"Aku nggak punya pilihan lain." ucap adel
"Jadi kamu memang sengaja menjebakku?" tanya bima dengan nada meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cengzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Bel istirahat berbunyi, para siswa dan siswi berbondong-bondong keluar kelas dengan penuh semangat. Begitupun Adel, Novi dan Sinta yang berjalan menuju kekantin.
Rasa Semangat itu seketika tergantikan dengan rasa muak, saat melihat sandi, Ardi dan 3 temannya, mengintil dari samping.
"Lo ngapain sih ngikutin kita terus?" Tanya Novi kesal.
"Amit-amit ngikutin Lo, orang gue lagi ngikutin Adel geh! Gak usah kepedean jadi orang!" Sewot sandi, berkacak pinggang sembari meniup-niup rambutnya yang menutupi poninya.
"Biarin aja lah! Ngeladenin orang modelan kayak gini mah, gak bakal kelar, nyampe kiamat juga!" Balas Adel mempercepat langkahnya.
"Del! My heart, belahan jiwa, tunggu!" Sandi mengejarnya diikuti oleh para kawan-kawan serta Novi dan Sinta.
"Najis!" Adel memutar bola matanya, jijik dengan ucapan sandi.
"Jangan marah gitu, beb!" Kata sandi menggodanya.
Adel menghela nafas kasar dan memilih untuk diam, mengahadapi sandi hanya menguras emosinya dan merusak moodnya saja.
"Del!" Sapa Liana tepat didepannya sambil melambaikan tangannya.
Adel tersenyum dan bergegas mendekatinya.
"Ke kantin bareng yuk del! Bareng kita!" Ajak Liana melirik temannya. "Rame amat del! Kek dikawal bodyguard!" Lanjut Liana terkekeh.
"Biasa fans gue!" Jawab Adel menaik turunkan alisnya.
"Gue setia mengawal Adel kemanapun Li, sampe pelaminan pun gue jabanin!" Kata sandi menepuk-nepuk dadanya bangga.
"Gaya Lo!" Suara Azizi dari belakang membuat mereka menoleh. Adel berdecak pelan, musuhnya kini datang lagi, siapa lagi kalo bukan Jessica.
"Del! Gak usah kegatelan deh sama cowok gue!" Nah Jessica tiba-tiba ngamuk.
"Eh, gak usah ngayal ye! Bangun cepet udah sieng nih!" Ketus sandi geleng-geleng kepala.
"Jess, jangan ribut disini, emangnya Lo mau masuk BK lagi? Gak kapok ape?" Tanya Azizi kesal.
Jessica tak menjawab. Namun tatapannya tajam diarahkan pada Adel yang nampak acuh dan memilih untuk bergandengan tangan dengan liana. Menuju kantin, sandi dan yang lain mengikutinya, bagai penguntit.
Setibanya dikantin, suasana disana tampak ramai dan heboh, para siswi memekik kegirangan menggerubungi entah apa yang dikerubungi.
"Ada apa tuh?" Tanya sandi heran.
"Kita samperin aja yuk!" Ajak Liana yang diangguki mereka.
Mereka menerobos kerumunan orang-orang dikantin. Disana terdapat satu orang laki-laki yang tengah diajak ngobrol dan foto-foto oleh para siswi. Laki-laki itu gencar digodain oleh siswi disini.
"Aduh! Dek! Bentar ya! Saya makan dulu!" Kata laki-laki itu tersenyum.
"Gila cakep banget tuh cowok!" Pekik Azizi terpana dengannya, aletta yang sejak tadi ada dikerumanan menoleh.
"Kak arhan!" Gumam Liana, segera mendekati arhan menabrak bahu siapapun. Tak peduli dengan mereka yang marah-marah padanya.
"Kak kamu ngapain disini?" Tanya Liana tiba-tiba berkacak pinggang, menatap tak suka dengannya. Ia cemburu dan kesal sama arhan yang tebar pesona disini.
"Eh, Liana! Ada kamu disini?" Tanya arhan balik sambil tersenyum, bergeser.
Liana duduk disampingnya. "Kakak ngapain disini? Mau tebar pesona gitu? Hah?" Tanya Liana menyongoh dagunya diatas meja.
"Astaga! Gak usah ditebar juga udah mempesona!" Sahut arhan mengunyah bakso sambil tersenyum.
Liana mengepalkan kedua tangannya, kemudian menoleh kearah kerumunan dan mengusir mereka untuk pergi. Pak Hamdan yang datang mengusir mereka lalu pergi dari kantin.
Setelah mereka pergi, sandi, Ardi, Azizi, aletta, Adel dan yang lain duduk, dimasing-masing kursi besi panjang, satu meja dengan arhan yang tampak canggung ditatap mereka semua.
"Kalian kenapa natap saya sampai segitunya? Kayak orang nagih hutang!" Ucap arhan tersenyum kikuk.
"Kamu tampan banget!" Balas Azizi blak-blakan.
"Makasih!" Arhan tersenyum.
"Plislah gak usah senyum-senyum, bikin hati aku meleleh tau!" Gemas azizi mesem-mesem sendiri.
"Lebay banget dah! Kayak gak pernah liat cowok cakep aja!" Gerutu Adel pelan dalam hati.
"Kamu anak murid baru ya?" Tanya Adel memberanikan diri.
Arhan menggeleng cepat, "saya udah tua!" Kata arhan tersenyum ramah.
"Hah? Tua? Tua apaan! Kamu kayak masih anak sekolah gini!" Protes Azizi tak terima.
"Kamu anak murid baru kan?" Tanya aletta mendesaknya.
"Dia udah lulus sekolah keles!" Celetuk Liana membuat mereka menoleh.
"Masa sih? Emangnya umur kamu berapa?" Tanya Jessica menatapnya lembut. Liana hampir menyiramkan kuah bakso ke muka Jessica.
"Umur gak ada yang tahu!" Balas arhan nyengir.
"Lawak Lo!" Ketus Ardi sewot.
"Lah kok ngamuk!" Canda arhan tersenyum.
"Udahlah gak usah stres disini di!" Sandi menegur sahabatnya itu.
"Btw umur dia 27 tahun! Weh!" Kata Liana melirik arhan yang sedang menyeruput kuah bakso.
"What? 27?" Pekik para wanita disini, menatap tak percaya kearah arhan yang mengedikkan bahunya acuh tak acuh.
"Eh, sumpah kamu cakep banget sih! Kek gak pantes umurnya 27! Harusnya umur kamu tuh 17 tahun tau!" Kata Azizi tak berkedip sedikitpun.
"Iya tau! Kamu masih pantes loh pake seragam sekolah!" Kata Sinta menimpali.
Arhan tersenyum tanpa membalasnya.
Mereka memesan makanan, tak lama makanan dihidangkan dimeja mereka.
"Jadi ini li Cowok yang Lo demenin?" Tanya aletta padanya.
"Yes! Gimana? Cakep kan?" Tanya Liana yang diangguki para perempuan.
"Kalo modelan gini mah, gue juga bakalan demen sih li!" Celetuk angel nyengir.
"Enak aja Lo!" Sungut Liana posesif. "Cuman gue doang yang boleh suka sama dia! Gak boleh ada yang lain!" Tegasnya yang tidak ingin dibantah.
"Iya kah?" Suara seseorang wanita membuat mereka yang sedang mengunyah berhenti dan menoleh. Wajah mereka seketika terkejut dan mengganga.
"Kak Sabrina!" Gumam mereka semua, kecuali arhan yang tersenyum.
"Tadi kamu bilang apa? Gak boleh ada yang suka sama dia kecuali kamu? Iya gitu?" Tanya Sabrina duduk disebelah arhan, nempel seperti ulat bulu. Namun tatapannya dingin pada Liana.
"Iya dong! Kak!" Balas Liana bodoamatan tak peduli dengan wajah Sabrina yang kini merah.
"Anjir! Ada model cantik Cui! Jadi bingung milih yang mana! Cantik-cantik banget disini!" Kata Ardi yang diangguki ketiga temannya.
"Gak usah milih! Gak ada yang demen sama Lo!" Kata Adel sewot, harapan Ardi lenyap bak ditelan bumi.
"Kamu habis dari mana Sabrina? Lama banget?" Tanya arhan tersenyum.
"Habis ngurus Sesuatu." Kata Sabrina lembut.
"Oh!" Arhan beroh ria saja.
"Kamu disini sendiri terus? Seneng banget ya diliatin dan digodain sama cewek-cewek?" Tanya Sabrina menyindir.
"Seneng dong! Apalagi cewek sini cakep-cakep!" Kata arhan tersenyum.
"Cowok genit!" Sabrina mencubit lengannya pelan.
Arhan terkekeh, mereka semua menatap heran keduanya dengan beribu-ribu pertanyaan.
"Sejak kapan kak Sabrina dan kakak kenal? Kok keliatannya akrab banget ya?" Tanya Adel kepo.
"Udah lama! Dek!" Balas arhan tersenyum.
"Oh gitu ya kak? Pantesan aja akrab banget!" Adel mengganguk paham.
"Sabrina sekolah ini kayak gak asing ya?" Ucap arhan tiba-tiba sembari mengedarkan pandangannya.
Sabrina ikut mengedarkan pandangannya. "Iya ya! Kok aku kek pernah kesini ya sebelumnya, tapi kapan ya?" Tanya Sabrina.
"Ini sek-"
"Bang! Gue minta tutorial cara deketin cewek dong!" Potong sandi cepat meminta tutorial kepada arhan.
"Ganteng!" Jawab Arhan cepat.
"Gue udah ganteng, tapi kok gak berhasil ngebuat cewek yang gue incer suka ya?" Tanya sandi, melirik Adel yang menengak minuman.
"Berarti bukan kamu yang dia mau! Sesimple itu buat paham!" Kata arhan tersenyum.
"Ye bang! Gak gitu juga kali! Masa sih gitu? Ada cara lain gak? Gue pengen banget nih ngedapetin dia! Cuman dianya cuek banget. Ditambah gak pekaan!" Tanya sandi berharap jawaban yang diberikan arhan sesuai dengan ekspektasinya.
"Saran dari saya sih mending mundur, inget kata mamang parkir? Mundur bos! Mundur!" Jawab Arhan memperagakan mamang parkir.
"Ye! Lu mah gitu bang! Itu mah bukan saran. Lu mah mupusin harapan gue doang. Nyesel gue nanya sama Lo bang!" Sandi mengusap wajahnya kasar.
"Mana ceweknya gak peka-peka lagi! Paleng pala aing!" Lanjut sandi menggerutu.
"Sama kayak kakak!" Celetuk Sabrina tiba-tiba.
"Kenapa tuh kak?" Tanya mereka semua yang satu meja.
"Ya gitu! Suka sama seseorang tapi dianya gak peka-peka sampe sekarang! Pengen beralih ke yang lain, tapi gak bisa. Mana sukanya udah dari lama lagi!" Curhat Sabrina menyindir arhan.
"Siapa tuh?" Tanya arhan menggulum bibirnya, menahan senyum, sementara Sabrina memutar bola matanya.
"Siapa orangnya kak?" Tanya mereka semua kini penasaran termasuk Liana.
"Ada deh! Rahasia!" Jawab Sabrina.
"Yahhhh!" Mereka kecewa berat.
"Yah! Penonton kecewa!" Sandi memukul meja pelan.
"Ganteng gak kak orangnya? Kalo gak ganteng jangan deh! Sayang loh spek kayak kakak dapetnya modelan ikan pari! Kek gak terima aja!" Azizi menyarankan.
"Oh gak dek! Dia tentunya ganteng banget! Gak ada yang bisa ngalahin lah! Kalo misal disandingin sama cowok disekolah ini, pengusaha terkenal, dia bakal menang telak dari segi tampan!" Kata Sabrina memujinya. Arhan nampak biasa saja.
"Serius kak? Jadi pengen tau siapa cowoknya!" Azizi antusias.
"Kalo sama kakak ini gantengan mana kak?" Tanya Adel melirik arhan.
"Sebelas dua belas lah! Tapi tetap gantengan cowok yang kakak maksud!" Kata Sabrina sedikit mengalihkan agar tidak ada yang tahu bahwa cowok itu arhan. selain dirinya, beberapa orang tertentu dan arhan.
"Boleh spill fotonya gak sih kak? Jadi penasaran nih!" Kata Adel membuang jauh jiwa introvertnya.
"Iya kak boleh gak?" Tanya Jessica.
"No! Gak boleh! Ini rahasia!" Sabrina mengangkat telunjuknya dengan gestur no no.
"Yah! Penonton tambah kecewa!" Sandi nampak kecewa.
"Li! Lo seriusan demen sama cowok modelan gini?" Tanya Ardi menatap sinis arhan.
"Lah emangnya ngape?" Tanya Liana balik, sewot.
"Maap! Maap nih! Tampang dia aja kayak ya..... Ngerti sendiri lah...... Dia juga malah asik-asikan disini, kayak orang gak punya kerjaan! Madesu! Tampang-tampang pengganguran kelas atas!" Sindir Ardi menohok.
Sabrina dan Liana tak terima dengan perkataan Ardi. Sandi memukul pelan kepala temannya itu yang merusak suasana.
"Jangan ngehina orang!" Tegur Adel tak suka.
"Lah emang kenyataan, lihat aja dia gak kerja! Terus apalagi kalo bukan pengganguran?" Kesal Ardi mengusap kepalanya.
"Kamu Tau darimana kalo saya pengganguran? HM?" Tanya arhan mengangkat sebelah alisnya.
"Taulah! Gue bisa ngebedain mana yang kerja dan pengganguran!" Ucap Ardi ngegas.
Arhan tersenyum, bangkit dari duduknya, menopang kedua tangannya diatas meja. "Pengganguran ya? Lucu sekali kamu ini. Saya ini bukan pengganguran," jawabnya masih tersenyum.
"Yang bener?" Ejek Ardi.
Arhan mengganguk. "Jangan pernah meremehkan saya. Kalo kamu tau. harta yang kamu punya, gak ada apa-apanya jika dibandingkan sama saya!" Tegas arhan serius.
"Ngimpi Lo! Bangun-bangun bro! Udah siang! Harta orang tua bisa ngebeli orang-orang modelan kek Lo! Emangnya Lo gak tau kalo gue ini anak pengusaha nomor 8 dinegara ini? Apa perlu gue kasih buktiin?" Tantang Ardi berdiri.
"Nomor 8 doang? Bangga sekali kamu! Saya lebih kaya dari kamu, kalo kamu tahu." Arhan menyeringai.
"Kak!" Sabrina menegurnya, arhan tak menggubris.
"Alah! Pengganguran banyak gaya Lo!" Kata Ardi mengejek.
"Udah bego! Udah!" Tegur sandi pelan, tak enakan.
"Gue telpon bokap gue juga Lo! Biar disingkirin orang-orang songong modelan Lo!" Ucapan Ardi membuat suasana kian tegang dan panas.
"Singkirin aja kalo berani! Kamu kira saya takut?" Tantang arhan.
"Oke, gue telpon bokap gue! Jangan kabur Lo!" Tegas Ardi menelpon orang tuanya. Arhan mengetikkan sesuatu diponselnya disela menunggu Ardi.
"Ada apa di?" Tanya bapaknya dari seberang sana.
"Bangke beneran ditelpon!" Gerutu sandi pelan menepuk jidatnya.
"Yah! Ada orang songong nih! Dia nantangin ayah katanya! Dia bilang gini......" Ardi menjelaskan sambil melirik benci kearah arhan yang tampak tenang.
"Mana orangnya? Kurang ajar banget! Sini ayah mau ngomong!" Teriak ayahnya Ardi diseberang sana, nafasnya memburu dari loud speaker.
"Bentar yah! Ini orangnya!" Kata Ardi.
"Alihin ke video call!" Pinta ayahnya, Ardi langsung beralih kevideo call, mengarahkan kameranya pada arhan.
"Heh! Kamu! Berani banget ngomong gitu sama saya! Sini bicara sama saya! Saya lenyapin juga kamu dari bumi ini" Bentak ayahnya Ardi pada arhan.
Arhan tersenyum tipis sambil mengarahkan layar ponselnya ke depan. Pantulan cahaya dari layar menampilkan wajah seseorang yang tak asing baginya.
"Kenapa kamu menunjukkan wajah tuan Leon!" Kaget ayahnya Ardi. Mereka yang penasaran pun seketika melihat layar ponsel milik arhan.
"Kakak!" Gumam Liana membekap mulutnya.
"Saya sempat mendengar perkataan anda tadi pak!" Leon tersenyum tipis. Namun senyumannya seolah menunjukkan ketegasan.
"Tuan Leon! Selamat siang!" Ayahnya Ardi menyapa sambil tersenyum kikuk.
"Tidak usah basa-basi!" Tegas Leon dingin.
Ayahnya Ardi menelan ludahnya susah payah. Suasana semakin tegang menyusup kedalam kantin.
"Anda sekarang berhadapan dengan saya. Apa perlu saya bangkrutin perusahaan anda beserta anak anda yang sombong itu?" Tanya Leon mengancamnya membuat Ardi dan ayahnya menggeleng cepat.
"Jangan tuan! Saya...."
"Sombong sekali nada bicara anda tadi. Seolah-olah andalah yang paling berkuasa disini." Leon membentaknya.
Mereka terdiam membisu, tampak membeku, sementara arhan tersenyum tipis, dengan Alis terangkat.
"Maaf tuan!"
"Saya bangkrutin saja perusahaan anda ya!" Ujar Leon, lembut, namun kelembutannya menyiratkan ancaman yang nyata.
"Jangan tuan! Jangan! Kasihani saya!" Mohon bapaknya Ardi mengatupkan tangan.
"Oke! Minta maaf lah pada dia! Hargai dia! Seperti anda menghargai saya!" Suruh Leon.
Dengan ketidak ikhlasan ayahnya Ardi serta Ardi meminta maaf pada arhan. Kemudian hubungan terputus sepihak.
Ardi menggaruk kepalanya bingung. "Kok Lo bisa kenal sama tuan Leon? Siapa sebenarnya Lo?"
Arhan mengedikkan bahunya lalu duduk.
"Mampus! Makanye jangan sombong! Untung aja kagak dibangkrutin perusahaan Lo bengkak sama dia!" Kesal sandi menginjak kakinya.
"Harusnya dibangkrutin aja biar tahu rasa!" Timpal Liana bersedekap dada.
"Orang sombong kek Lo! Baru diginiin Udeh ketar-ketir!" Sahut Adel geleng-geleng kepala.
"Kenapa kamu bisa punya nomor telpon tuan Leon, kak?" Tanya Sabrina mengalihkan pembicaraan, menatapnya penuh tuntutan. Meminta penjelasan.
Arhan tak menjawab, peduli setan dengan orang-orang yang bertanya siapa dirinya.
"Jawab kak!" Rengek Sabrina penasaran.
"Cuman temen doang, bener gak Li?" Arhan meminta persetujuan dari Liana.
"Bener kak! Dia temannya kak Leon!" Jawab Liana mengganguk, barulah mereka mengerti dan tak bertanya lagi. Walaupun dalam hati terus bertanya-tanya dan tidak yakin dengan jawaban Liana.
"Del!" Panggil seseorang dari belakang, suaranya tak asing. Sontak mereka menoleh, disana ada bima dan Bastian yang entah kapan sudah ada disini.
Kedua orang itu menghampiri Adel dan kawan-kawan. Para ciwi-ciwi pun, menata-nata rambutnya dan berkaca lewat kamera. Memastikan penampilannya oke. Kecuali Azizi, aletta, Liana dan Sabrina yang tampak biasa saja.
"Sabrina!" Bastian tersenyum sumringah. Mimpi apa dia semalam sampai bisa bertemu Sabrina disini.
"Arhan! Bro Lo disini juga?" Tanya bima setelah menyapa mereka.
Arhan bangkit dari duduknya. "Iya Bim! Pa kabar?" Tanyanya basa-basi sambil tersenyum.
"Baik-baik! Lu gimana?"
Arhan tersenyum dan menjawabnya, "sini duduk dulu Bim!"
"Iya, iya gampang! Santai aja bro!" Kata bima ramah.
"Ayah sama om Bastian sejak kapan Dateng kesini?" Tanya Adel heran.
"Sejak tadi del!" Kata bima ramah dan duduk disebelah Adel diikuti Bastian yang sebelahan, tatapanya terus mencuri-curi pandang kearah Sabrina yang sedang menatap arhan. Sedang, arhan menatap kearah lain. Kesesuatu......
"Ngapain ayah kesini? Mau nyari ibu sambung gitu? Gak ada yah Disini sekolah! Bukan ajang pencarian jodoh!" Ucap Adel.
"Siapa juga yang mau nyari ibu sambung! Aneh-aneh aja kamu ini!" Bima geleng-geleng kepala.
"Eh liotion kalian berdua kok sama ya?" Celetuk arhan tiba-tiba menatap liontin Adel dan aletta bergantian.
Sontak semua mata tertuju pada kedua liontin tersebut.
"Lah! Kok mirip?" Tanya Bastian melongo dengan perasaan berkecamuk.
"Kok sama ya?" Gumam bima, perasaan aneh menyusup kedalam dirinya.
"Del! Liontin kamu kenapa bisa sama kayak aku? Kamu dapet darimana liontin itu?" Tanya aletta padanya serius.
Adel mengedikkan bahunya, "gak tau!"
Aletta mengerutkan keningnya, "liontin ini cuman keluarga aku doang yang punya. Lantas....... Kenapa liontin itu ada dikamu? Hah? Kok bisa sih?"
"Oh liontin ini ya?" Bima memegang liontin itu dengan wajah tetap tenang. "Saya beli! Ini barang kw yang kebetulan mirip sama punya kamu, dek!" Katanya, namun hatinya mendadak gelisah dan takut, entah apa yang ditakutkan..
"Iya ini ayah aku yang beli! Kebetulan aku suka dan gak tau aja kalo ini mirip sama punya kamu, let!" Adel mengarang bebas. Liontin itu membuat hatinya bergetar, ada desiran aneh yang menyelimuti dirinya, seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan......
"Masa sih? Kok aku gak yakin ya kalo barang itu kw, modelannya aja asli gitu!" Aletta tak yakin.
"Banyak kali let! Barang kw tampilan asli! Udahlah! Ngapa bahas liontin segala! Random amat!" Sandi menengahi.
Mereka terdiam membisu tampak merasa janggal dengan liontin yang dikenakan Adel dan aletta. Seperti ada sesuatu yang ditutup-tutupi dalam hal ini.
"Bim! Lu lagi istirahat?" Tanya arhan memecahkan keheningan yang sempat singgah diantara mereka.
"Iya Han!" Bima mengganguk, tersenyum ramah, "lu ngapain disini? Gak kerja?" Tanyanya hati-hati.
"Orang kek dia mah mana kerja!" Cetus Ardi.
"Lo bisa diem gak sih!" Sandi merangkul leher Ardi, menjitaknya kencang sangking jengkelnya.
"Lo salah nanya Bim! Ngapain nanya pekerjaan sama pengganguran kocak!" Kata Bastian sinis.
"Hadeh! Hadeh!" Arhan menepuk-nepuk jidatnya. "Iya gue pengganguran! Puas Lo!" Katanya kesal, tak tersenyum lagi.
Suasana kantin yang tadinya hangat mendadak hening, tersapu ketegangan saat Arhan menunjukkan wajah kesalnya.
"Han! Maafin temen gue!" Lirih Bima, tak enakan.
Arhan tak menggubrisnya, sorot matanya dingin. "Jaga ucapan Lo! Gue gak suka sama sikap Lo tadi." Tegasnya.
"Ye! Santai aja kali! Pengganguran gak usah marah-marah!" Ejek Bastian. Bima menggeplak kepalanya, geram dengan Bastian.
"CK, jadi ini asisten Lo Bim?" Tanya arhan serius.
Bima mengganguk pelan.
"Baru asisten doang gayanya kek orang Hedon Lo!" Kesalnya mengepalkan satu tangannya diatas meja.
"Masih mending asisten! Dari pada Lo! Pengganguran!" Bastian ngegas dan berdiri.
Mereka hanya bisa geleng-geleng kepala, kemudian menengahi dua orang ini yang sedang emosi.
"Kalo gue pengganguran, terus hubungannya sama Lo apa? Ngusik hidup Lo aja kagak! Sewot banget jadi orang!" Ucap arhan terpancing emosi dicap pengganguran.
"Keusik lah! Penggaruan kayak Lo hama tau gak! Ngeganggu aja! Dasar Sampah masyarakat!" Umpat bastian.
Arhan mendekatinya, tatapanya tajam beradu dengan Bastian.
"Sampah masyarakat! Menjijikan!" Hardik Bastian mengejeknya, menatap remeh.
Bugh!
Arhan melayangkan tinjunya tepat ke rahang Bastian. Pukulan keras itu membuat pria itu tersungkur, mengerang kesakitan sementara seisi ruangan terdiam, terkejut oleh aksi mendadak itu.
"Gue bisa ngehancurin orang kayak Lo, kalo gue mau!" Tegas arhan mengacungkan telunjuknya.
Bastian mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan d4rah, menatap tajam arhan. "Hancurin? Pengganguran kek Lo mau ngancurin? Ngimpi! Nyet!" Umpat bastian.
Buk!
Arhan menendang kepalanya tepat mengenai pipinya, hingga kepalanya terpental kesamping. Bastian meringis kesakitan, mengusap pipinya. "Gue tuntut Lo kepolisi! Atas tindakan kekerasan! Kena pisum Lo! Oh lupa pengganguran kayak Lo, gak sanggup pisum ya!" Bastian menjadi-jadi.
Arhan merogoh dompetnya dari saku celana, mengambil beberapa 50 lembar berwarna merah. "Nih!" Arhan melemparnya, uang itu berhamburan jatuh kewajah Bastian. Mereka melongo memandang uang tersebut. Ingin memungutnya.
"Telen kalo perlu tuh!" Ucapnya dengan dada bergemuruh.
Bastian menggeram kesal dan bangkit, ia tidak terima diperlakukan secara hina didepan semua orang disini. Malu? Tentu! Harga diri hancur? Sangat!
"Apa maksud Lo ngerendahin gue?" Bastian mencengkram kerah bajunya kuat-kuat.
Arhan membenturkan kepalanya ke dahi Bastian dengan keras, membuat pria itu terhuyung sambil meringis kesakitan.
"Lemah Lo!" Arhan yang sudah tidak mood lagi, melenggang pergi meninggalkan kantin. Sabrina mengejarnya, menyusul.
"Gue laporin Lo kepolisi!!" Teriak Bastian ngamuk-ngamuk.
"Laporin aja! Gue gak takut!!" Teriak arhan terus berjalan.
Hati Bastian panas, dengan cepat ia bangkit. Ingin mengejar arhan, namun bima menahannya. "Ini salah Lo bas! Coba aja Lo gak mancing-mancing emosi! Pasti dia gak akan kek gini! Lagian Lo ngapain sih ngerendahin dia. Orang dia itu gak ngusik hidup Lo juga. Tadi tenang-tenang aja si arhan! Semenjak Lo ngomong gitu, bikin suasana yang tadinya adem ayem jadi rusak!" Kesal bima mengomeli sahabatnya itu.
Bastian berdecak pelan, bingung mau menjawab apa, dia memang salah namun entah kenapa kesal dengan arhan. Mungkin menurutnya arhan itu saingannya untuk mendapatkan hati Sabrina.
"Lo jadi orang jangan freak Napa! Justru dengan kek gini, bikin Sabrina nyangkin ilfeel! Oke bersaing lah, tapi gak gini juga cara Lo buat bersaing. Bersaing itu boleh. Tapi harus sehat!" Omel bima berbisik ditelinganya.
"Lo kira gue sakit, apa?" Sungut Bastian mengusap rahangnya yang berdenyut-denyut.
"Tuh! Liat! Wajah lo memar gini! Kek orang digebukin warga!" Tunjuk bima.
"Pukulan dia sakit banget Bim, sumpah! Awas aja, abis ini bakalan gue tuntut tuh orang!" Kecam Bastian.
"Udahlah, om yang salah disini! Makanye jangan nyari-nyari masalah om! Tadi aja temen aku yang sombong nih!" Adel menunjuk Ardi, Bastian dan bima mengikuti arah tunjuknya. "Perusahaan keluarga dia, hampir dibangkrutin tuan Leon! Gara-gara ngerendahin dia!" Lanjut Adel membuat bima dan Bastian saling berpandangan.
*
*
"Bim! Kok bisa ya?" Tanya Bastian didalam mobil.
"Apanya yang bisa?" Sahut bima.
"Itu tuan Leon hampir ngebangkrutin perusahaan orang lain, perkara arhan doang!"
"Ye mana gue tahu! Mungkin sahabatnya kali!"
"Gak mungkin gak sih!"
"Gak tau nyet! Lo kira gue ini dukun!" Gerutu bima.
Bastian menelan ludahnya susah payah, "gak jadi gue tuntut lah! Ngeri juga kalo tiba-tiba tuan Leon ngehancurin gue! Mau makan apa gue?" Tanya Bastian berpikir jauh-jauh.
"Uang yang dikasih arhan emang gak cukup?" Tanya bima.
"Cukup! Mayanlah 5 juta!" Bastian tersenyum, uang yang dilempar arhan, tentu saja ia pungut.
"Bas! Bas! Lo jadi orang idiot amat dah! Jadi pengen nonjok juga gue! Harusnya dibonyokin aja sama si arhan! Lo tuh definisi penj1lat, nying! Sadar gak sih!" Bima menekankan.
Bastian peduli? Tentu tidak, ia sibuk bersiul, senang mendapatkan uang, walaupun mukanya bonyok. Ternyata mencari uang tak harus bekerja keras, cukup dibonyokin dan dengan mudahnya ia dapat uang. Ia jadi kepengen ditonjok arhan lagi, asal dapat uang. Pikirnya.
"Lo denger gak sih bego!" Bima menimpuk tisu kewajahnya.
"Apa sih Lo? Ganggu orang lagi enak aja!"
"Lagian Lo budek apa dipanggilin! Mau jadi orang tuli? Hah?"
"Kagak usah nyumpahin Napa!" Ketus Bastian sewot. Setiap ia sedang berhalu, selalu aja ada yang menggangunya, terutama bima. Sahabatnya itu dari dulu selalu menyusahkannnya kapan saja, seolah tidak ingin membiarkan dirinya hidup tenang dan menikmati indahnya bersantai.
"Btw Lo seriusan suka sama Sabrina nih?"
"Eh, Lo ngomong apaan, sorry kagak fokus!" Bastian berdehem pelan.
"Ngelamun jorok Mulu! Ngelamunin apa sih? Jangan bilang lagi ngelamunin b0k3p?" Tuduh bima, Bastian menyentilnya pelan.
"Nuduh Mulu Lo! Buruan mau nanya apa? Gue kagak fokus tadi!" Bastian melonggarkan dasinya.
"Gak jadi lah! Gue gak mood nanya-nanya sama orang budek. Takut ketular budek juga!" Bima menghela nafas, mengacak-acak rambutnya, berbicara dengan bastian hanya menguras emosinya saja, tetapi itulah yang membuat hubungan persahabatannya erat.