Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 02
"APA-APAAN INI?"
Raveena sontak bangkit usai seharian rebahan membaca novel di hari libur bekerja. Rambutnya tampak berantakan dan kusut. Ia bahkan belum mandi demi menamatkan bacaan novelnya.
"Perempuan bodoh!" hardiknya seraya membanting novel tebal itu ke lantai kamar.
Raveena tak menyangka, bahwa ending novel berjumlah lima puluh bab itu berakhir konyol seperti ini. Ia sampai mencari di internet tentang season berikutnya. Namun hasilnya nihil. Novel yang telah tercetak tiga tahun silam itu nyatanya hanya ada satu season.
"Dasar bodoh! Kenapa kau mati konyol-"
Raveena stres sendiri, sampai tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Padahal ia mengharapkan bahwa tokoh utama itu tidak akan menyerah hanya karena sebuah cinta.
Sejak awal cerita, Elira memang bodoh. Namun kiranya, Elira akan bangkit dan berubah. Ternyata terus bodoh sampai akhir?
Jika Raveena adalah Elira, setidaknya ia akan menampar seribu kali lelaki brengsek bernama Arsen itu sebelum mati.
"Grace, awas saja kau," gumamnya kesal. Raveena merasa telah dikerjai oleh sahabatnya sendiri. Grace semalam mengatakan, bahwa novel tersebut penuh motivasi dan bisa membantu kisah percintaan rumitnya.
Apanya yang membantu? Grace memberinya motivasi untuk bunuh diri juga?
"Masa depan anak gadis pemalas akan suram."
Raveena sontak menoleh.
Itu suara Demian, ayahnya yang kini tampak berdiri di ambang pintu entah sejak kapan. Tatapannya terlihat tajam seperti biasa. Gadis itu memungut novel yang sempat ia lempar dan meletakkannya kembali ke atas nakas.
"Aku telah menghabiskan waktu untuk bekerja dari hari Senin sampai Sabtu. Tak bisakah kau membiarkanku menikmati satu hari liburku, Ayah?" sindirnya sambil melemparkan tatap malas.
Dengan perasaan lelahnya, Demian menyelisik kamar putrinya yang berantakan. Mulai dari bantal yang bergeletak tak berdaya di dekat kolong kasur, selimut tebal yang belum dilipat, sampai laptop dengan layar gelap yang dibiarkan begitu saja di atas kasur.
Raveena pun memungut bantal itu saat sadar tatapan ayahnya kian menajam.
"Umurmu sudah cukup untuk menikah," ujar Demian, yang disambut helaan napas sang anak. Raveena sudah sangat muak mendengarnya. Ayahnya selalu mengingatkan hal yang sama di setiap kali kesempatan.
"Cepat mandi. Ada yang ingin bertemu denganmu," titahnya dengan dingin.
Raveena gusar. Ini lebih mengesalkan dari penyesalan membaca ending novel yang tak sesuai harapan. "Siapa lagi?" tanyanya malas.
Damian terdiam sebentar dengan tangan yang sudah menggenggam handle pintu. "Calon suamimu."
"Lagi? Ayah sungguh tahu cara membuat hidupku makin menyedihkan." Rasa geram seketika memenuhi perasaan Raveena.
"Dandanlah yang cantik," final Demian kala enggan mendengar alasan apa pun. "Jangan mempermalukan ayah," sambungnya dengan raut datar.
BRAK!
Raveena terpejam gusar usai pintu kamarnya ditutup kasar. Gadis itu kembali melempar buku novel sebagai pelampiasan kesal. "Sial! Aku sungguh membencinya," umpatnya sambil membanting diri ke atas tempat tidur.
Sebelum sikap Demian sedingin tadi, sebenarnya malam kemarin mereka sempat makan malam bersama di sebuah restoran. Meski begitu, Raveena sendiri tidak pernah merasa nyaman berada satu meja dengan ayahnya.
Di sisi lain, di pertemuan itu Raveena sama sekali tidak tahu bahwa Demian telah merencanakan kehadiran tamu lain yang akan dikenalkan padanya. Sikapnya yang kurang ajar malam itu bahkan berujung pada putusnya relasi bisnis sang ayah.
Namun Raveena tak peduli. Ia tidak peduli jika orang-orang menganggapnya perempuan tak tahu diri.
Tapi kenapa mereka selalu bertengkar membicarakan masa depannya,termasuk soal pria yang pantas mendapatkan hatinya?
Padahal Raveena telah begitu muak pada kekangan yang mereka ciptakan. Ini adalah hidupnya. Ia ingin bebas dan menentukan keinginannya sendiri.
"Kali ini pria seperti apalagi yang akan kutemui?"