NovelToon NovelToon
Kurebut Suamiku

Kurebut Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: megatron

Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.

Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.

Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.

Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bebal

Apartemen mewah di lantai atas itu tampak tenang dari luar—lampu kuning temaram menyaring lewat tirai linen yang menjuntai lembut. Tapi di dalam, keheningan diselimuti oleh ketegangan yang nyaris tak kasat mata. Adisty duduk bersandar di sofa beludru abu-abu, kaki terlipat rapi, dan jemarinya menari perlahan di atas layar tablet yang menampilkan berkas-berkas penting dan rekaman CCTV.

Suara pendingin ruangan mendengung pelan, sesekali diselingi bunyi klik mouse dan ketukan ringan keyboard. Di meja kopi, secangkir teh melati yang nyaris dingin berdiri bersebelahan dengan catatan tangan yang penuh coretan rapi—nama-nama, jadwal pertemuan, dan panah-panah penghubung yang menunjukkan alur rencana. Wajah Adisty terpancar dalam bayangan kaca jendela—tenang, tetapi dengan mata yang menyimpan sesuatu yang jauh dari damai.

Pandangannya tajam saat membuka folder foto-foto Sagara dan Lania, lalu berpindah ke dokumen yang berisi transaksi perusahaan. Matanya menyipit, bibirnya mengulas senyum miring.

“Pandu sudah terlalu jauh,” gumamnya lirih, suaranya nyaris seperti bisikan. “Detektif gila itu ... dia lebih berbahaya dari yang kukira.”

Adisty bangkit dan berjalan perlahan ke arah rak buku. Ia menarik salah satu buku, dan bagian belakang rak terbuka secara otomatis, memperlihatkan ruang penyimpanan tersembunyi—tempatnya menyimpan bukti-bukti manipulasi, rekaman audio tersembunyi, dan salinan dokumen yang tidak seharusnya dimiliki oleh siapapun. Ia mengambil satu flashdisk kecil berwarna hitam dan mengamatinya sejenak, lalu menyelipkannya ke dalam dompet kulit yang selalu ia bawa.

Langkahnya terhenti di depan cermin. Ia menatap bayangannya dalam-dalam, seolah sedang meyakinkan diri. Cahaya lampu mengguratkan siluet tajam di wajahnya—dingin, penuh kalkulasi.

“Jika mereka pikir aku akan menyerah, mereka benar-benar belum mengenalku.”

Di luar, Jakarta malam menari dalam kerlap-kerlip lampu, tak menyadari bahwa di lantai atas sebuah menara, seorang wanita sedang merangkai benang jebakan berikutnya—dengan presisi seorang maestro.

Adisty kembali ke meja, menarik kursi dan duduk tegak. Di hadapannya, layar laptop menampilkan jendela pesan terenkripsi—komunikasi rahasia yang hanya ia gunakan untuk urusan-urusan sensitif. Ia mengetik cepat, mengirim instruksi singkat kepada seseorang, salah satu pion bayaran yang telah lama menjadi bayangannya dalam dunia gelap bisnis dan pengaruh.

"Pantau semua pergerakan detektif itu. Jangan ganggu dia... belum. Aku ingin tahu siapa saja yang jadi sumbernya. Fokus ke Pandu juga. Aku butuh sesuatu yang bisa mematikan kredibilitas mereka—atau reputasi salah satunya."

Pesan itu terkirim. Ia menyandarkan tubuh dan menutup mata sejenak, membiarkan pikirannya menyelami seluruh jaringan konflik yang kini mulai memanas. Semuanya seperti catur—dan tidak boleh mengungguli Adisty dalam bergerak.

Dari balik tirai, ia bisa melihat lampu kota yang berkelip, jauh di bawah sana. Bagi Adisty, setiap lampu itu adalah peluang. Setiap bayangan adalah kemungkinan ancaman—atau alat. Dan ia tahu, untuk menang, harus selalu satu langkah lebih cepat dari mereka.

Dia berdiri lagi, kali ini menuju ke lemari kaca tempat ia menyimpan parfum dan koleksi barang pribadi lainnya. Tangannya mengambil botol kecil berisi cairan bening. Racun ringan—cukup untuk membuat seseorang kehilangan keseimbangan selama beberapa jam, tanpa meninggalkan jejak. Ia memutar botol itu di tangan, menimbang-nimbang.

“Jadi Lania baik-baik saja, dia tidak boleh naik ke permukaan. Aku akan membuat dia tenggelam lebih dalam.”

Nada suaranya dingin. Tidak ada jejak emosi. Hanya tekad dan strategi.

Lalu ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi baru masuk—foto seseorang sedang berbicara dengan Pandu, di basement apartemennya. Zoom wajah memperlihatkan sosok laki-laki yang sudah dikenalnya. Ia menajamkan mata.

“Apakah dia detektif ya Pandu bayar?” bisiknya.

Dengan cepat, Adisty menyimpan foto itu dan mulai menjalankan perangkat lunak pengenal wajah. Butuh waktu, tetapi ia tahu informasi adalah senjata. Dan malam ini, ia tidak hanya merajut jebakan—mulai mengiris sedikit demi sedikit sisa-sisa kepercayaan orang-orang di sekelilingnya.

Hening malam di apartemen itu tidak pernah benar-benar sunyi. Ia dipenuhi suara rencana dan bisikan ambisi. Dan Adisty, dengan segala kedinginan, sedang bersiap untuk menjalankannya.

“Dia terlalu beruntung waktu itu,” desisnya lirih sambil mengambil segelas teh yang telah dingin.

Sambil berjalan ke arah balkon, Adisty menarik napas dalam-dalam. Dari ketinggian apartemennya, Jakarta tampak seperti hamparan lampu tak berujung. Tapi di balik gemerlap itu, rencananya sedang menunggu waktu. Dan jika besok malam berjalan sesuai rencana, Lania tidak akan pernah punya kesempatan kedua.

Di bawah sinar remang bulan, Adisty menatap ke kejauhan. Wajahnya tenang. Tapi di balik mata itu, badai sedang tumbuh—dan satu nama terus bergaung dalam pikirannya.

“Rupanya anak itu lebih kebal daripada yang aku duga, belum lahir aja sudah sebebal ibunya.” Adisty tertawa sinis.

Sambil duduk kembali di sofa, ia membuka rekaman suara—suara Sagara, ketika ia dengan lembut memanggil nama Lania. Lembut, penuh kasih sayang, dan menyakitkan di telinganya.

Wajah Adisty berubah. Tatapannya tak lagi hanya dingin—ada sesuatu yang jauh lebih gelap. Iri. Luka. Dan dendam.

“Dia berhasil mengambil semua yang dulu pernah kumiliki … bahkan sebelum aku bisa menguasai sepenuhnya.”

Adisty menggenggam kuat ponselnya, lalu mematikan layar. Ia tidak butuh alasan moral. Tidak malam ini. Baginya, ini bukan soal membalas dendam. Ini soal keadilan menurut versinya—versi yang tajam, tenang, dan mematikan.

Ia berdiri, memandangi pantulan dirinya sekali lagi di cermin penyekat ruangan.

“Setelah ini,” bisiknya, “Sagara akan tahu… bahwa tidak semua luka bisa disembuhkan. Beberapa harus ditinggalkan—atau dihancurkan.”

Lampu kamar padam. Adisty melangkah ke kamar, meninggalkan keheningan yang menggantung di udara. Malam itu, bukan hanya membawa rencana ke dalam mimpi. Dia akan menyelesaikan dengan cara apa pun.

Pagi merekah perlahan di balik jendela kaca apartemen. Cahaya matahari menelusup malu-malu di sela tirai, membentuk pola-pola lembut di lantai marmer yang dingin. Jakarta mulai berdenyut kembali—suara klakson samar, deru kendaraan, dan siaran radio dari unit tetangga. Namun, semua itu tak mampu menembus kepingan ketegangan yang menggantung di ruang tamu Adisty.

Ia duduk sendiri di meja makan, secangkir kopi hitam dingin di hadapannya. Rambutnya masih terurai, mata merah kelelahan, dan wajahnya tanpa riasan. Di depannya terbuka layar tablet yang menampilkan lembar kerja digital. Dia sedang menyelesaikan pekerjaan kantor sebelum melakukan presentasi di depan Sagara.

Ponsel berdering nyaring, salah satu kolega menelepon pagi-pagi — pasti ada pekerjaan mendesak.

“Halo, pagi, Pak...” Adisty menyapa dengan lembut. “... baik Pak, saya cek dulu jadwal Sagara dalam Minggu ini ... bagaimana?” Dia mendengar dengan cermat, “keluar kota? Oh bisa diatur Pak. Baik, terima kasih.”

1
[AIANA]
wah dia bukan mak lampir, ternyata dia iblis,
[AIANA]
mak lampir plis hus hus hus.
[AIANA]
tantang aja. kalau kamu (Sagara) masih memperlakukan lania dg buruk dan memilih mak lampir, aku dg tangan terbuka akan menampungnya. hahahaha
Mega: Hahaha, siap jadiin ayam geprek ya.
total 1 replies
Queenci Kim
💃🏻💃🏻
Iza
😭😭😭
[AIANA]
nah, jadi orang bodoh lagi kan. sebel aku lama2
Mega: Sabar-sabar, masih awal.
total 1 replies
[AIANA]
ini si Sagara, sekalipun ilang ingatan. sekalipun yg dia ingat adalah perdebatan tentang perceraian. kok dia lupa sama hatinya ya? ada hal lain kah yg belum dibahas?

jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
Mega: Sagara jadi korban penulis plin-plan. kikikikik
total 1 replies
[AIANA]
waktu istri
Mega: Banyak banget typo ternyata ya. kikikikik. nulisnya sambil-sambil. Nanti, deh, revisi lagi. makasih
total 1 replies
[AIANA]
bentar, aku ga salah kan? skg ini si Lania kondisi hamil kan ya?
Mega: Iya, kikikikikikik.
total 1 replies
Mega
MasyaAllah dapat kejutan aku. Makasih sudah sempatkan mampir. kikikikikikik
[AIANA]
lihai bener sih ini nenek lampir
kamu dapat inspirasi dari mana jal
[AIANA]
meninggal kamar. sereeem.
hai sayang. aku datang karena penasaran
Mega: Ayo mulai nulis lagi
[AIANA]: semangat!!! aku bangga padamu. kamu aja kyk gt apalagi aku. malu udah hiatus 1th
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!