Cinta yang di nanti selama delapan tahun ternyata berakhir begitu saja. Harsa percaya akan ucapan yang dijanjikan Gus abid kepadanya, namun tak kala gadis itu mendengar pernikahan pria yang dia cintai dengan putri pemilik pesantren besar.
Disitulah dia merasa hancur, kecewa, sekaligus tak berdaya.
Menyaksikan pernikahan yang diimpikan itu ternyata, mempelai wanitanya bukan dirinya.
menanggung rasa cemburu yang tak semestinya, membuat harsya ingin segera keluar dari pesantren.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nadhi-faa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkuur haalan."
Neng elsa meneteskan air mata. Senyumnya mengembang, penantian panjangnya kini telah berada diujung temu. Perasaan nya pada gus abid telah lama bersemi kini tinggal dipetik.
tanpa mereka sadari, diatas kebahagian mereka ada retakan hati seorang gadis yang ditinggal cinta pertamanya.
gus abid menghela nafas berat setelah menyelesaikan kalimat sakral itu. Entah itu nafas berat kelegaan, atau karena ada sesuatu yang hilang pada dirinya, tentu dia yang paling tahu.
Dari kejauhan, dia melihat harsa yang tengah duduk di kursi barisan kedua. Gadis itu tak memandang ke arah pelaminan, tatapannya dingin, namun memaksakan senyum sendu yang menyayat hati.
gus abid tertunduk, harsa adalah adik sekaligus cinta pertama, dan dia menyakiti gadis itu, mengingkari janji yang pernah dia ucapakan. Mungkin retakan kaca jendela pada hati gadis itu dapat dia rangkai kembali nantinya. gus abid, hatinya masih bertaut pada harsa, senyum dengan dua lesung pipit yang indah itu, apa mungkin bisa diraihnya.
"gus."
Panggil seseorang, menyadarkan lamunannya. dari kejauhan rombongan wanita yang mengiringi pengantin perempuannya tersenyum bahagia. wanita muda yang berada ditengah adalah istrinya, neng elsa memakai kebaya putih dengan hiasan mahkota singer sundanya digiring ke arahnya. Cantik dan anggun secara bersamaan, dia adalah jodohnya sesungguhnya, namun mengapa pandangan itu masih terasa hampa.
wanita muda yang akan memasuki hidupnya, wanita yang tidak pernah terlintas dalam doanya sama sekali.
Neng elsa tertunduk setelah sampai didekat gus abid. gadis itu tersenyum, namun tubuhnya terasa canggung. kyai bahar yang sangat bahagia setelah menikahkan putrinya itu menyentuh bahu putri dan menantunya.
"kalian sudah sah, semoga pernikahan ini diberkahi alloh subhanahu wa ta'ala. sakinah mawadah warahmah."
"aamiin."
Jawab mereka serempak.
"abi..."
umma halimah menyenggol lengan putranya yang diam saja.
Gus abid segera memberikan tangannya untuk dicium oleh neng elsa.
"ayo nak."
Entah mengapa, pemuda yang menyandang gelar doktor itu bagaikan orang bodoh seketika.
Kyai bahar menuntun tangan menantunya untuk menyentuh kepala putrinya.
"bacakan doa untuk istrimu."
Gus abid mengangguk. pandangannya tertuju pada neng elsa yang masih menunduk mencium punggung tangannya.
Sekilas bayangan neng elsa menjadi harsa.
"astaghfirullah..."
"ada apa?."
"enggak umma."
Umma halimah sedikit tidak nyaman akan sikap putranya.
Gus abid segera membacakan doa dan meniup ubun-ubun neng elsa.
Para santriwati yang menyaksikan pernikahan sempurna itu dibuat baper tanpa mengetahui perasaan pengantin pria sesungguhnya.
gus abid mencoba tersenyum pada istrinya, namun ujung matanya tidak bisa lepas dari satu titik, disana harsa sama sekali tidak menatap kearahnya.
***
hatinya hancur, fisiknya letih, sorot mata yang tidak ada gairah untuk melakukan apapun. moment indah bagi seseorang, tapi menyakitkan untuknya itu berputar dikepala harsa tanpa henti.
memejamkan mata seolah tak mampu untuk menghapus, yang ada malah semakin terlihat jelas. Ingin menjerit sekencangnya, namun saat ini dia berada dirumah allah. mengadu pun, sepertinya sudah tidak ada harapan. yang ada dia harus berusaha untuk menyembuhkan luka -nya seiring berjalannya waktu, tapi bagaiman luka itu cepat kering.
Harsa menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu masjid, setiap santriwati yang melewati tentu meliriknya.
malangnya, adik perempuan yang ditinggal kakak laki-laki nya menikah, sedang memendam perasaan cinta yang berubah menjadi belati yang menikam jantung-nya sendiri.
"sa, loe mau tidur di masjid?."
talita menepuk bahu sahabatnya yang sedang galau dan merana itu.
harsa membuka matanya, matanya menatap ke seluruh penjuru saf wanita. tinggal satu dua santri yang sedang itikaf.
"ayok.."
ajak talita.
harsa segera bangkit, tubuhnya sangat pegal.
Para santriwati yang sedang pulang ke asrama berhenti ditengah jalan.
"jam segini ndalem menerima tamu ya?"
Segerombol santriwati menatap sebuah mobil yang masuk ke gerbang pesantren.
"Mercedes cuy..."
salah satu dari mereka yang mengenal merek mobil yang masih jauh digerbang sana.
"orkay, tamu dalem kayaknya."
"emang harus orang kaya yang bisa naik Mercedes?."
"bisa aja kali, asal duitnya ada."
Bincang para santriwati yang memenuhi jalan.
"kalian kayak gak pernah lihat mobil mahal aja."
celetuk talita, dia sebal karena mereka memenuhi jalan dan menghambat perjalanan-nya.
para santriwati memberi jalan, meski sebagian mereka sebal atas ucapan talita.
Harsa tak tertarik dengan apa yang membuat para santriwati kepo didepan sana, dia memilih melanjutkan langkahnya.
"kamu yakin ma, harsa akan menerima lamaran ini?."
tanya kyai maulana pada istrinya.
"dia sudah dewasa, pasti akan berpikir apa yang terbaiknya untuk dirinya bah."
kyai maulana meletakkan kitabnya setelah mendengar sebuah salam. pintu mereka memang sejak tadi sudah di buka.
"om bas tenyata sudah datang."
umma halimah bergegas menyambut tamunya.
"assalamualaikum."
"waalaikumsalam."
"maaf, sedikit lama dan sekaligus mengganggu waktu istirahat kalian."
"tidak apa-apa. kami malah senang om bas mau berkunjung di gubuk kami."
kyai maulan langsung menyambut tamunya dengan salam dan mempersilahkan mereka duduk.
"anggota kami sedikit, jadi berdua saja..."
canda sebastian. kyai maulana mengangguk, dia begitu memahami kerabat istrinya itu.
"yah siapa tahu dengan menikahnya mas axel, dapat menambah personil-personil baru."
canda kyai maulana untuk mencairkan suasana canggung.
"harapannya begitu."
sahut sebastian. Axel, pria berwajah datar itu hanya diam dan duduk tenang, menyimak basa-basi para orang tua.
sebelum membahas inti dari kedatangan mereka berdua, tentu kyai maulana menyempatkan berbicara tentang hal yang berkaitan dengan bisnis. Sebastian adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki perusahaan, tentu sangat cocok sebagai teman sharing mengenai usaha bisnis kecil milik pesantren.
"neng harsa..."
"ada apa?."
kini yang menjawab adalah talita yang sedang konsentrasi mengerjakan tugas kuliahnya.
sedangkan harsa sendiri sedang memejamkan mata diatas ranjangnya. dia belum tertidur, tapi malas untuk menyahut panggilan ketua kamar.
"di minta ke ndalem..."
"apa lagi..."
gerutu talita.
"katanya penting mbak."
Harsa bangkit, dia sedikit mendengus sebal, namun kakinya tetap melangkah kearah gantungan baju dan jilbab-nya.
"kalau cepek gak usah aja sa."
harsa menoleh sedikit ke talita.
"panggilan tugas negara..."
"ah loe itu.."
Harsa mengabaikan talita, lalu bergegas keluar kamar.
Harsa sudah sampai di dapur ndalem. ada beberapa mbak-mbak ndalem yang sedang sibuk didapur.
"ada tamu ya mbak?."
"iya neng.."
harsa mengangguk-angguk. lalu dia melangkah keruang tamu.
dia berpapasan mbak ndalem didepan pintu, melihat nampan kayu ditangan mbak ndalem menandakan jika dia baru saja mengantar kopi dari ruang tamu.
"umma di mana mbak?."
"ruang tamu neng."
harsa sedikit menyingkir, memberikan jalan.
melihat ruang keluarga yang tidak ada siapapun, harsa berniat untuk kembali saja ke kamar asrama. Mungkin umma halimah sedang sibuk dengan tamunya. Harsa akan melangkah pergi, namun dari dalam umma halimah memanggil.
"harsa!!"
Umma halimah sudah berada diruang keluarga,
"kamu kok mau balik."
"aku kira umma masih ada tamu."
"iya, masih ada tamu. tapi ada yang ingin umma bicarakan sama kamu. ini penting!!"
Harsa kembali masuk kedalam, umma halimah langsung merangkul punggung putrinya, mengiring harsa sampai sofa, dan duduk bersandingan
"ingin bicara apa umma?."
tanya harsa, dia cukup penasaran dengan apa yang akan dibicarakan ibu angkatnya padanya. Entah mengapa, dia juga merasakan perasaan yang tidak enak.
Umma halimah menatap harsa sesaat, dia juga butuh kesiapan untuk menyampaikan niat baik ini.
"kamu tahu kenapa umma manggil kamu malam-malam?."
astaghfirullah, umma malah nanya, mana aku tahu...
Dalam hati harsa kesal, sekaligus ingin menggerutu. harsa hanya menampilkan senyum sambil menggeleng.
"Ini tentang keputusan mu nak, abah dan umma ingin menjodohkan mu dengan kerabat jauh umma, dan malam ini mereka sedang melamar mu."
dor.
bagaikan mendengar guntur ditengah cuaca yang panas di malam hari.
dada harsa rasanya sesak tak bisa bernafas. kabar dadakan itu membuat dia membisu ditempat, lehernya seolah tercekat sesuatu yang tak kasat mata.
bernafas...
"umma.."
Suara berat harsa.
"umma akan cerita sedikit tentang dia..."
umma halimah tidak begitu peduli dengan ekspresi keterkejutan harsa, dia lebih memilih untuk berbicara dan menjelaskan tentang sosok pria yang akan meminang-nya.
"namanya Axel, kepanjangannya umma lupa. dia putra mendiang morgan, sepupu umma dari umi safiyah ibu umma Halimah. terbilang kami masih kerabat dekat. axel ini pria mapan, dan tentu bertanggung jawab. di usianya yang masih dua puluh lima tahun, dia sudah menjabat sebagai direktur utama di perusahaan kakeknya sendiri. mungkin umurnya saat ini sudah tiga puluh dua tahun, mungkin itu terpaut jauh dengan mu, tapi menurut ku umur bukanlah suatu hal yang perlu dipermasalahkan. semakin dewasa seorang pria, dia akan semakin dapat diandalkan, sekaligus dapat mengayomi kamu."
disetiap umma halimah berbicara, bayangan harsa melambung. seperti apakah pria matang berusia tiga puluh dua tahun yang sedang melamar nya itu. harsa menggelengkan kepala.
"kamu kenapa?"
tanya umma halimah yang melihat tingkah harsa.
Harsa segera mendekap punggung tanggan ibu sambungnya.
"umma, harsa gak mau sama bapak-bapak. "
umma halimah mengerutkan keningnya, apa yang dibayangkan putri angkatnya itu tetang axel.
"harsa!!!, axel itu tidak setua itu. iya sih sebenarnya, dia sudah pernah menikah, tapi dia masih muda lo.."
harsa semaki melebarkan matanya dengan mulut terbuka. kepalanya semakin menggeleng dengan cepat.
gila!!, aku mau dijodohkan dengan duda..
"umma!!"
harsa lemas, namun tubuhnya berusaha untuk tetap bangkit.
"harsa ada tugas!!"
sebuah kalimat alasan meluncur begitu saja, Harsa ingin segera berlari dari ruang keluarga dan bersembunyi didalam kamar.
"sebentar."
Umma halimah menggenggam pergelangan harsa,
"kamu bisa menemuinya dulu. sebelum memutuskan untuk menolak."
Umma halimah seolah tahu jalan pikir putri angkatnya.
harsa kembali menggeleng sebagai bentuk penolakan dengan keras.
"harsa!!"
Kini umma halimah menyentuh dua pundak harsa, matanya menatap netra coklat yang sedang mengembun itu.
"apakah kamu sanggup jika terus berada disini nak?. pikirkan baik-baik, jika kamu mau menikah dengan cucu om bas, dia akan menjaga dan membahagiakan mu."
"umma."
kini air mata harsa menganak.
ucapan umma halimah seolah menginginkan dia untuk segera pergi demi kedamaian pernikahan putranya.
"maksud umma..."
umma yang menyadari akan ucapannya itu ingin sekali meralatnya melihat wajah sendu harsa dengan sorotan mata yang menyimpan luka yang amat dalam.
"jika itu keinginan umma, harsa akan menikah."
"ya aku menerima lamaran itu."
Keputusan yang cukup gegabah.
Tak tahan lagi dengan nyeri pada dadanya, harsa langsung keluar begitu saja.