NovelToon NovelToon
Jawara Dua Wajah

Jawara Dua Wajah

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Pemain Terhebat / Gangster / Idola sekolah
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Aanirji R.

Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.

Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.

Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perasaan Tulus

Jam pelajaran terakhir akhirnya selesai. Bel pulang berbunyi, dan halaman sekolah langsung dipenuhi suara ribut anak-anak yang keluar berhamburan.

Nayla jalan bareng Riri, masih asyik ngobrol soal tugas. Tapi langkah Nayla langsung terhenti begitu matanya menangkap sosok yang berdiri di dekat gerbang sekolah.

Ardi.

Cowok itu berdiri di samping motor sport hitam mengilap—Ninja 250 yang suara mesinnya aja udah bikin semua kepala menoleh. Helm full face warna senada nongkrong di tangannya, jelas bukan barang murahan. Ardi sendiri nyender santai ke motor, seragamnya digulung rapi sampai siku, dasi longgar, rambut disisir asal tapi malah bikin dia keliatan effortless keren.

“Nay… itu… itu Ardi kan?” Riri melongo, suaranya nyaris teriak. “Ya ampun, cowok itu beneran jemput lo!”

Nayla panik, buru-buru nutup mulut Riri. “Ssst! Jangan keras-keras!”

Tapi Ardi udah senyum lebar, ngangkat tangan sambil melambaikan ke arah Nayla. Seolah nggak peduli kalau puluhan mata siswa lain lagi ngeliatin.

“Naylaaa! Sini!”

Dan benar aja—seketika suasana jadi rame. Anak-anak langsung bisik-bisik, ada yang cekikikan, ada yang sengaja rekam pake HP, ada juga yang keliatan sirik campur kagum.

Nayla nunduk, wajahnya panas. Dia nyoba jalan cepet, tapi Ardi keburu nyamperin dengan langkah santai.

“Tumben lama? Gue udah nungguin dari tadi,” suara Ardi terdengar ringan, tapi cukup buat Nayla makin salah tingkah.

“Ardi… jangan gini di sini. Semua orang liat,” bisik Nayla, setengah panik.

Ardi malah ketawa kecil, lalu mendekat sambil nunduk biar sejajar sama wajah Nayla. “Lagian kenapa? Gue cuma pengen anterin lo pulang. Salah?”

Riri udah nggak tahan, ngakak sambil nyikut lengan Nayla. “Ih Nay, serius deh, ini kayak drama Korea versi nyata!”

“Riri!!” Nayla protes, wajahnya makin merah.

Ardi lalu nyodorin helm full face hitam doff itu ke Nayla. “Yuk, naik. Gue anterin.”

Nayla gelagapan. “Aku… aku bisa jalan kaki.”

Ardi nggak mundur, sorot matanya tajam sekaligus hangat. “Sekali aja. Gue janji bawa pelan. Nggak usah takut.”

Semua orang makin ngeliatin. Nayla merasa jantungnya mau meledak. Kalau gosip ini nyampe ke Bima… tamat.

Tapi akhirnya, dengan tangan gemetar, Nayla nerima helm itu. Begitu dia pakai, Ardi tersenyum puas. “Cocok. Pegangan yang kenceng ya, Nay.”

Nayla naik pelan-pelan, deg-degan setengah mati. Dan saat mesin motor sport itu meraung, hampir seluruh anak di depan gerbang refleks menoleh.

Ardi ngegas pelan, bawa Nayla keluar dari kerumunan. Sementara di belakang, bisik-bisik nggak berhenti terdengar.

Dan di dalam hati, Nayla sadar—kejadian ini bakal bikin namanya heboh di sekolah. Terutama kalau sampai Bima tahu.

Angin sore langsung menerpa wajah Nayla begitu motor sport itu melaju keluar gerbang sekolah. Suara knalpotnya berat, tapi stabil—nggak ngebut ngawur seperti anak-anak lain. Ardi beneran bawa pelan, bikin Nayla sedikit lega.

Tangan Nayla awalnya ragu, cuma nempel ringan di pinggang seragam Ardi. Tapi Ardi sempat melirik lewat spion, lalu bersuara, separuh bercanda tapi serius.

“Kalau pegangan segitu doang, lo bisa jatoh, Nay. Genggam yang bener, gue nggak mau lo kenapa-kenapa.”

Mau nggak mau, Nayla narik napas dalam dan mempererat pegangan. Jantungnya langsung berdegup lebih kencang, apalagi Ardi sempat menoleh sedikit, senyum tipisnya keliatan dari kaca helm.

“Gitu dong,” katanya santai, seakan biasa.

Mereka melaju melewati jalan komplek, dan Nayla baru sadar betapa banyak mata yang masih melirik. Nggak heran, motor Ninja hitam berkilau itu memang mencolok, apalagi ditunggangi cowok sekeren Ardi dengan penumpang Nayla di belakangnya.

Beberapa menit kemudian, Ardi melambat, lalu berhenti di depan sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Tempatnya masih sederhana, tapi hangat dan lumayan ramai.

“Turun dulu,” kata Ardi, matiin mesin.

Nayla buru-buru lepas helm. Rambutnya sedikit berantakan, tapi Ardi malah menatapnya sebentar dengan senyum menggoda. “Tuh kan, makin manis kalau begini.”

Nayla langsung salah tingkah, buru-buru menunduk. “Ardi… kita kan cuma mau pulang.”

Ardi mengangkat bahu. “Santai. Gue laper. Kita makan dulu. Gue traktir.”

“Nggak usah deh, aku bisa sendiri—”

“Kalau nolak, gue nggak mau anterin pulang,” potong Ardi cepat, ekspresinya masih santai tapi matanya serius.

Nayla menatapnya, bingung harus bagaimana. Akhirnya dia menyerah, menghela napas. “Yaudah… tapi bentar aja.”

Ardi langsung tersenyum puas, lalu nyodorin helm ke salah satu pegawai parkir buat dititipin. “Good girl. Yuk.”

Mereka masuk ke dalam kafe. Suasana cozy dengan aroma kopi dan roti panggang langsung menyambut. Nayla masih kikuk, melirik kanan-kiri takut ada yang kenal. Tapi Ardi santai banget, bahkan menarik kursi buat Nayla duluan.

“Duduk. Gue pesenin yang lo suka. Mau teh manis? Jus? Atau kopi?” tanyanya sambil menyalakan tablet menu.

Nayla menggigit bibir, masih ragu. “Teh aja…”

“Teh panas, sama satu roti bakar cokelat. Itu favorit cewek kan?” Ardi ngedip, bikin Nayla makin salah tingkah.

Saat pesanan datang, Ardi sempat mencondongkan badan, suaranya lebih pelan. “Lo keliatan tegang banget, Nay. Tenang aja, gue nggak bakal bikin lo malu di depan orang.”

Nayla melirik, menahan senyum kecil yang nyaris lolos. “Kamu itu ya… selalu seenaknya.”

Ardi terkekeh. “Mungkin. Tapi kalau sama lo, gue nggak bisa biasa-biasa aja.”

Nayla tercekat. Suara Ardi barusan pelan, tapi nadanya tulus. Jantung Nayla berdegup makin keras, dan untuk pertama kalinya sore itu, dia benar-benar menikmati kebersamaan dengan Ardi.

Pelayan menaruh teh panas di depan Nayla dan kopi latte dengan latte art rapi di depan Ardi. Roti bakar cokelat pun menyusul, masih hangat dengan lelehan cokelat yang harum.

“Coba deh, rotinya. Gue jamin enak,” kata Ardi, nyodorin piring ke arah Nayla.

Nayla pelan-pelan meraih sepotong. Tangannya sempat gemetar sedikit karena gugup, sampai-sampai cokelatnya belepot di ujung bibir.

Ardi ngakak kecil, lalu tanpa mikir panjang, dia meraih tisu dari meja. “Udah kayak anak kecil aja.”

Sebelum Nayla sempat bergerak, Ardi majuin tangan, ngelap cokelat di bibirnya pelan dengan tisu. Gerakan yang sederhana, tapi cukup bikin wajah Nayla panas merona.

“Ardi!” Nayla langsung refleks menunduk, nutup wajah dengan tangan.

“Kenapa? Gue kan cuma nolongin.” Ardi menyender santai, tapi matanya jelas nakal, seolah menikmati rasa salah tingkah Nayla.

Nayla menatapnya sekilas, lalu cepat-cepat alihin pandangan ke teh panas di tangannya. “Kamu itu… nggak bisa lebih normal sedikit ya?”

“Normal? Gue justru udah nahan diri biar nggak aneh-aneh.” Ardi tersenyum tipis, matanya tajam tapi hangat.

Suasana sempat hening beberapa detik, hanya diisi suara orang-orang lain ngobrol dan musik akustik yang diputar pelan. Lalu, Ardi membuka suara lagi, kali ini nadanya agak serius.

“Lo tau nggak, Nay… gue jarang kayak gini sama cewek. Biasanya gue nggak sempet. Orang tua gue sibuk banget, bokap hampir tiap bulan ke luar negeri, nyokap juga lebih banyak ngurusin bisnis daripada di rumah.”

Nayla mengangkat alis, terkejut dengan pengakuan itu. “Oh… jadi kamu sering sendirian?”

Ardi mengangguk ringan. “Iya. Rumah gede, mobil ada, motor ada, barang branded semua… tapi kosong. Kalau gue nggak cari kegiatan sendiri, bisa gila gue.”

Nayla menatapnya lebih lama kali ini. Dari cara Ardi ngomong, dia bisa ngerasa kalau di balik gaya sok cool dan cueknya, cowok itu nyimpen sisi rapuh.

Ardi tersenyum miring, mencoba mengalihkan. “Makanya gue suka nongkrong di kafe-kafe gini. Gue bosen sama makanan rumah yang selalu dihidangin pembantu. Gue pengen ngerasain yang biasa aja, kayak roti bakar dua puluh ribuan gini. Lucunya, rasanya malah lebih enak.”

Nayla ikutan tersenyum kecil. “Kamu aneh juga ya. Punya segalanya, tapi nyarinya yang sederhana.”

“Ya karena sederhana itu justru lebih tulus, Nay.” Tatapan Ardi menusuk ke mata Nayla.

Nayla buru-buru alihkan pandangan, menyesap teh panasnya supaya bisa menutupi degupan jantung yang makin liar. Tapi dalam hati, ia tahu—ada sesuatu dalam diri Ardi yang mulai bikin pertahanannya goyah.

Ardi, sambil memainkan sendok kecil di tangannya, menambahkan pelan, “Dan entah kenapa, duduk di sini sama lo… rasanya jauh lebih mahal daripada semua barang branded yang gue punya.”

Nayla langsung tercekat. Pipinya memanas, kata-katanya tercekat di tenggorokan.

Ardi hanya menyeringai tipis, puas melihat reaksi itu. “Santai aja, gue nggak bercanda.”

1
Cadel_1
Lanjut thor🔥🔥
Aanirji R.: Siap kak 😉
total 1 replies
Cadel_1
Apa ni apa ni apa ni
Amel
lnjuttt
Amel
Suka banget sama cerita aksi sekolah sekolah gini
Aanirji R.: siap kak😉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!