“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Pilihan yang Menyakitkan
Rima melirik ke arah Ardi. Senyum kecil melengkung di bibirnya, tenang tapi penuh kuasa.
“Ini memang keputusan berat,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan menggoda. “Karena itu, aku akan memberimu waktu untuk berpikir. Tapi ingat, Ardi… Kemala tak punya banyak waktu untuk menunggumu. Apalagi hanya untuk merenung.”
Ardi terdiam. Dadanya sesak seperti terhimpit batu besar. Rasanya ia sedang berada di persimpangan jalan gelap. Jika ia berhenti terlalu lama, kendaraan dari belakang akan menghantam, menghancurkannya bersama semua yang ia lindungi.
Tanpa berkata apa-apa, Rima mengeluarkan secarik kertas kecil dari tasnya. Ia menuliskan nomor telepon, lalu menyelipkannya ke tangan Ardi. Gerakannya halus, seperti menaruh beban tak kasatmata di genggaman pria itu.
Ardi terdiam, menatap kertas itu sejenak. Tangannya mengepal di pangkuan, wajahnya kaku menahan gejolak yang ingin meledak. “Aku… akan bicarakan ini dengan anak dan istriku.” Suaranya datar, nyaris tanpa jiwa.
Ia meraih tuas pintu, membukanya tanpa menoleh, tanpa pamit, tanpa senyum.
Langkahnya berat, tapi mantap. Setiap gerakan seperti membawa beban dosa yang belum terjadi tapi sudah menghantuinya.
Rima menatap punggung Ardi yang menjauh. Senyum miring mengembang, seperti seorang yang tahu jalannya menuju kemenangan terbuka lebar.
“Kau masih tetap tampan, meski usiamu sudah menua…” bisiknya lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri. “Dan sialnya… aku masih menginginkanmu. Meski kini kulitmu kusam, tubuhmu kurus tak terurus karena terlalu keras bekerja dan kurang istirahat…”
Ia bersandar ke jok, matanya menyipit, kilat obsesi dan dendam menyala di sana.
“Kali ini, Ardi… pria yang selalu menolakku itu, akan kugenggam sepenuhnya.” Rima menatap telapak tangannya yang mengepal, seakan Ardi sudah terkunci di sana. Senyum puas mengembang di bibirnya. “Dan kau, Kemala…” ia tertawa pelan, namun sorot matanya menusuk dingin.
“Dulu, semua orang memujamu, Kemala. Kecerdasanmu, kecantikanmu… membuatku seolah hanya bayangan yang tak pernah dianggap. Setiap pria yang kusukai, satu per satu berpaling padamu."
Rima terdiam, rahangnya mengeras. “Bahkan Ardi… cinta pertamaku. Lelaki yang tumbuh bersamaku sejak kecil, yang sempat hilang sekian lama. Saat ia kembali, aku berharap semesta memberiku kesempatan. Tapi ternyata cukup sekali ia menatapmu. Sekali saja, dan hatinya jatuh padamu. Bukan padaku. Seakan aku hanyalah batu pijakan yang tak pernah ia lihat.”
Lalu, Rima tersenyum, tapi licik, pahit, penuh racun yang disimpan bertahun-tahun.
“Tapi sekarang? Kau hanya wanita berpenyakit. Rapuh. Tak berdaya. Kau akan tetap hidup… karena aku akan memastikan cuci darahmu terjamin. Tapi aku tak akan membiarkanmu sembuh. Aku ingin kau panjang umur hanya untuk menyaksikan lelaki yang kau cintai tidur sekamar… dan menghabiskan malam denganku.”
Tawa kecilnya bergema di dalam mobil. Lembut, tapi menusuk.
Seperti lolongan kemenangan seorang wanita yang akhirnya berhasil menjerat masa lalunya.
***
Di sisi lain, Ardi melangkah pulang dengan langkah gontai. Kepalanya dipenuhi suara-suara yang saling beradu, seperti palu menghantam besi panas.
“Menikah lagi?” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan yang ia sendiri takut dengar.
Tanpa sadar, ia tertawa getir. Pahit. Asing. Pikiran itu menusuk jiwanya seperti duri yang tak bisa dicabut.
Tak pernah sekali pun terlintas untuk menduakan Kemala. Bahkan saat tubuh istrinya rapuh, terikat oleh sakit yang tak kunjung sembuh, cintanya tak pernah goyah. Ia tak bisa berpaling darinya.
"Kini, aku dipaksa memilih," lirihnya, tersenyum pahit.
Menyelamatkan Kemala dengan melukai hati anak-istrinya, bahkan dirinya sendiri, atau menolak peluang itu, yang berarti tak lama lagi akan kehilangan wanita yang paling ia cintai. Dan Ardi tahu, ia tak pernah siap kehilangan Kemala.
“Kenapa aku harus dihadapkan pada pilihan seperti ini?” bisiknya lagi, suaranya serak.
Meski Ardi sudah terdaftar sebagai peserta BPJS, beban biaya keluarga tak serta-merta hilang begitu saja. Cuci darah memang ditanggung penuh, tapi kenyataannya ada banyak hal lain di luar itu.
Obat-obatan tambahan yang tak tercakup dalam daftar BPJS, vitamin penunjang, obat antivirus, hingga obat untuk menstabilkan tekanan darah, semua itu harus ia beli sendiri. Belum lagi biaya laboratorium tertentu, diet khusus rendah garam dan protein, serta ongkos transportasi pulang-pergi rumah sakit dua kali seminggu.
Semua itu perlahan menggerus tabungan keluarga. Satu per satu aset mereka terjual, hingga akhirnya tak ada lagi yang tersisa selain tempat berteduh sederhana di sebuah kontrakan kecil yang mereka sebut rumah. Bukti nyata bahwa penyakit itu bukan hanya menggerogoti tubuh sang istri, tetapi juga kehidupan seluruh keluarga.
Ardi terbiasa menunduk lama di depan daftar belanja bulanan. Pekerjaan yang dulu ringan di tangan Kemala, kini terasa berat di pundaknya. Ia harus memilih dengan hati-hati, mana yang benar-benar prioritas, mana yang bisa ditunda.
Dan setiap kali menerima nota obat dari apotek, jantungnya terasa seperti ditusuk. Nominal itu sering lebih besar dari uang yang ia genggam. Dengan berat hati, ia kerap hanya menebus setengah resep, sisanya menunggu hingga punya cukup uang, seolah penyakit bisa sabar menanti.
Pikirannya terus berkecamuk hingga akhirnya ia tiba di depan kontrakan kecil itu. Ia berhenti, menatap pintu yang kusam.
Matanya terpejam. Tangan terkepal.
"Aku harus kuat. Aku harus mengambil keputusan terbaik untuk keluargaku… meski itu akan menyakitkan."
Ia membuka mata, ada keteguhan baru yang berusaha ia tanamkan di sana, meski rapuh. Tangannya meraih gagang pintu.
Begitu pintu terbuka, aroma sederhana rumah menyambutnya. Aroma yang mengingatkannya… untuk siapa semua ini ia jalani.
Dari dapur mungil di belakang terdengar suara spatula beradu dengan wajan. Tanpa perlu melihat, ia tahu siapa di sana. Kevia, putrinya yang baru SMP, sedang memasak makan malam seadanya. Usianya masih terlalu muda, tapi sudah harus memikul beban yang seharusnya jauh di luar genggamannya.
Ardi menelan perih di tenggorokan lalu melangkah ke kamar. Di sana, Kemala terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, napasnya pendek-pendek. Namun ketika menyadari Ardi hadir, matanya terbuka perlahan. Senyum samar terbit di wajahnya, rapuh tapi penuh cinta.
“Kau sudah pulang?” suaranya lirih, seakan setiap kata mencuri sisa tenaga yang dimilikinya.
Ardi tersenyum tipis. Senyum yang hanya berhenti di bibir, tak sanggup menyeberang ke matanya. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap rambut istrinya dengan lembut. Sakit rasanya, menyadari belakangan ini ia lebih sering berada di luar rumah mencari uang, daripada menemani wanita yang sudah memberikan segalanya untuknya.
Tangannya menggenggam jemari Kemala. Hangat, tapi entah kenapa, kali ini kehangatan itu tak mampu menenangkan hatinya. Justru membuat dadanya kian bergejolak, karena apa yang akan ia katakan terasa seperti belati bagi dirinya sendiri.
“Sayang…” panggilnya lirih. Suaranya bergetar. “Aku… ingin menikah lagi.”
Kepala Kemala seketika terangkat, matanya membesar seakan dipukul palu godam. Hatinya seakan diremas tak kasat mata. Namun bukannya marah, ia justru tersenyum tipis. Senyum yang lebih mirip luka.
“Karena aku sudah tak bisa melayanimu, ya? Karena aku hanya jadi bebanmu?” bisiknya. Bibirnya bergetar, menahan air mata yang mendesak keluar.
Ardi buru-buru menggeleng, wajahnya menunduk dalam, suaranya serak. “Bukan, Sayang. Aku ingin menikah lagi… bukan karena aku tak puas denganmu. Bukan karena cintaku berkurang. Justru sebaliknya. Aku ingin melakukannya supaya kau bisa tetap hidup. Supaya kau bisa terus bersamaku, bersama Kevia.”
Kemala menatapnya, bingung. “Apa maksudmu?”
Ardi menghela napas panjang, lalu menatap istrinya dengan mata basah. “Aku sudah berusaha sekuat tenaga, bekerja siang malam. Tapi aku tak mampu membiayai cuci darahmu lagi. Ada seseorang… yang bersedia menanggung semua biaya. Selamanya. Asal aku mau menikah dengannya.”
Kemala terdiam, jantungnya berdetak tak karuan. “Siapa…?” suaranya lirih, penuh rasa tak percaya.
“Rima,” ucap Ardi akhirnya. Nama itu terdengar seperti palu terakhir yang menghantam dadanya. “Dia bersedia menanggung semua… asal aku menikahinya. Tapi aku tak akan menceraikanmu. Kau tetap istriku, sampai kapan pun.”
Air mata Kemala pecah, jatuh membasahi pipi yang pucat. “Ardi… semua yang kau lakukan, siang malam bekerja, memeras tubuh, dan sekarang… menikah dengan wanita lain… semuanya demi aku? Cukup, Ardi. Cukup. Aku tak ingin membebanimu lagi.” Suaranya pecah, tubuhnya bergetar. “Aku rela… kalau memang waktuku harus berakhir.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....