Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20: Sebuah Pengakuan di Tengah Malam
Kunjungan ke rumah sakit untuk menemui Gilang meninggalkan jejak yang dalam di hati Rangga. Pertemuan itu, jauh dari sorotan kamera dan ekspektasi publik, telah menggeser perspektifnya. Di hadapan seorang anak yang polos, ia bisa menjadi Ren tanpa perlu berpura-pura, dan menjadi Rangga tanpa rasa malu. Pengalaman itu memberinya keberanian baru, sebuah bisikan bahwa mungkin, mungkin saja, ia bisa menyatukan kedua identitasnya.
Malam itu, setelah kembali ke kosan, Rangga tidak langsung menyalakan PC untuk streaming. Ia duduk di kursi gaming-nya, memandang ke luar jendela, ke arah lampu-lampu kota Bandung yang berkedip. Pikiran tentang Gilang, tentang Aisha, dan tentang dirinya sendiri terus berputar di benaknya. Ia tidak bisa lagi lari. Rasa muak pada kebohongannya sendiri, pada kecanggungan yang terus-menerus ia rasakan di dunia nyata, akhirnya mencapai puncaknya.
Ia meraih ponselnya, tangannya sedikit gemetar. Ia membuka aplikasi pesan dan mencari nama Aisha. Jantungnya berdebar kencang, lebih kencang dari saat ia melakukan quadra kill di turnamen. Ia mengetik, menghapus, mengetik lagi.
Teteh Aisha, apa Teteh sibuk sekarang?
Pesan itu terkirim. Beberapa detik terasa seperti keabadian. Lalu, balasan datang.
Nggak kok, Ren. Kenapa? Ada apa? Tumben belum nyiapin stream?
Rangga menarik napas dalam-dalam. Ini saatnya.
Aku... aku ingin bicara penting sama Teteh. Bisa telepon sekarang?
Ada jeda lagi. Lalu, Aisha membalas.
Bisa. Aku telepon ya.
Ponsel Rangga langsung berdering. Ia mengangkatnya, telapak tangannya berkeringat dingin.
"Halo, Ren? Ada apa? Kamu baik-baik saja?" Suara Aisha di ujung telepon terdengar sedikit khawatir, namun juga lembut.
"Halo, Teteh Aisha," Rangga memulai, suaranya sedikit bergetar. "Aku... aku mau jujur sama Teteh."
Aisha terdiam. "Jujur tentang apa, Ren?"
Rangga menelan ludah. "Tentang kenapa aku selalu menghindar kalau Teteh ajak ketemu. Tentang kenapa aku selalu canggung kalau bicara di dunia nyata. Tentang... tentang diriku yang sebenarnya."
Ia bisa mendengar Aisha menghela napas panjang di ujung telepon. "Aku sudah menduga, Ren. Memangnya kenapa? Ada apa?"
Rangga memejamkan mata. Semua rasa malu, semua ketakutan, semua latar belakangnya yang ingin ia sembunyikan, kini harus ia keluarkan.
"Aku... aku minta maaf kalau selama ini aku bohong, Teteh Aisha," katanya, suaranya lebih mantap. "Aku... aku bukan seperti yang Teteh kira. Aku bukan pro player yang dari keluarga kaya atau punya latar belakang keren. Aku cuma Rangga, Teteh Aisha. Rangga yang dulu cuma pelayan kafe. Rangga yang kosannya sempit dan butut. Yang motornya cuma Supra tahun 2000." Ia berhenti sejenak, mengambil napas. "Aku malu, Teteh. Aku malu kalau Teteh tahu aku yang asli itu jauh berbeda dari Ren yang Teteh kenal di game. Aku takut Teteh kecewa. Aku takut Teteh jijik..."
Rangga menunggu respons dengan jantung berdebar kencang. Ia membayangkan Aisha akan marah, atau tertawa, atau bahkan memutuskan kontak. Namun, yang ia dengar hanyalah keheningan sejenak, lalu...
"Ren," suara Aisha terdengar, lembut namun tegas. "Dengar aku baik-baik. Aku sudah tahu."
Mata Rangga melebar. "Tahu apa, Teteh Aisha?"
"Aku tahu kamu punya dua dunia, Ren. Aku tahu kamu berbeda di dunia nyata. Aku bisa merasakannya. Aku melihat caramu menghindar, caramu bicara yang canggung. Aku tidak bodoh, Ren. Aku ini streamer juga. Aku kenal banyak orang. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan." Aisha berhenti sejenak. "Tapi, itu tidak pernah membuatku berpikir negatif tentangmu."
Rangga terhenyak. Ia tidak menyangka reaksi ini.
"Justru itu yang membuatku penasaran padamu, Ren," lanjut Aisha, suaranya kini terdengar tulus. "Seorang sniper sehebat kamu, yang bisa quadra kill satu peluru, yang bisa bikin pro player lain kewalahan, tapi di dunia nyata begitu humble, bahkan cenderung pemalu. Itu menarik bagiku, Ren. Itu manusiawi."
"Tapi... aku malu, Teteh Aisha. Aku merasa tidak pantas kalau di dekat Teteh. Teteh ini selebgram, cantik, sukses. Aku... aku hanya pria miskin..." Rangga mengungkapkan semua ketakutan terdalamnya.
Aisha tertawa kecil. "Dengar, Ren. Aku tidak peduli kamu dulu pelayan kafe, atau kosanmu sempit, atau motornya Supra tahun 2000. Itu semua bukan ukuran. Yang aku lihat adalah Ren yang hebat, yang jujur, yang berjuang dari nol dan berhasil. Aku lihat Rangga yang punya bakat luar biasa, yang punya hati. Aku tidak pernah menilai orang dari harta atau latar belakang mereka. Aku tertarik padamu karena siapa dirimu, Ren. Karena bakatmu, karena kegigihanmu, dan ya, karena kepribadianmu yang unik itu."
Kata-kata Aisha mengalir seperti air dingin yang membasuh luka lama di hati Rangga. Sebuah beban berat yang selama ini ia pikul, perlahan terangkat. Ia tidak pernah menyangka akan ada penerimaan seperti ini. Ia tidak pernah menyangka Aisha akan melihatnya seperti itu.
"Jadi... Teteh tidak kecewa?" tanya Rangga, suaranya hampir tidak terdengar.
"Kecewa kenapa? Aku justru bangga sama kamu, Ren. Bangga dengan perjalananmu. Justru aku yang harusnya kecewa karena kamu tidak percaya padaku untuk terbuka," kata Aisha, nada suaranya sedikit berubah menjadi serius. "Tapi tidak apa-apa. Sekarang kamu sudah jujur. Dan itu langkah yang sangat bagus."
Rangga terdiam, memproses semua yang ia dengar. Matanya mulai berkaca-kaca. Perasaan lega yang luar biasa membanjiri dirinya. Ia telah mengungkapkan kebenaran, dan dunia tidak runtuh. Bahkan, justru terasa lebih baik.
"Terima kasih, Teteh Aisha," Rangga berbisik, suaranya pecah. "Terima kasih sudah percaya padaku."
"Sama-sama, Ren," jawab Aisha lembut. "Nah, sekarang kita sudah tidak ada rahasia lagi kan? Jadi, bagaimana dengan event di Jakarta? Kamu akan datang, kan?"
Rangga tersenyum, senyum tulus yang sudah lama tidak ia rasakan. Senyum yang bukan lagi hanya untuk kamera stream. "Iya, Teteh Aisha. Aku akan datang. Aku siap."
"Bagus!" Aisha berseru dengan ceria. "Kali ini, kamu tidak perlu khawatir sendirian. Aku akan ada di sana. Kita akan hadapi ini bersama-sama."
Percakapan itu berlangsung hingga larut malam. Rangga bercerita lebih banyak tentang masa lalunya, tentang perjuangannya, dan tentang impian-impian kecilnya. Aisha mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali melontarkan komentar yang menunjukkan pemahaman mendalamnya. Malam itu, di tengah kegelapan, sebuah jembatan mulai terbangun antara dua dunia, antara Ren dan Rangga, di bawah bimbingan Aisha. Ini bukan hanya tentang karir, tapi tentang menemukan diri sendiri dan menemukan penerimaan.