NovelToon NovelToon
Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Mafia / Reinkarnasi / Fantasi Wanita
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Anayaputriiii

"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 Iri Dengki

Raffa kembali datang ke rumah sang Ayah setelah mengintai rumah tersebut selama hampir satu jam. la sengaja menunggu waktu yang tepat agar bisa bertemu Menik tanpa ada gangguan sang Ayah yang malah akan menghancurkan rencananya.

Semua pelayan yang wara- wiri menunduk hormat saat Raffa datang dan berjalan memasuki rumah. Mereka semua menghormati Raffa karena Pak Brata yang memberi perintah untuk hormat pada seluruh anggota keluarganya. Apalagi, Raffa adalah satu- satunya pewaris.

"Di mana wanita itu?" Raffa melontarkan pertanyaan pada seorang pelayan yang kebetulan berhenti di depannya.

"Maaf, siapa yang Anda maksud, Tuan?" sahut pelayan itu dengan takut- takut.

"Jangan membuatku marah! Kau tau betul siapa yang aku maksud!"

Pelayan itu terhenyak mendengar suara yang membuat nyalinya menciut. Bukan bentakan. Sepertinya papanya sudah tak merahasiakan apapun dari istri mudanya itu.

"Ra- Raffa?" Menik refleks menutup brankar tersebut.Wajahnya gugup, dan tangannya gemetar karena seolah ketahuan seperti seorang maling.

"'Sedang apa kamu di sini?" Tak ada penghormatan yang ditunjukkan Raffa. Baginya, wanita di hadapannya tak jauh berbeda dengan sampah.

"Ini... aku sedang membersihkan ruang kerja papamu." Menik berusaha menunjukkan senyum yang termanis. "Kamu baru datang?

Kenapa nggak nyuruh pelayan saja untuk memanggilku keluar?"

"Supaya apa?" Raffa sama sekali tak mengalihkan tatapannya pada wanita yang seharusnya dipanggil Ibu itu. Hanya saja, ia enggan karena bagi Raffa, ibunya hanya Amira saja. Tak ada yang lain.

"Ya ... itu, supaya aku bisa menyambutmu, Fa." Menik terkekeh pelan.

"Duduklah! Aku akan menelpon papamu, kamu mau ketemu papamu, kan?" Menik mengeluarkan ponselnya. Namun, suara Raffa membuat tubuhnya kembali gemetar ketakutan.

"Aku tidak mencari pria tua itu!" Raffa menyeringai, lalu kembali berkata, "Tapi, aku mencarimu, Wahai ibu tiriku ...."

Susah payah Menik menelan salivanya yang seolah tercekat ditenggorokan. Perlahan, peluh membanjiri tubuhnya. Ruangan yang ber-AC itu seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya.

"Apa yang mau kamu bicarakan denganku?" Menik berusaha tenang.

"Duduklah, agar pembicaraan kita bisa lebih santai," tukasnya seraya duduk di kursi yang biasanya ditempati oleh Pak Brata.

"Itu kursi Papaku. Dan sebentar lagi akan kududuki. Tapi, setelah melihat kamu suka duduk di sana, lebih baik aku membeli yang baru nanti," celetuk Raffa. Ia lantas duduk di kursi yang berhadapan dengan Menik, dan mereka hanya dipisahkan dengan meja kerja.

Raffa tak menghiraukan wajah Menik yanh memerah. la bisa menebak bahwa wanita itu kini merasa dipermalukan dan diinjak-injak. Namun, Menik tak akan berani melawan Raffa karena ia tahu bahwa posisinya tak ada apa-apanya dibanding dengan Raffa.

"Langsung saja ke intinya. Jangan ganggu Hanin!" kata Raffa, menatap tajam ke arah Menik yang nampak kembali kaget.

"Apa maksudmu?" Menik tersenyum tipis.

"Jangan menemui istriku!" tegas Raffa. "Kami pikir aku tak tau jika kamu menemuinya tanpa sepengetahuanku? "

Menik menipiskan bibirnya."Aku hanya bicara dengan Hanin untuk mengenal siapa dia, Raffa. Aku harus kenal siapa menantu keluarga kita ini," alibinya yang langsung ditertawakan oleh Raffa.

"Keluarga kita?" ulang Raffa sembari mengangkat satu alisnya." Keluarga mana yang kamu maksud?"

Wajah Menik menegang. "Aku adalah istri papamu. Sudah jelas kalau kita adalah keluarga, Fa,"ucapnya.

"Kamu sendiri yang menganggap seperti itu. Bukan aku," kata Raffa dengan santainya.

"Karenamu, ibuku harus pergi dari rumahnya sendiri. Dasar tidak tahu malu!"

"Cukup, Raffa! Kalau papamu tahu sikap kurang ajarmu ini, kamu akan dimarahi!"

Raffa tertawa keras mendengar ancaman Menik yang terdengar menggelikan.

"Aku bukan anak kecil, Tante. Meski Papa memarahiku, dia tidak akan sampai hati memutuskan hubungannya denganku. Berbeda denganmu ... yang bisa saja dibuang kapan pun setelah Papa bosan," tukasnya.

Menik menurunkan kedua tangannya dari atas meja ke pahanya. Kedua tangannya lantas terkepal erat, seolah menggambarkan betapa besarnya emosi yang ia rasakan saat ini.

"Ingat, Tante. Papa hanya melirikmu karena kamu masih menarik. Tapi, semakin hari, kamu akan semakin tua dan keriput. Di saat itulah Papa akan menceraikanmu. Dan jika waktu itu tiba ... aku akan tertawa keras karena kamu akan merasakan apa yang Ibuku rasakan."

"Kamu...." Menik memicingkan mata. Emosi dalam dadanya terasa meletup- letup dan ingin meledak.

"Aku bukan pria bodoh dan lugu, Tante. Jadi, jangan mengira jika peringatanku hanyalah angin lalu. Jika Tante kembali menemui Hanin dan berusaha mempengaruhinya, aku bisa saja membuat Tante tak bisa bicara lagi. Atau yang lebih parah ... aku bisa membuat Tante lumpuh!" Ancaman yang diucapkan Raffa membuat Menik ketakutan. Tengkuknya terasa meremang seketika, seolah ancaman itu berhasil menembus hatinya. Anak tirinya itu benar-benar menakutkan.

"Kamu tidak bisa melakukan itu. Tidak akan pernah bisa.Papamu bisa saja melakukan hal yang sama padamu, Fa!"

"Seburuk- buruknya hubunganku dengan Papa, tidakada niatan buruk di antara kami,Tante. Kecuali kamu yang punya rencana buruk itu," balas Raffa.

"Aku mengenal Papa lebih baik darimu. Jadi, jangan sok- sokan menjadi orang yang paling paham!" sambungnya.

Menik kalah telak. Setiap ucapan Raffa adalah ancaman nyata baginya yang tak bisa dielakkan. Ia menatap Raffa dengan perasaan benci. Andai ia punya cara, sudah dari lama ia melenyapkan Raffa!

"Aku pergi dulu. Jika ingin mengadi pada Papa, silakan saja! Aku menunggu kabar selanjutnya. Permisi!" Raffa berdiri, lalu melangkah meninggalkan Menik yang berusaha meredam emosi.

BRAAAK!

"Ah, sial an! Anak itu benar-benar tidak tahu diri! Awas saja kamu, Raffa! Akan kubuat kamu hancur!" desis Menik dengan dada naik turun karena ledakan emosi.

...****************...

Raffa kembali memberikan kejutan untuk Hanin setelah memberikan istrinya kalung emas.

Kali ini ia memberikan sebuah ponsel mahal dengan logo apel krowak di belakangnya.

Hanin terkejut disertai heran."Ini hape beneran untukku, Mas?"

"Iya. Hapemu kan sudah rusak,Nin. Pakailah itu. Di kontaknya sudah aku isi nomor hapeku."

"Tapi, kan ... ini mahal. Mas dapat uang dari mana?" Hanin tak menghiraukan soal isi kontak yang ada di dalam ponsel tersebut. Yang ia ingin ketahui adalah uang darimana yang di dapatkan suaminya yang hanya seorang OB untuk beli hape harga puluhan juta?

"'Aku kerja, Hanin. Tenang saja. Uang yang aku pakai ini halal.Jangan takut" kata Raffa.

Hanin menghela napas panjang. "Makasih, Mas," ucapnya meski hatinya merasakan keraguan.

"Sama- sama."

"Mas sudah makan? Mau aku siapin?" tawar Hanin, mencoba memecah kecanggungan.

"Iya, sekalian ajak Ibu juga," jawab Raffa yang dibalas anggukan oleh Hanin.

Hanin mengetuk pintu kamar sebelah yang ditempati Bu Mira. Wanita paruh baya itu lantas membuka pintu dan tersenyum pada menantunya. "Ada apa, Nak?"

"Mas Raffa mau ngajak Ibu makan sama- sama. Ayo, Bu!"

"Oh, iya. Kalian ke dapur dulu. Sebentar lagi Ibu nyusul." Di meja makan, Bu Mira memuji masakan Hanin yang sangat lezat. Masakan pepes tongkol tersebut pas di lidahnya."Masakanmu enak. Kenapa gak buka warung makan saja? Ibu yakin, pasti ramai," celetuknya.

Hanin tersenyum. "Saya gak pede, Bu. Lagian mau buka warung,saya gak punya modal. Tempatnya juga gak ada."

"Tapi kamu minat gak?" Hanin mengangguk.

"Kalau minat ada, Bu. Apalagi saya memang sudah terbiasa masak. Mulai SD sudah disuruh masak meski awalnya enggan, lama- lama saya jadi mencintai dunia dapur," jelasnya seraya terkekeh.

"Wah, kamu hebat, Nin. Anak usia SD memang disuruh masak apa?"

"Menanak nasi di dandang, Bu. Dulu kan gak punya magic com. Jadi, masaknya di kompor pakek dandang."

"Waktu itu bisa?"

Hanin meringis. "Waktu awal gosong, Bu. Soalnya saya tinggal main."

Bu Mira mengulum senyum. la melirik putranya yang diam menikmati masakan Hanin. Putranya hanya diam saja sejak tadi dan itu membuatnya gemas.

"Raffa, bantulah bakat istrimu agar berkembang," celetuk Bu Mira.

"Eh? Maksud Ibu apa?" Hanin segera menyela.

"Raffa biar mencarikan tempat untukmu buka warung, Nin. Dia temannya banyak. Siapa tahu punya info tempat yang bisa dijadikan warung makan."

Hanin menggeleng. "Tidak perlu begitu, Bu. Saya sudah nyaman bekerja di warung Ko Yusuf," sahutnya, sungkan. Ia sudah dibelikan banyak barang mahal tadi. Mana mungkin ia meminta halyang kembali menguras kantong suaminya?

"Kalau kamu terus ikut sama Ko Yusuf, maka gak akan ada perkembangan dalam hidupmu,Hanin," tutur Bu Mira. "Kalau kamu punya bisnis sendiri yaitu warung,kamu bakalan bisa mengepakkan sayapmu," sambungnya.

"Tapi, saya ..

"Ibu benar," sela Raffa tiba- tiba."Aku akan mencari info tentang tempat untukmu membuka warung makan."

Kedua mata Hanin terasa memanas. Entah kebaikan apa yangsudah ia lakukan sampai memiliki suami dan mertua sebaik ini?

"Loh, kok nangis, Nin?" Bu Mira menatap iba pada menantunya. Begitu pun dengan Raffa.

Hanin tertawa sambil mengusap air matanya. "Saya terharu, Bu. Saya senang sekali karena punya mertua dan suami yang baik dan selalu mendukung saya. Saya bahagia," irihnya.

Bu Mira tersenyum. la bangkit dan berpindah posisi duduk disamping Hanin, lalu memeluk menantunya itu. "Kamu pantas mendapatkannya, Sayang."

Bu Mira sudah mendengar semua cerita kehidupan Hanin yang selalu dipilih kasih oleh ibunya. Ia sempat heran, kenapa seorang Ibu bisa bersikap seperti itu?

"Terima kasih, Bu. Terima kasih, Mas Raffa," kata Hanin.

"Terima kasihnya nanti saja kalau warungnya udah ada.Sekarang kamu harus fokus pada dirimu sendiri dan keluarga barumu, Nin. Besok saat pulang ke rumahmu, jangan jadi lemah dihadapan ibu dan adikmu, ya," pesan Bu Mira.

"Kalau bisa, segeralah pindah ke sini. Rumah ini jadi sering kosong karena Raffa tinggal dirumahmu. Kalian kan sudah menikah, jadi butuh privasi. Akan lebih baik kalau kalian tinggal terpisah sekarang."

Hanin mengangguk. "Saya sama Mas Raffa udah pamit sama Bapak, Bu. Tapi, Bapak setujunya kalau pernikahan saya sama Mas Raffa sudah tercatat sah di negara dan hukum."

"Oh, begitu. Nggak papa. Niat Bapak kamu baik, Hanin. Ya udah,makan dulu, Nin. Lihat suamimu sangat menikmati masakanmu,"kata Bu Mira seraya menunjuk Raffa dengan dagunya.

...****************...

Minggu sore, Hanin dan Raffa pamit pulang. Mereka diantar Pak Wirya menaiki mobil karena

barang bawaan mereka sangat banyak. Hanin sebenarnya masih penasaran pada sosok Pak Wirya.Hanya saja, ia memendamnya dalam hati. Takut salah jika bicara.

"Hati- hati kalau nyetir, Pak Wir. Kamu membawa anak dan mantuku," pesan Bu Mira pada Pak Wirya yang sudah duduk di balik kemudi.

"Siap, Bu Mira!" Pak Wirya menjawab seraya memberi hormat.

Mobil yang dikendarai Pak Wirya melaju meninggalkan area perumahan. Raffa menoleh menatap leher Hanin yang nampak kosong.

"Kenapa tidak dipakai?" tanyanya tiba- tiba.

"Eh? Apanya?" Hanin menoleh.

"Kalung yang kuberi semalam."

"Itu ... aku gak enak sama Ibu dan Lisna kalau mereka lihat, Mas," Jawab Hanin, jujur.

"Mana?" Raffa menengadahkan tangannya. Hanin lantas merogoh tasnya dan memberikan dompet berisi kalung emas yang dimaksud.Kalung tersebut diminta kembali oleh pemiliknya, pikir Hanin. Namun, Hanin terkejut saat Raffa memakaikan kalung tersebut ke lehernya.

"Eh, aku pikir kalungnya Mas ambil lagi."

"Ini kalungmu. Untuk apa kuminta lagi?" Hanin terdiam. Ia meraba liontin kalung yang sudah melingkar di lehernya.

"Jangan pernah melepas kalung itu, Nin. Itu adalah simbol kalau kamu adalah istriku," kata Raffa.

"Iya, Mas ... maaf, ya."

Raffa tersenyum. "Tidak masalah."

Akhirnya mereka tiba di rumah. Hanin dan Raffa turun lebih dulu. Disusul Pak Wirya yang membantu menurunkan dan membawakan barang- barang belanjaan Raffa dan Hanin.

Bu Daning dan Lisna yang sedang nonton tivi keluar saat mendengar suara berisik. Mereka terbelalak melihat Hanin dan Raffa pulang sambil membawa banyak barang seperti pakaian, makeup,dan seprei. Mereka berdua bahkan sampai menyipitkan mata saat melihat kalung emas yang melingkar di leher Hanin.

"Kalian belanja pakai uang siapa? Mana pakek beli kalung emas segala," cetus Bu Daning.

"Saya menabung, Bu. Ini semua hadiah pernikahan saya untuk Hanin," jawab Raffa,

Lisna merasa iri melihat kebahagiaan Hanin. la hanya diam dengan tatapan tak suka.

1
Nurae
Ini cerita nya sedih... ☹️
viddd
Greget bangett sama kelakuan lisna dan ibunya,, cepet rilis episode selanjutnya dong
viddd
Good ceritanya
viddd
Kasian lisna, baru episode 1 aja sedih ceritanya 🥲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!