya gokil, smart, baddas, gak plin plan, serta kuat.
good job thor.