SEASON 1!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading 🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIAMBANG CAHAYA
Gelap.
Sunyi.
Lalu... cahaya lembut, seperti kelopak bunga yang mekar di tengah malam.
Daren melangkah pelan. Hutan menghilang. Luka-luka menghilang. Yang tersisa hanyalah tanah putih yang luas, dilingkupi langit jingga seperti senja yang bernafas pelan. Udara di sekitarnya hangat… dan terasa familiar, entah kenapa.
“Di mana aku…?” gumamnya, suaranya menggema lembut.
Lalu ia melihat mereka.
Sepasang sosok. Seorang pria dan wanita.
Mereka berdiri di kejauhan, di balik kabut tipis. Rambut mereka... perak seperti miliknya sendiri, memantulkan cahaya lembut. Sang pria memiliki mata hijau tajam, bukan tajam yang menusuk, tapi tajam seperti daun pertama di musim semi.
“Daren,” panggil si pria. Suaranya dalam, namun penuh kelembutan yang belum pernah ia dengar.
Sang wanita tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Ia menatap Daren seperti seseorang yang sudah menunggu sangat lama. “Anakku…”
Daren terdiam. Napasnya tercekat.
“A-aku… mengenal kalian?”
Mereka tidak menjawab langsung. Si pria hanya melangkah pelan, lalu berlutut, menatap wajah Daren setinggi matanya.
Daren berdiri membeku. Tangannya gemetar, langkahnya berat.
“Siapa… kalian?” tanyanya, suaranya serak, nyaris tenggelam dalam kehampaan.
“Kami…” Pria itu menatapnya lembut. “ orang tuamu.”
Deg!
Jantung Daren seolah berhenti berdetak sesaat. Dunianya bergeser.
“Apa?” bisiknya, tak percaya.
Daren mundur setengah langkah. Tubuhnya bergetar.
“Tapi… tapi aku tak pernah... aku tak pernah tahu kalian…”
Wanita itu melangkah maju, menyentuh dadanya dengan tangan ringan seperti kabut pagi. “Karena kami disembunyikan. Diambil darimu oleh orang-orang yang tak adil.”
“Aku hidup dalam kebingungan,” bisik Daren. “Dalam kemarahan… dalam sunyi…”
Sang pria tersenyum kecil. “Dan kau tetap bertahan. Kau tetap baik. Itu cukup, Daren. Itu bukti bahwa darah kami… bukan warisan luka. Tapi warisan cahaya.”
Daren jatuh berlutut. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah.
“Aku lelah… Aku ingin tahu, kenapa aku harus sendirian selama ini…”
Sang wanita memeluknya, meski tubuh mereka samar. Hangatnya… nyata.
“Kau tidak sendirian, Daren. Tak pernah. Kami selalu bersamamu. Dalam langkah-langkahmu. Dalam keputusanmu. Dalam keberanianmu melindungi mereka.”
Tiba-tiba, di balik cahaya, muncul bayangan Gerald yang duduk lemas memegang tangannya. Fyona yang menangis sambil menggenggam pundaknya. Kanel yang menatapnya dengan mata yang berbeda dari biasanya, bukan sinis, tapi pedih. Penuh kehilangan.
Daren berdiri, mencoba meraih mereka... namun tangannya menembus. Ia tidak bisa menyentuh.
“Kenapa… aku tak bisa menyentuh mereka?” tanya Daren panik.
“Cukup sudah,” suara Xander dalam dan tenang, namun kini terdengar menyimpan luka lama yang tak sempat sembuh.
“Kau terlalu menderita untuk hidup, Daren,” lanjutnya. “Terlalu lama menahan, terlalu banyak kehilangan.”
Daren menggigit bibirnya. Dadanya sesak. Udara hangat tadi kini menjadi beban, seperti kabut tebal yang melingkupi paru-parunya. Ia berlutut kembali, namun Xander mengulurkan tangan. Tangan itu… tangan seorang ayah.
“Tak apa… ikutlah, anakku.”
Di sisi lain, sang wanita yang merupakan ibunya, yang dulu selalu di sebut Nyonya Estelle... berdiri menanti. Senyumnya menenangkan. Lengan terbuka, seperti ingin membungkus dunia dalam pelukannya.
Daren menatap tangan mereka. Ia ragu, tapi ia juga letih. Sangat letih.
Tangannya terangkat, dan untuk pertama kalinya… ia merasakan kehangatan yang tak menyakitkan. Tulus. Lembut. Ia memejamkan mata, menahan isak kecil di dadanya.
“Aku… hanya ingin damai…”
Langkahnya maju, satu tapak menuju cahaya putih yang menyilaukan. Satu langkah menuju akhir.
Namun...
Saat ujung kakinya menyentuh batas terang, suara itu datang.
Tangis.
Terisak.
Gerald.
“DARREN! AKU JANJI KAU TIDAK SENDIRIAN LAGI!” teriak Gerald dari kejauhan, suaranya... seperti merobek angin.
Isak Fyona menyusul, lirih dan patah, "Maafkan aku... maafkan aku...”
Lalu suara berat Kanel. “Bertahanlah, Daren… kau harus merasakan indahnya hidup,”
Daren membeku.
Tangannya masih digenggam ayahnya, namun jari-jarinya mulai gemetar.
“Suaranya…” bisiknya. “Mereka… memanggilku.”
Cahaya semakin kuat, mengaburkan suara dan bayangan.
Tapi di batas cahaya, ia melihat mereka. Gerald, bersujud dengan darah di tangan. Fyona, tubuhnya berguncang. Kanel… berdiri kaku, namun air matanya jatuh satu persatu.
“Mereka… menangis…”
Apa.... ini pilihan? pilihan... antara hidup dan mati?
Tangan Daren mulai melepas genggaman.
Daren melihat kedua orang tuannya, lalu melihat mereka yang terisak.
Mengapa saat melihat mereka , rasa lelah sangat terasa. Tangan mereka, suara mereka, sangat menenangkan. Tapi... mereka...
"Ada apa anakku?" ucap lembut Xander.
“Aku ingin bersama kalian....Tapi aku tak sanggup meninggalkan mereka.”
Ibunya memandang lembut. “Lalu… pilihlah. Dengan hatimu, bukan lukamu.”
Cahaya gemetar. Dunia bergetar.
Daren berdiri terpaku di tengah cahaya lembut itu. Hatinya masih bergemuruh, seolah waktu berhenti hanya untuk membiarkan dirinya mengumpulkan napas.
"Apa benar…" Suaranya nyaris tak terdengar, "k-kalian orang tuaku?"
Kedua sosok di hadapannya, pria dan wanita itu berlutut perlahan. Air mata mengalir di wajah mereka yang penuh penyesalan.
“Maafkan kami, Daren… Maafkan kami…” bisik ibunya dengan suara bergetar. Suaranya penuh rindu. Penuh luka.
Daren mendekat. Tangan kecilnya gemetar. Perlahan, ia mengusap air mata dari pipi mereka. Sentuhan itu… hangat, tulus.
"Apa kalian marah… jika aku ingin tetap bersama mereka?" tanyanya lirih.
Pria itu, yang kini Daren tahu bernama Xander, menggeleng. Wajahnya penuh duka dan bangga bersamaan.
“Tidak, anakku… tapi lihatlah dirimu. Kamu begitu lelah.”
Daren mengatup bibir, menunduk. Namun wajahnya kembali terangkat, menatap mereka dengan mata yang bersinar.
“Mereka adalah penyelamatku… Komandan, Fyona, dan Pangeran. Mereka memberiku arti di hidup yang sunyi. Mereka… hangat, meski dunia dingin. Aku ingin bersama mereka.”
Xander nyaris tak bisa menahan air matanya. Tapi Daren belum selesai.
“Kalau aku ikut kalian… bagaimana dengan Fyona? Dia tidak punya siapa-siapa. Kami berdua… seperti pecahan yang saling melengkapi.”
Tangisnya pecah. Ia tak berusaha menahannya. Ia mengakuinya sebagai bagian dari keberaniannya.
Sang ibu menarik napas gemetar. “Anakku… kau memang pahlawan. Hati dan tanganmu penuh kebaikan. Ibu yakin, suatu hari nanti kau akan mendapat hal yang benar-benar kau inginkan. Kami bangga padamu. Sangat.”
Daren tersenyum lirih, basah oleh tangisnya sendiri.
“Aku senang… bisa bertemu kalian. Itu adalah keinginanku sejak lama, sejak aku mengenal dunia ini…”
Ia memejamkan mata, menahan guncangan batin yang hampir memecahnya dari dalam.
“Sebelum aku pergi… bisakah kalian memelukku? Sekali saja. Peluk yang erat… dan lebih erat…”
Tanpa suara, mereka merengkuhnya. Pelukan itu tak kasat mata, namun terasa seolah seluruh semesta ikut memeluknya.
Daren tak ingin melepaskan pelukan itu. Ia menangis dalam dekapan yang telah ia impikan seumur hidup.
Dan sebelum cahaya menghilang… suara lembut sang ibu bergema:
"Kami akan selalu bersamamu. Bahkan dalam sunyi, bahkan dalam gelap. Selamanya…"
Dan mereka memeluknya dalam senyap, dalam haru yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Daren menutup mata dalam pelukan itu, membiarkan tubuhnya larut dalam kehangatan yang begitu lama ia rindukan.
Lalu…
Sinar itu mulai memudar.
Langkah Daren terhenti di ambang batas antara cahaya dan gelap.
Tiba-tiba, terdengar jeritan pilu. Suara tangis. Suara Gerald. Fyona. Kanel.
"Mereka pergi," gumamnya.
Ia merasa jantungnya berdetak lambat, namun mantap. Tidak menyakitkan, hanya berat. Sangat berat.
"Tapi tidak jauh…"
Tangan kecilnya yang penuh luka, menyentuh dadanya sendiri, lembut, seakan bisa merasakan pelukan itu masih menempel di kulitnya, di tulangnya, di jiwanya.
"Mereka ada… di sini."