Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Calon Menantu Ibu
Anak laki-laki yang dipangkunya mengangguk dengan senyuman, "bu guru ikut aja sama kita. Mumpung Om Hanif baik," ucapnya membuat Hanif mendelik, "emang om gak baik selama ini?" Radit cengengesan mendengarnya.
Pada akhirnya, aku setuju untuk ikut bersama dengan Hanif dan juga Radit. Lagipula lumayan menghemat tenaga setelah tadi pagi jalan kaki. Aku juga masih menghemat uang karena baru hari pertama bekerja. Apalagi teteh ipar juga sepertinya kurang suka jika aku hanya tinggal tanpa membantu keuangan di rumahnya.
"Mau mampir kemana dulu?" tanya Hanif sembari membonceng ku dan juga Radit yang duduk di depan.
"Ke toko buku," jawabku.
Hanif mengangguk mengiyakan. Lagipula memang ia sedang libur ini, tidak sedang diburu waktu ataupun hal yang mendesak.
Toko bukunya memang berbeda arah, tapi Hanif malah bersedia untuk pergi mengantar—begitupun dengan Radit yang seolah senang saja dibawa pamannya bermain lebih dulu.
Setibanya di toko buku yang dimaksud, aku memegangi tangan radit sembari masuk ke toko dan mencari buku yang akan kubeli. Sedangkan Hanif hanya melihat-lihat sembari terus mengikuti dari belakang.
Laki-laki itu merogoh ponselnya, ia alihkan pada kamera lalu dengan sengaja memotret dan mengirimkannya pada seseorang.
(Gimana Dek?)
(Cantik gak menurut kamu?)
"Siapa tuh bang?"
(Jawab dulu)
"Cantik"
"Apalagi kayaknya bisa akrab sama Radit begitu"
"Pasti baik"
(Setuju gak kalau abang sama dia?)
"Emang dianya mau?"
Hanif mengirim emoticon sinis pada adiknya. Sontak adiknya itu terkekeh di hadapan ibunya yang sedang asik menonton televisi.
Di rumah orangtua hanif,
"Kenapa kamu dik?" tanya ibunya.
Adik hanif langsung menggelengkan kepalanya, "ini ada video lucu aja bu, makanya ketawa." Tanpa curiga, ibunya hanya menggelengkan kepala mendengar hal itu lalu kembali fokus pada tontonannya.
Di sisi Riyani,
Aku sudah selesai memilih beberapa buku khusus untuk belajar menulis dan juga perlengkapan belajar anak PAUD.
Hanif menoleh padaku saat membayar, "kamu mau belajar jadi penulis?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum lalu mengangguk.
Ternyata dia gak cuman diem aja selama ini.
Gw jadi makin tertarik buat lebih kenal sama dia.
Setelahnya, kita memilih untuk pulang. Apalagi memang hari sudah siang, bahkan ibunya radit sudah menanyakan anaknya sejak tadi.
Sesampainya di depan rumah abang, aku tersenyum padanya, "makasih ya udah anterin ke toko buku dulu tadi!" Hanif mengangguk.
"Kalau mau kemana-mana lagi terus perlu bantuan, hubungi aja! Insyaallah bakal selalu siap buat apapun," ucapnya.
Radit mendongak pada pamannya, "kayak damkar ya om?" tanyanya membuatku terkekeh bersama dengan Hanif.
"Ya udah kalau gitu aku duluan ya!"
"Eh bentar!" ucapku menahannya.
Aku mengeluarkan salah satu buku yang aku beli, "ini buat Radit. Tadi dia ngeliatin buku ini terus makanya aku beliin."
"Ya ampun Ri, padahal gak usah. Bukunya udah banyak kok di rumah," ucap Hanif merasa tidak enak.
"Gak apa-apa, bawa aja. Ponakan aa cepet banget belajarnya, dia juga tadi yang pertama selesai merangkai mainannya," ucapku membuat laki-laki itu tersenyum sembari menerima bukunya, "ya udah kalau gitu kita pamit dulu ya!"
"Bilang apa sama Bu guru?" tanya Hanif pada ponakannya.
"Makasih ya Bu guru cantik," ucap Radit dengan senyumannya.
Aku mengangguk dengan senyuman lalu melambaikan tangan pada keduanya.
Di sisi Hanif,
Dia dan ponakannya itu memang tidak tinggal dalam rumah yang sama. Hanya berdekatan dan terhalang beberapa rumah saja.
Hanif membawa ponakannya itu masuk ke rumah kakak sepupunya—orangtua radit.
"Assalamualaikum!!" salam keduanya.
Radit berlari pada ibunya yang baru saja datang setelah urusannya di luar selesai, "mamah liat aku dapet ini!!"
"Dari siapa ini?" tanya ibunya.
"Dari bu guru cantik, Mamah," jawabnya.
Ibunya menoleh pada Hanif yang kini berdiri di dekat mereka, "bu guru siapa?"
"Ya tanya aja sama anaknya, masa nanya sama aku," ucap Hanif dengan nada juteknya.
"Itu loh mamah, kakak cantik yang waktu itu mainin kucing sama adit. Mamah inget gak?" tanyanya.
"Loh emangnya dia jadi guru adit? Kok mamah gak tau ya,"
"Dia baru mulai kerja, Kak," jawab Hanif menyela hingga kakak sepupunya itu menoleh.
"Kok kamu tau? Kan udah lama juga gak anter jemput adit,"
"Kan tadi kita anterin dulu bu guru ke toko buku terus anter ke rumahnya, mamah. Makanya banyak ngobrol sama om," ucap Radit menyela.
Kakak sepupu hanif menatap dengan curiga.
"Kebetulan dia pasien di rumah sakit, kak. Terus aku juga sempet ketemu sama dia waktu ada kejadian di rumah sakit, yang waktu itu kubilang ke kantor polisi," jelas Hanif.
"Tapi kalau sekedar kenal, gak mungkin sampe dianter ke toko buku dong,"
"Ya emangnya gak boleh?" tanya Hanif, "kan sesama manusia harus saling tolong menolong."
Kakak sepupunya itu menahan senyuman, "hanif, dipikir kakak belum pernah gitu jatuh cinta? Kamu suka kan sama dia?" tanyanya.
Hanif terdiam, ia tidak bisa berkata lagi setelahnya.
"Ah udah ah! Aku mau pulang dulu, mau tidur. Jangan ganggu!" ucap Hanif lalu pergi ke rumahnya sembari langsung memasukkan motornya ke garasi.
Baru saja ia menjatuhkan tubuhnya pada sofa ruang tengah. Panggilan dari ibunya masuk pada ponsel yang ia taruh di meja.
Hanif sebenarnya sudah tahu dengan apa yang akan dibahas ibunya. Ia menghela napasnya berat lalu menyambungkannya.
"Iya assalamualaikum bu!"
"Waalaikumsalam. Lama banget angkat teleponnya, Ibu tau ya kalau kamu lagi gak kerja. Jadi gak usah bilang kalau lagi sibuk. Alasan aja,"
"Iya bu. Ini abang cuman lagi rebahan, barusan baru pulang dari jemput radit,"
"Kok baru pulang? Bukannya PAUD cuman sampe jam 10-an ya?"
"Ya kan main sebentar,"
"Gimana? Udah pastikan belum calon menantu ibu itu? Kapan mau dikenalin?"
Hanif mendecak mendengarnya.
"Bu udah deh bahas hal itu,"
"Bang, kamu itu udah dewasa loh! Masa adik sepupu kamu mau nikah bulan depan. Kamu belum ada gandengan,"
"Ya kan jodoh mah ditangan Allah, bu,"
"Iya ibu tau. Tapi kalau kamu gak cari sama aja bohong,"
"Abang nyari kok, bu,"
"Kamu gak nyari abang. Kalau udah ada yang kamu naksir, deketin terus saling kenal lebih jauh lagi. Habis itu kenalin sama orangtua kalau udah saling cocok, bukan maunya pacaran terus,"
"Abang juga maunya gitu bu..Cuman kan ibu tau, kalau abang baru bilang kenalan sama dia aja di bulan lalu. Kita juga belum banyak cerita, makanya belum cukup mengenal dari sisi abang ataupun dari sisi dia,"
"Coba abang deskripsi-in dulu dia itu gimana?"
"Dia unik,"
"Bang, kamu yang bener aja dong bikin deskripsi. Maksudnya, Ibu pengen punya deskripsinya biar ibu bisa ngebayangin cewek yang bisa buat kamu jatuh hati itu kayak gimana,"
"Tapi abang mau tanya dulu sama ibu boleh?"
"Tanya apa abang?"
"Kalau dia gak setara dalam pendidikan sama kerjaan, ibu gak apa-apa kan?"