Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Puri terdiam sejenak, matanya menatap Karan dengan penuh pertanyaan.
Ia bisa merasakan betapa seriusnya Karan saat bertanya, dan hatinya sedikit merasa tercekik.
Perasaan takut, cemas, dan bingung bercampur aduk di dalam dirinya.
"Jika mamaku meminta kita putus...," Puri memulai kalimatnya dengan suara yang pelan, hampir seperti bisikan.
"Aku tidak tahu, Mas. Aku... aku tak ingin kehilangan kamu, tapi aku juga tak ingin mengecewakan mama. Aku sudah banyak berpikir tentang ini. Mama adalah orang yang sangat penting bagiku, dan aku takut kalau semuanya jadi sulit."
Karan menggenggam tangan Puri lebih erat, mencoba memberi kekuatan pada dirinya dan pada Puri.
"Pur, aku tahu itu bukan hal yang mudah. Tapi aku ingin kamu tahu, apapun yang terjadi, aku akan selalu berusaha untuk mencari jalan yang terbaik untuk kita. Aku akan menunggu, kita berdua akan melewati ini bersama-sama."
Puri menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya.
"Aku takut Mas... Takut kalau nanti semuanya akan hancur. Takut kalau aku harus memilih antara kamu dan mama."
Karan menatapnya dengan lembut, membelai rambut Puri yang terurai.
"Aku tidak ingin kamu berada dalam posisi itu. Aku tidak ingin kamu merasa terjepit antara dua pilihan yang sulit.
Cintaku padamu tidak akan berubah, dan aku akan menghargai keputusanmu, apapun itu.
Tetapi, aku percaya bahwa kita bisa berbicara dengan mama, dan mencari cara agar semuanya bisa diselesaikan dengan baik."
Puri menunduk, merenung sejenak, kemudian mengangkat wajahnya.
"Aku akan coba, Mas. Aku akan berbicara dengan mama. Tapi aku takut reaksinya..."
Karan memberikan senyum hangat. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, Pur. Tapi kita bisa mulai dengan kejujuran. Itu yang terpenting."
Puri mengangguk perlahan, merasa sedikit lebih tenang.
Meski masih ada keraguan, namun ada sedikit harapan yang mulai tumbuh di dalam hatinya.
Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, namun dengan Karan di sisinya, ia merasa siap untuk menghadapi apapun yang akan datang.
"Terima kasih sudah selalu ada untukku, Mas," kata Puri, suaranya penuh rasa terima kasih.
"Selalu, Pur. Aku akan selalu ada untukmu."
Kereta telah sampai di Surabaya dan Puri mencuci muka agar tidak kelihatan kalau habis menangis.
"Apa kamu yakin mau pulang dengan wajah seperti itu?"
Puri menggelengkan kepalanya dan ia bingung harus bagaimana.
Puri merasa bingung dan cemas. Ia tidak ingin Karan melihatnya dalam keadaan seperti ini, tetapi di sisi lain, hatinya masih penuh dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan.
Air mata yang jatuh tadi kini telah mengering, tapi perasaan ragu dan cemas masih menguasainya.
Karan yang melihat Puri tampak bingung, langsung meraih tangan Puri dengan lembut.
"Pur, kamu tidak perlu khawatir. Kalau ada sesuatu yang mengganggumu, kita bisa bicara, kan? Aku di sini untuk kamu."
Puri menatap Karan dengan penuh keraguan. Ia merasa seperti ada beban yang berat di hatinya, sesuatu yang sulit untuk dijelaskan.
"Mas... aku hanya merasa bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku takut semuanya akan berubah."
Karan tersenyum lembut, menyentuh pipi Puri dengan penuh kasih sayang.
"Pur, kita tidak bisa menghindari perubahan. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita menghadapi perubahan itu. Kalau kamu merasa berat, aku akan selalu ada untuk mendukungmu. Tapi kamu juga harus jujur pada dirimu sendiri."
Puri menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya.
"Aku tahu, Mas. Tapi kadang aku takut kalau semuanya tidak akan berjalan seperti yang aku harapkan."
"Apapun yang terjadi, kita akan menjalani semuanya bersama-sama, Pur. Jangan takut untuk menjadi diri sendiri dan mengungkapkan apa yang kamu rasakan. Aku yakin, meskipun kita menghadapi tantangan, kita bisa melaluinya bersama."
Puri memandang Karan dengan mata yang mulai terasa lebih tenang.
"Terima kasih, Mas. Aku akan mencoba untuk tidak terlalu khawatir dan mencari jalan terbaik."
Karan tersenyum dan mengusap kepala Puri dengan lembut.
"Itu baru yang aku suka mendengar. Kita hadapi semuanya bersama-sama, ya?"
Puri mengangguk, merasa lebih tenang setelah mendengar kata-kata Karan.
Meskipun masih ada ketakutan dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak sendiri. Dengan Karan di sisinya, ia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi apapun yang akan datang.
Karan melihat Puri yang tampak sedikit lebih tenang, meskipun masih ada bayang-bayang kekhawatiran di matanya.
"Pur, bagaimana kalau kita ke apartemen dulu? Kita bisa istirahat sebentar sebelum aku antarkan kamu pulang nanti malam. Kamu butuh waktu untuk berpikir dan menenangkan diri, kan?"
Puri memandang Karan sejenak, ragu-ragu. Ia ingin pulang dan bertemu dengan ibunya, tetapi ia juga merasa sedikit kelelahan dan butuh waktu untuk menyendiri.
"Hmm, mungkin itu ide yang baik," jawab Puri pelan.
"Aku hanya butuh waktu untuk berpikir tentang semuanya."
Karan mengangguk mengerti dan meraih tangan Puri.
"Tidak apa-apa, Pur. Kita bisa ngobrol atau hanya duduk diam, semuanya terserah kamu. Yang penting, kamu merasa nyaman."
Setelah itu, Karan mengarahkan motor mereka menuju apartemennya yang tidak terlalu jauh dari stasiun.
Selama perjalanan, suasana canggung sempat melingkupi mereka, tetapi Karan tidak memaksakan percakapan.
Ia tahu bahwa Puri membutuhkan waktu untuk mencerna apa yang terjadi.
Sesampainya di apartemennya, Karan membuka pintu dan mengizinkan Puri masuk terlebih dahulu.
Apartemen itu sederhana namun nyaman, dengan pencahayaan hangat yang menciptakan suasana tenang.
"Apa kamu ingin minum sesuatu? Atau kamu butuh waktu untuk sendiri?" tanya Karan dengan lembut.
Puri menggelengkan kepala, meskipun ia merasa sedikit lelah, ia menghargai ketulusan perhatian Karan.
"Aku hanya butuh sedikit waktu untuk berpikir, Mas."
Karan mengangguk dan duduk di kursi dekat jendela, memberikan ruang bagi Puri untuk merasa nyaman.
"Ambil waktumu, Pur. Aku di sini, kapanpun kamu siap untuk bicara atau kalau kamu butuh aku."
Puri duduk di sofa, menatap jendela yang menghadap ke kota yang tampak sepi, merenung.
Pikirannya kembali ke percakapan tadi malam dengan mama Karan, dengan apa yang mama Karan katakan tentang agama dan tentang hubungan mereka.
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Puri merasa sedikit lebih tenang.
Ia mulai merasakan kedamaian dalam dirinya meskipun perasaan cemas masih ada.
"Mas," kata Puri, akhirnya membuka suara, "Aku tahu aku harus berbuat sesuatu untuk masa depan, tapi aku juga nggak mau kehilangan diriku sendiri dalam proses ini."
Karan menoleh dan tersenyum lembut. "Kamu tidak akan kehilangan dirimu sendiri, Pur. Aku akan selalu mendukung apapun keputusanmu, dan aku akan selalu ada untuk kamu. Yang terpenting adalah kamu merasa baik dengan apa yang kamu pilih."
Puri menghela napas dan mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega mendengar kata-kata Karan.
Ia tahu bahwa meskipun masa depan mereka penuh dengan ketidakpastian, selama mereka saling mendukung, mereka akan bisa melewati apapun yang datang.
Malam harinya Karan mengantarkan Puri pulang ke rumah, Mama membuka pintu dan melihat puri yang kelelahan.
Mama langsung memeluk Puri erat, seolah ingin memastikan putrinya baik-baik saja.
"Kamu capek, Nak?" tanya Mama dengan lembut, sambil membelai rambut Puri.
Puri hanya mengangguk pelan dan memeluk Mama lebih erat.
Ia merasa lelah, bukan hanya karena perjalanan panjang, tapi juga karena beban pikiran yang belum bisa ia bagi sepenuhnya. Mama mengerti, tak banyak bertanya, hanya menuntun Puri masuk ke rumah.
Karan berdiri di depan pintu, menunduk sopan. "Maaf sudah merepotkan, Ma. Terima kasih sudah izinkan kami pergi."
Mama menatap Karan sejenak, kemudian mengangguk pelan.
"Terima kasih sudah menjaga Puri. Sekarang biar Mama yang urus. Kamu hati-hati di jalan ya, Karan."
Karan tersenyum tipis. "Iya, Ma. Selamat malam."
Setelah Karan pergi, Mama menuntun Puri ke kamar.
"Istirahat, ya, besok cerita sama Mama kalau kamu sudah siap."
Puri berbaring di ranjangnya, matanya masih terasa berat. Tapi ada rasa hangat di hatinya. Ia tahu, saat ini ia butuh waktu. Dan rumah... adalah tempat terbaik untuk itu.