Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Basah
"Leon..." suara Ghea nyaris tak terdengar. Ragu. Takut. Tapi juga… nyaris menyerah.
Ia bisa merasakan hembusan napas di bahunya. Tapi tidak ada kata-kata.
Hanya keheningan. Dan hasrat yang menggantung, menyesakkan.
"Apa yang kulakukan?" batin Ghea berteriak.
Ini salah. Ini gila. Ini dosa.
Tapi tubuhnya tidak bergerak.
"Kenapa aku tidak bisa menjauh?"
Mungkin karena pelukan itu terasa lebih nyata daripada apapun yang pernah ia terima dari suaminya sendiri. Mungkin karena, di antara semua kekacauan hidupnya... hanya pelukan ini yang membuatnya merasa hangat. Diterima.
Di dada Leon, Ghea menutup mata.
Ia tak tahu apakah ia sedang jatuh... atau sedang tersesat terlalu jauh.
Atau... dua-duanya?
Malam semakin larut, tapi Leon belum bisa memejamkan mata.
Ghea tertidur di sampingnya—masih hanya berbalut handuk yang nyaris melorot. Aroma kulitnya yang masih lembap bercampur wangi sabun, menggoda dengan lembut, menyusup ke rongga dada pria itu.
Selimut tebal dari bulu domba menutupi tubuh Ghea, membuatnya terlihat seperti boneka porselen yang lembut. Tapi bahkan kehangatan selimut tak cukup membendung badai yang mengamuk dalam pikiran Leon.
Ia duduk bersandar di kepala ranjang. Menatap wajah damai wanita itu, yang bahkan dalam tidur pun, mampu membuatnya nyaris kehilangan kendali.
Tangannya terkepal. Rahangnya mengeras. Ada dorongan primitif yang merambat dalam darahnya, membuat napasnya berat dan tersendat.
"Kau tahu apa yang kau lakukan padaku, Honey?" bisiknya serak. "Bahkan saat tidur… kau bisa membuatku kehilangan arah."
Tiba-tiba, suara lirih keluar dari bibir Ghea. Lembut, terengah. Seperti bisikan dari mimpi yang indah—atau terlalu berbahaya.
Leon menoleh cepat. Jantungnya berdebar.
Erangan samar itu terdengar lagi.
Dan lalu… namanya.
"Leon…"
Tubuh pria itu menegang. Ia menahan napas, menggertakkan gigi. Sial.
Ghea benar-benar sedang bermimpi. Dan yang ada dalam mimpinya adalah dirinya.
Hasrat yang membara mengalir deras, seperti api yang membakar kulit dari dalam. Leon menutup mata, menahan napas, tangannya bergerak—tapi berhenti di udara. Menggenggam kehampaan. Menolak kelemahan.
"Kalau aku menyentuhmu sekarang... aku tahu aku tak akan berhenti," gumamnya, lirih dan frustrasi.
Ia mendekat. Napasnya menyentuh pelipis wanita itu. Lalu satu kecupan mendarat, ringan tapi membakar.
"Jangan bangun, Honey…" bisiknya. "Aku tak bisa jamin jadi pria baik… kalau kau menatapku dengan mata seperti tadi."
Satu kecupan lagi. Dan satu lagi.
"Mimpi yang indah… Karena mimpi adalah satu-satunya tempat aku bisa memilikimu... tanpa berdosa."
Ia menarik selimut Ghea sedikit lebih tinggi, menutup bahu yang menggoda imajinasi. Lalu memeluknya dari belakang—bukan untuk menuntaskan hasrat, tapi untuk meredamnya. Menjaga mimpi itu tetap suci, walau hatinya sendiri terbakar diam-diam.
-----
Pagi menyapa lewat semburat cahaya lembut yang menyusup dari celah tirai. Tapi Ghea masih enggan membuka mata. Selimut tebal yang membungkus tubuhnya terasa terlalu nyaman.
Namun tubuhnya yang hangat tetap menggigil, seakan sisa-sisa mimpi yang terlalu nyata masih melekat di kulitnya.
Mimpi… atau kenyataan?
Ada lengan melingkar di pinggangnya. Napas hangat membelai tengkuknya.
Dan kulit.
Kulit yang bersentuhan langsung dengan kulitnya.
Kesadaran menyeruak, mengguncang dalam satu detik yang terasa seperti selamanya. Jantungnya menegang. Matanya sontak terbuka.
Tangannya spontan menarik selimut lebih rapat ke dada. Tubuhnya… polos. Handuknya sudah tiada. Entah sejak kapan terlepas.
Dan di belakangnya… Leon. Tertidur dengan satu lengan memeluk erat pinggangnya. Tubuhnya hanya berlapis boxer.
Tubuh pria itu menempel pada tubuhnya—hangat dan nyata. Terlalu nyata.
Astaga…
Kepalanya terasa kosong. Tapi tubuhnya menghangat, bukan karena malu, tapi karena serpihan ingatan samar yang berputar di benaknya.
Pelukan tadi malam. Detak jantung yang terlalu dekat. Tarikan napas di tengkuknya. Lengan yang menahan seolah tak rela berpisah. Dan di pelipisnya… ada sensasi asing, seperti bekas kecupan.
Ghea menahan napas. Ia mencoba bergerak perlahan, tapi Leon menggumam pelan dalam tidurnya dan malah menariknya lebih dekat.
Bibir pria itu menyentuh bahunya. Lembut. Menyetrum. Membuat tubuh Ghea membeku.
"Aku harus pergi. Aku harus keluar dari sini," batinnya menjerit.
Tapi tubuhnya masih terpaku.
Karena di balik rasa panik… ada satu bagian kecil dari dirinya yang tak ingin melepaskan kehangatan itu.
Dan justru itulah… yang paling menakutkan.
Tubuh Leon menggeliat pelan. Helaan napasnya berubah berat saat kesadaran kembali.
Matanya terbuka setengah, menatap wanita yang masih terbaring membelakanginya.
Ghea.
Masih dalam pelukannya. Kulit mereka masih bersentuhan.
Dan tubuhnya… masih hangat.
Sudut bibir Leon terangkat. Senyum kecil, menggoda, nyaris seperti kemenangan.
Jari-jarinya bergerak, menyusuri perlahan sepanjang lengan Ghea. Ringan. Lembut. Seolah memastikan wanita itu tak kabur diam-diam.
“Hm,” gumamnya, suara serak khas bangun tidur. “Pagi yang menyenangkan, ya, Honey?”
Ghea menegang. Ia tak menoleh. Tak menjawab.
Leon semakin mendekat, menyandarkan dagunya di bahu wanita itu. Lalu berbisik, nyaris menyentuh telinganya.
“Terima kasih… sudah menenangkanku semalam.”
Suaranya dalam. Lembut. Tapi cukup untuk membuat tubuh Ghea bergetar.
“Aku tidak menyentuhmu… seperti itu,” bisiknya, nyaris nakal. “Tapi… kurasa cukup untuk melepas tegangan.”
Ghea menoleh cepat. Wajahnya merah padam. “Brengsek!”
Leon terkekeh.
Dengan panik, Ghea menarik selimut dan membungkus dirinya. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan berlari ke kamar mandi, membanting pintu dengan wajah terbakar.
Leon tertawa pelan. Ia duduk bersandar di kepala ranjang, lalu menatap noda samar di seprei putih.
Jarinya menyentuhnya sekilas. Ia tersenyum tipis.
“Cukup untuk malam ini,” gumamnya.
Pada akhirnya… kegelisahan tubuhnya memang tuntas. Dalam mimpi basah yang tak tertahan.
Di kamar mandi, Ghea berdiri mematung di depan cermin. Wajahnya merah. Napasnya tak teratur. Ia menatap bayangannya sendiri.
“Apa yang kulakukan semalam…” bisiknya pelan.
Kilasan demi kilasan menyeruak. Pelukan hangat Leon. Desahan tertahan. Bisikan di tengkuk. Tubuh pria itu yang gemetar menahan diri.
Dan yang paling membuatnya panik… adalah kenyataan bahwa ia membiarkannya.
“Gila… aku sudah gila…”
Ia membenamkan wajah ke tangannya, berusaha menahan gejolak yang masih membakar tubuh dan jiwanya.
-----
Beberapa menit kemudian, Ghea keluar dari kamar mandi. Seperti pagi-pagi sebelumnya, pria itu sudah tidak ada.
Tidak ada suara. Tidak ada jejak.
Ghea menghela napas. “Dia manusia atau jalangkung, sih? Jangan-jangan makhluk ghaib…”
Ia bergidik sendiri membayangkan kemungkinan itu.
Tapi begitu ia keluar dari kamarnya, seorang pelayan menyapanya dengan senyum hati-hati.
“Ada kiriman makanan, Nyonya. Dari layanan online. Ini untuk Anda.”
Ghea mengernyit, menerima sekotak makanan sehat dalam kemasan rapi dan hangat.
Sebelum sempat menebak siapa pengirimnya, ponselnya bergetar.
Satu pesan masuk.
> "Kau harus makan makanan bergizi, Honey. Aku tak ingin calon istriku jatuh sakit."
Jantung Ghea mencelos. Matanya membelalak menatap layar.
Leon.
Ia mendengus pelan, pipinya memerah entah karena marah… atau karena malu.
“Makhluk ghaib dari mana bisa tahu aku belum sarapan,” gumamnya, lalu membuka kotak makanan itu dengan napas berat.
Tapi sudut bibirnya perlahan terangkat—meski ia berusaha menyembunyikannya.
-----
Gedung Mahardika Grup
Seorang pria tua melangkah mantap memasuki lobby utama. Semua karyawan yang melihatnya langsung menunduk hormat. Tak ada yang tak mengenalnya—Mahardika, pendiri dan pemilik Mahardika Grup.
Ia terus melangkah, tongkat di tangan kirinya hanya aksesori, bukan kebutuhan. Ketika tiba di lantai tertinggi, di depan ruang CEO, seorang pria muda langsung menyambut.
“Selamat pagi, Tuan Mahardika,” ucap Rafael, asisten pribadi CEO, sambil menunduk hormat.
“Dia ada di dalam?” tanya Mahardika langsung, tanpa basa-basi.
Rafael mengangguk. “Sedang mengerjakan laporan tahunan, Tuan.”
Tanpa mengetuk, Mahardika membuka pintu.
Di dalam, Varendra Mahardika—CEO muda yang jarang muncul di media—mengangkat kepalanya dari balik laptop. Rambut panjangnya menjuntai ke sisi wajah, sebagian menutupi masker hitam yang nyaris selalu ia pakai.
Mata abu keperakannya menatap ke arah pintu, lalu melembut.
“Kakek,” ucapnya pelan, ada senyum tersirat dari kerutan di sudut matanya. Nada suaranya berbeda—lembut, tidak dingin seperti biasanya.
“Kenapa kau tak pulang, Ren?” tanya Mahardika sambil menghampiri. “Ibumu khawatir. Sudah dua minggu kau tak pulang.”
“Ada deadline mendesak, Kek.” Suaranya rendah, tenang, sopan. Hanya pada orang-orang terdekat, Varendra bicara seperti ini.
Mahardika duduk tanpa diundang. “Kau sudah dua puluh lima tahun. Kakek makin tua. Kapan kau mau menikah, hm?”
Varendra menghela napas. “Jika waktunya sudah tepat, Kek.”
Mahardika menatap tajam. “Kau sulit dapat pasangan karena menutupi wajahmu. Bagaimana orang mau mengenalmu kalau kau selalu bersembunyi?”
Diam. Lalu, Mahardika melanjutkan, “Ikut Kakek malam ini. Ada seorang gadis. Kakek rasa, kau akan menyukainya.”
“Kek, aku—”
Mahardika berdiri. “Tak ada penolakan. Siapkan jas terbaikmu. Kakek serius.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.