Citra Asmarani Mahardi, siswi culun berkacamata tebal, selalu berusaha hidup biasa-biasa saja di sekolah. Tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya putri tunggal seorang CEO ternama. Demi bisa belajar dengan tenang tanpa beban status sosial, Citra memilih menyembunyikan identitasnya.
Di sisi lain, Dion Wijaya—ketua OSIS yang tampan, pintar, dan jago basket—selalu jadi pusat perhatian. Terlebih lagi, ia adalah anak dari CEO keturunan Inggris–Thailand yang sukses, membuat namanya makin bersinar. Dion sudah lama menjadi incaran Rachel Aurora, siswi populer yang cantik namun licik, yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dion.
Saat Citra dan Dion dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah, Dion mulai melihat sisi lain Citra: kecerdasannya, kesabarannya, dan ketulusan yang perlahan menarik hatinya. Namun, semakin dekat Dion dan Citra, semakin keras usaha Rachel untuk menjatuhkan Citra.
Di tengah persaingan itu, ada Raka Aditya Pratama—anak kepala sekolah—yang sudah lama dekat dengan Citra seperti sahabat. Kedekatan mereka membuat situasi semakin rumit, terutama ketika rahasia besar tentang siapa sebenarnya Citra Asmarani mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Solidaritas Kelas Hasanudin
Koridor luar toilet, masih pagi itu.
Dua siswi kelas lain—sebut saja Nadia dan Putri—baru saja keluar dari toilet satunya. Mereka saling pandang setelah mendengar jelas percakapan Rachel & Sherly tadi.
“Lo denger kan barusan?” bisik Nadia dengan wajah tegang.
gila, Rachel sama Sherly ternyata sengaja ngejebak Citra. Dan sekarang mereka mau bikin dia celaka pas outbond besok!” jawab Putri panik.
Keduanya bingung, tapi akhirnya memutuskan buat cerita ke Afifah, yang mereka tahu dekat dengan Citra.
Siang, kelas Hasanudin.
Afifah langsung ngumpulin geng sekelas—termasuk Raka dan beberapa cowok lain. Mereka duduk melingkar di bangku belakang, kayak lagi rapat rahasia.
“Gua dapet info penting,” suara Afifah rendah tapi serius.
“Besok di outbond, Rachel sama Sherly rencananya mau ngejebak Citra. Mereka sengaja ngomong di toilet, dan ada yang denger.”
Sontak kelas jadi rame.
“Hah?! Kok jahat banget sih?”
“Parah! Itu udah keterlaluan banget.”
“Bukan cuma bully lagi tuh, udah kriminal level sekolah.”
Raka langsung menggebrak meja. “Kalo gitu kita jangan tinggal diam. Citra harus kita lindungin. Gua nggak mau dia jadi korban.”
Salah satu cowok lain, Reno, nyeletuk sambil ketawa kecil, “Wih, pahlawan kesiangan banget lu, Rak. Tapi gua setuju, kita bikin benteng buat Citra.”
Afifah mengangguk mantap. “Bener. Tapi kita nggak bisa frontal, soalnya kalo Rachel tahu kita udah tau rencananya, bisa makin parah.”
“Jadi?” tanya yang lain.
Afifah menatap satu-satu teman sekelasnya. “Kita harus kompak. Besok di outbond, semua jaga posisi. Kita bikin seolah-olah santai, padahal diam-diam kita ngawasin Citra. Begitu ada tanda-tanda jebakan, kita bergerak.”
Semua langsung heboh, tapi semangatnya kerasa.
“Woi keren juga nih!”
“Team protect Citra!”
“Gua kebagian bagian mana?”
Citra yang duduk di pojokan cuma melongo bingung. “Eh… kalian ngomongin apa sih?”
Afifah langsung nyengir, “Udah-udah, Cit. Pokoknya kalo besok ada yang aneh, jangan panik. Percaya aja sama kita.”
Citra menatap teman-temannya dengan heran, tapi juga hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa kelas Hasanudin beneran solid, kayak keluarga baru yang siap pasang badan buat dia.
Di luar kelas, Dion yang baru lewat sempet berhenti. Dia ngeliat suasana kelas Hasanudin heboh dan kompak, senyum samar muncul di bibirnya. “Heh, menarik juga. Jadi makin penasaran sama lo, Citra Asmarani…”
Pagi di lapangan outbond.
Bus-bus siswa parkir di depan lokasi, udara sejuk pegunungan bercampur aroma rumput basah. Semua kelas turun dengan ransel dan topi panitia.
Instruktur outbond sudah siap dengan pengeras suara, “Selamat pagi semuaa! Hari ini kita bakal seru-seruan bareng. Tapi inget ya, teamwork is the key!”
Anak-anak langsung teriak kompak.
“Siapppp!!!”
Kelas Hasanudin berdiri berbaris. Walaupun terlihat santai, mereka punya kode rahasia—tepukan tangan dua kali berarti siaga.
Afifah bisik ke Citra, “Cit, lu jangan jauh-jauh dari gua. Oke?”
Citra mengernyit bingung, tapi akhirnya ngangguk.
Raka yang ada di samping mereka ikutan nyeletuk, “Pokoknya gua jagain lu. Udah tenang aja.”
Citra cuma tersenyum hambar, “Rak, ini outbond, bukan perang. Santai aja kali.”
Anak-anak semua harus melewati rintangan: jaring laba-laba dari tali, jembatan bambu goyang, sampai flying fox. Suasananya ramai banget, teriakan ketawa dan sorak-sorai memenuhi area.
Citra awalnya agak canggung, tapi karena semua temen kelasnya heboh saling support, dia mulai ikut ketawa. Bahkan pas hampir jatuh di jaring laba-laba, satu kelas langsung teriak kompak:
“SEMANGAT CITRAAAA!!!”
Panitia sampai melongo liat kekompakan mereka.
Sementara itu, Dion berdiri agak jauh, tangan terlipat di dada. Tatapannya fokus ke Citra yang lagi berusaha lewat jembatan bambu. Senyum samar muncul, tapi matanya tajam seolah tahu ada yang nggak beres.
“Hmm… Rachel, Sherly… gua yakin lo lagi main trik kotor,” gumamnya pelan. “Kita liat aja siapa yang bakal kena batunya.”
Citra berdiri di awal jembatan bambu goyang, Afifah di sampingnya pegang tali pengaman.
“Santai, Cit… gua ikut nih,” kata Afifah, menatap jembatan.
Raka di belakang, tangan mengepal, siap ambil aksi kalau ada yang aneh.
Tiba-tiba, Sherly dan Rachel nyelinap dari sisi jembatan, bawa ember berisi air kotor. Mereka saling bisik, “Siap-siap, pas dia di tengah jembatan, kita siram!”
Citra belum sadar apa-apa.
Dion, dari kejauhan, mencondongkan badan, matanya mengikuti setiap gerakan Rachel & Sherly. Senyum samar muncul, tapi matanya tetap fokus.
“Gara-gara gua, mereka berani main kotor. Lucu juga…” gumam Dion.
Afifah tiba-tiba nyenggol tangan Raka, “Rak, liat! Mereka mau ngejebak Cit!”
Raka buru-buru ambil sapu panjang yang tersandar di dekatnya, “Santai… gua urus ini.”
Begitu Rachel dan Sherly siap ngelempar ember, Raka dengan cekatan menendang ember itu. Tapi… jebakan malah kena mereka sendiri! Air tumpah ke Sherly dan Rachel, mereka menjerit, panik, sambil terpeleset ke tanah.
Citra & Afifah cuma bisa menahan tawa, sementara kelas Hasanudin tepuk tangan riuh.
“SEMANGAT HASANUDINNN!!!” teriak satu kelas, membuat Rachel & Sherly makin kesal tapi juga malu di depan semua orang.
Dion menahan tawa di kejauhan, sambil catat mental siapa yang berhasil nyelamatin Citra.
Rachel dan Sherly nyungsep di sisi lapangan, baju basah dan rambut acak-acakan. Sherly mengelap wajahnya sambil cemberut.
“Astaga… Cit… kenapa sih mereka bisa nyelametin dia?!” geram Rachel sambil mengetuk tanah dengan sepatu.
Sherly ikut menggeram, “Gila, gue udah rencana matang, tapi semuanya gagal! Bahkan Raka itu… anak baru aja kayaknya udah jadi bodyguard si Citra.”
Rachel menggertakkan gigi, matanya memerah. “Besok… BESOK gue pasti bikin dia kapok! Anak baru itu bakal ngerasain sendiri. Gak boleh Citra terus dicibir, harus kita balas dendam proper!”
Sherly mengangguk setuju, mulai susun strategi di telepon, “Oke, gue siap bantu. Tapi lo kudu tenang, jangan sampe salah langkah.”
Di sisi lain lapangan, kelas Hasanudin lagi kumpul bareng Citra. Mereka ketawa bareng, menepuk bahu satu sama lain, dan mulai bikin “kode proteksi” kalau Rachel & Sherly nyoba lagi.
Raka nyeletuk sambil nyender ke Afifah, “Gila ya, makin hari makin jelas kalo kita harus solid. Gue sih siap bikin strategi biar Cit aman.”
Afifah menepuk pundak Citra, “Tenang, Cit. Kita semua di sini buat lu. Gak bakal ada lagi yang bisa jahatin lu.”
Citra cuma tersenyum tipis, masih ada rasa lega, tapi juga deg-degan tiap ingat Dion yang lagi mengamati dari jauh.
Dion, dari kejauhan, tersenyum tipis sambil catat mental, “Heh… ini bakal seru. Citra, gue bakal liat sampai mana lo bisa bertahan.”
Keesokan harinya, suasana di sekolah udah ramai. Rachel dan Sherly berdiri di sudut koridor, wajah penuh tekad.
“Gue gak mau gagal lagi, Sher. Hari ini Citra harus kena. Titik!” ujar Rachel sambil menatap tas besar yang dibawanya.
Sherly nyengir. “Tenang… gue udah siapin semuanya. Kali ini pasti lebih rapi.”
Di sisi lain, Citra lagi jalan bareng Afifah menuju kelas. Raka, yang kebetulan lewat, nyeletuk, “Cit, hati-hati. Ada yang lagi nyusun trik kotor lagi. Tapi santai, gue siapin ‘bodyguard plan’ buat lu.”
Citra cuma ngangkat alis, “Yaelah… kayak lagi perang aja sekolah gue.”
Rachel & Sherly udah siap dengan jebakan: ember berisi air, tali pengikat, dan sedikit confetti biar dramatis. Tapi sebelum mereka bisa pasang jebakan, kelas Hasanudin—yang sadar ada tanda-tanda trik—langsung sigap.
Raka dengan sigap narik sapu, Afifah nahan ember, sementara beberapa murid lain pura-pura jalan santai melewati “zona bahaya” untuk mengalihkan perhatian Rachel & Sherly.
Tiba-tiba… jebakan itu terbalik sendiri! Ember jatuh tepat ke kepala Rachel & Sherly, air tumpah, confetti beterbangan. Beberapa siswa lain ngakak, termasuk Citra, yang berusaha menahan tawa.
Rachel berlari ke toilet sambil mengomel, rambut basah menempel di wajah. Sherly juga ngamuk, tapi terpaksa berlari nyusul Rachel.
Di tengah kekacauan, kelas Hasanudin tertawa bareng Citra. Kekompakan mereka makin terlihat—bukan cuma melindungi Citra, tapi juga bikin mereka makin solid.
Dari jauh, Dion memperhatikan semuanya sambil tersenyum tipis. Matanya menyipit, penuh rencana. “Heh… ini baru seru. Citra, besok gue bakal kasih ‘trik kecil’ buat lo. Tapi gue penasaran… seberapa jauh lo bisa bertahan.”