“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
RUANG SIDANG – SIANG HARI
Semua hadirin menahan napas saat Hakim kembali memasuki ruangan.
Suasana sunyi, hanya detak jam dinding yang terdengar jelas.
"Setelah mempertimbangkan seluruh bukti, kesaksian saksi, serta dokumen tambahan yang diserahkan oleh pihak terdakwa, maka..." ucap hakim dengan suara tegas.
Risa menggenggam tangan Aditya yang duduk di kursi roda. Aditya menunduk, matanya terpejam.
"Pengadilan memutuskan bahwa Tuan Aditya Wardhana tidak bersalah atas kecelakaan pesawat tersebut.
Pihak maskapai dinyatakan lalai dan bersalah karena telah memaksa pilot menerbangkan pesawat yang tidak layak terbang.
Dengan ini, pengadilan mewajibkan pihak maskapai untuk membayar ganti rugi sebesar 100 juta kepada masing-masing keluarga korban dan 10 juta kepada Tuan Aditya atas trauma dan kerugian yang dialami."
Terdengar isak haru di seluruh ruangan.
Risa tidak bisa menahan air matanya. Ia langsung sujud syukur di lantai ruang sidang.
Semua emosi, semua beban, tumpah begitu saja. Para keluarga korban pun bertepuk tangan, beberapa bahkan ikut menitikkan air mata.
Aditya menatap istrinya yang sujud, lalu perlahan mengangkat tangannya dan menyentuh kepalanya sendiri, seakan tak percaya.
"Kita menang... Ris..." ucap Aditya lirih
Risa bangkit perlahan dan menghampiri Aditya. Ia berlutut di samping kursi roda suaminya, menatap wajah Aditya yang masih penuh luka tapi begitu berarti baginya.
"Kita menang, Mas. Aku janji akan terus bersamamu. Selamanya."
Sesaat setelah keluar dari ruang sidang, Papa dan Mama Aditya langsung memeluk Risa dengan hangat. Tangis kelegaan bercampur haru menyelimuti mereka.
"Kami bangga padamu, Risa. Terima kasih... telah menyelamatkan anak kami." ucap Papa.
"Kamu bukan hanya menantu, kamu anak kami sendiri. Maafkan kami jika selama ini..." ucap Mama sambil menyeka air matanya.
Risa mengangguk sambil menangis pelan, memeluk keduanya erat-erat.
Stefanus berdiri tak jauh dari mereka, menatap penuh bangga.
"Terima kasih, Stef. Tanpa kamu, aku mungkin sudah menyerah."
"Jangan berterima kasih padaku, Ris. Kamu yang hebat... dan Aditya beruntung memilikimu."
****
Mereka kembali ke rumah sakit malam itu, melewati jalanan London yang mulai sunyi.
Aditya sudah menunggu di kamar VVIP, tampak lebih tenang walau tubuhnya belum sepenuhnya pulih.
Risa masuk ke kamar dan duduk di sampingnya, menggenggam tangannya lembut.
"Bagaimana suasana di luar?"
"Ramai. Tapi sekarang kita pulang... setidaknya secara hati."
Satu minggu ke depan mereka akan menyelesaikan administrasi medis dan pengurusan perjalanan pulang.
Tapi malam itu, hanya keheningan damai dan kebersamaan yang mereka rasakan.
RUMAH SAKIT – PAGI HARI, RUANG ADMINISTRASI
Risa berdiri di depan meja administrasi, menandatangani beberapa dokumen untuk proses kepulangan mereka ke tanah air.
Wajahnya pucat, matanya berat, tapi ia tetap tersenyum.
Aditya menunggu tak jauh di belakang, duduk di kursi roda bersama mama dan papa.
Tiba-tiba—
"Risa!"
Tubuh Risa limbung dan jatuh ke lantai. Suasana mendadak panik.
Perawat berlari, Stefanus yang baru tiba langsung membantu mengangkat tubuh Risa ke atas tandu. Aditya mencoba berdiri dari kursi rodanya tapi dicegah oleh papa.
"Aku harus ke Risa!!" ucap Aditya yang panik melihat istrinya pingsan.
"Tenang nak, biar mereka tangani dulu."
RUANG RAWAT RISA – SIANG HARI
Dokter menjelaskan bahwa Risa mengalami kelelahan berat akibat tekanan fisik dan emosional berhari-hari.
"Ia butuh istirahat total. Saya tidak menyarankan bepergian jauh dalam waktu dekat."
Aditya menunduk dalam, menggenggam tangan Risa yang masih belum sadar penuh.
"Kalau begitu... kami tidak pulang dulu. Kami akan tetap di sini... sampai Risa benar-benar pulih."
Papa dan Mama mengangguk setuju. Stefanus mengatur ulang semua rencana kepulangan.
Beberapa jam kemudian Risa mulai sadar. Ia melihat elihat Aditya di sampingnya, ia tersenyum samar.
"Kita belum pulang?"
"Kita tetap di sini sampai kamu pulih total. Aku ingin kamu sehat... kamu sudah berjuang terlalu keras untukku."
Risa menatapnya dengan air mata menetes perlahan.
"Berarti sekarang... giliran aku yang dijaga, ya?"
"Selalu, Ris. Selalu."
RUMAH SAKIT – RUANG RAWAT RISA
Keesokan harinya perlahan di tengah musim semi London.
Aroma bunga dari taman rumah sakit sesekali menyelinap masuk lewat jendela yang terbuka setengah.
Risa masih terbaring lemah di ranjang putih yang berbau antiseptik, selimut tipis menyelimuti tubuhnya yang tampak lebih kurus dari biasanya. Wajahnya pucat, dengan rona lelah yang belum sepenuhnya pudar. Keringat dingin masih mengembun di pelipisnya, dan napasnya terdengar pelan namun stabil.
Di sisi ranjang, Mama duduk dengan tenang, sesekali meremas handuk kecil berisi air dingin dan meletakkannya di dahi putrinya. Gerakannya lembut, penuh kasih, seperti sedang membelai kenangan masa kecil yang tak pernah benar-benar hilang.
"Pelan-pelan saja, Nak," bisiknya, seakan takut suaranya mengusik ketenangan Risa. "Tidak usah terburu-buru sembuh. Yang penting kamu tenang dulu. Sembuh itu bukan perlombaan, tapi perjalanan."
Risa membuka matanya perlahan, menatap wajah sang ibu yang tampak lebih tua dari terakhir kali ia perhatikan. Garis-garis halus di wajah Mama kini lebih nyata, seperti catatan waktu yang tak bisa dihapus. Tapi dari balik sorot matanya yang lelah, ada cinta yang tak berubah, menguatkan dirinya hanya dengan kehadiran.
Risa tersenyum lemah, dan di saat itulah terdengar langkah pelan dari arah pintu.
Suara tongkat yang menyentuh lantai menyertai langkahnya.
Aditya masuk dengan hati-hati, tubuhnya masih belum seimbang.
Kaki kirinya masih tergips, dan wajahnya masih memperlihatkan bekas luka yang belum pulih sempurna.
Tapi ada semangat dalam sorot matanya, ada harapan yang membungkus setiap langkahnya.
Di tangannya tergenggam seikat bunga kecil bunga liar dari taman rumah sakit, dibungkus kertas coklat sederhana.
Warna-warni kelopaknya tampak kontras dengan suasana kamar yang suram, seolah membawa serpihan kehidupan dari luar.
"Ini..." ujarnya pelan, suaranya serak tapi hangat. Ia menyerahkan bunga itu pada Risa.
"Aku petik di taman bawah. Warnanya seperti pipimu... kalau sedang marah."
Risa terkekeh, tawa kecil yang keluar diselingi isak. Air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Bukan karena sedih, tapi karena hatinya terlalu penuh untuk menampung rasa—rasa syukur, rasa sayang, dan rasa bahwa meski dunia tak sempurna, mereka masih punya satu sama lain.
Aditya menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia menggenggam tangan Risa dengan hati-hati, seolah itu adalah benda paling rapuh dan berharga di dunia.
"Maaf ya..." katanya lirih.
"Aku suami yang nggak bisa jagain kamu saat kamu jatuh kemarin. Harusnya aku yang rawat kamu, bukan kamu yang terbaring begini."
"Mas..." Risa menggeleng pelan, tangan kanannya mengusap pipi Aditya yang masih diperban.
Luka-luka itu mungkin belum sembuh, tapi baginya, Aditya tetap pria yang sama, pria yang ia cintai tanpa syarat.
"Jangan bilang seperti itu. Kaki mas saja masih digips, belum sembuh betul. Kita... kita sama-sama luka. Tapi kita juga sama-sama ada, sama-sama bertahan. Itu cukup, Mas. Itu lebih dari cukup."
Mereka saling menatap dalam diam. Tak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan mereka, tapi genggaman tangan itu sudah menjelaskan semuanya bahwa cinta mereka tetap utuh, bahkan saat tubuh mereka tidak.
"Aku janji..." Aditya berkata lagi, lebih yakin dari sebelumnya.
"Setelah kita sembuh, kita mulai semuanya dari awal. Bukan sekadar memperbaiki yang rusak, tapi membangun yang baru."
Risa tersenyum, kali ini lebih cerah.
"Kita mulai dari kedai ayam bakar?"
Aditya tertawa kecil, suara tawanya pelan namun mengalun dalam keheningan kamar.
"Dari kedai..." katanya sambil mengangguk, "dan juga dari hati."
Di balik pintu yang terbuka sedikit, Mama berdiri tanpa suara.
Ia mendengarkan setiap kata, setiap tawa, setiap jeda yang penuh makna.
Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya mengembang dalam senyum yang hangat.
Dengan perlahan, ia menjauh dari pintu, membiarkan sepasang jiwa yang lelah itu menyembuhkan diri dalam damai menyembuhkan luka yang terlihat, dan yang tak kasat mata.
Di kamar itu, cinta mereka bukan hanya bertahan. Ia tumbuh, merekah perlahan, seperti bunga liar yang tetap mekar meski akarnya terluka.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending