NovelToon NovelToon
Terpaksa Menjadi Madu

Terpaksa Menjadi Madu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.

Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.

Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 15

Satu minggu setelah hari pernikahan yang tertunda.

Alya menatap gaun putihnya yang masih tergantung di sudut kamar. Renda-rendanya masih bersih, wangi sabun lavender. Tapi hari itu, gaun itu tak pernah menyentuh tubuhnya. Tak pernah menemani langkahnya menuju pelaminan.

Ia belum sanggup menyimpannya, tapi juga belum sanggup melepasnya.

Di cermin, wajah Alya tak tampak marah, hanya lelah. Matanya menyimpan tanya yang belum punya jawaban. Suara ibunya menggema dari ruang tamu — sedang menenangkan Aira, yang menangis minta bertemu Rey.

Alya menghela napas panjang.

Di taman kecil belakang rumah.

Rey duduk bersama Rafa dan Aira. Mereka bermain balok huruf. Rafa masih canggung, Aira terlalu antusias. Rey sesekali melirik ke jendela kamar Alya yang masih tertutup.

Rafa akhirnya bicara pelan, “Ayah… Bunda Alya gak suka aku ya?”

Rey terdiam. “Bukan begitu, Rafa. Bunda Alya sedang bingung. Kamu anak baik. Dia cuma butuh waktu.”

Rafa menunduk. “Kalau dia gak suka, aku boleh gak pulang aja sama Ibu Nayla?”

Aira tiba-tiba menarik tangan Rafa.

“Kamu gak boleh pergi. Ayah Rey janji mau jaga kita dua-duanya. Kalau kamu pergi, Aira sendiri lagi.”

Rey tersenyum pahit. Cinta seorang anak — nyatanya lebih tulus dari cinta yang paling indah pun.

Malam harinya...

Alya duduk sendirian di balkon. Rey datang perlahan membawa teh hangat.

“Boleh duduk?” tanyanya pelan.

Alya mengangguk tanpa menoleh. Rey duduk di kursi sebelahnya. Beberapa detik mereka hanya diam.

“Aku tahu aku sudah salah,” kata Rey akhirnya. “Tapi yang lebih menyakitkan bukan karena kamu marah. Tapi karena kamu diam. Karena kamu menjauh, tanpa benar-benar pergi.”

Alya menoleh. Matanya sembab. Suaranya parau.

“Aku tidak tahu harus pergi atau tetap. Tidak tahu harus percaya atau jaga jarak. Aku pikir aku sudah sembuh, Rey. Tapi ternyata... ada bagian dari aku yang masih takut jadi pilihan yang kedua.”

“Kamu bukan yang kedua,” Rey menjawab cepat.

“Tapi aku juga bukan satu-satunya,” balas Alya lirih dan setelah mengatakan itu, Alya berlalu pergi meninggalkan Rey yang terdiam dengan wajah yang bertekuk ke bawah.

Keesokan harinya.

Nayla mengetuk pintu rumah Alya. Ia membawa Rafa, yang akan dijemput sekolah oleh Rey. Tapi kali ini, Nayla tidak langsung pergi. Ia mengajak Alya bicara di teras.

“Aku tidak akan lama di sini,” katanya. “Setelah Rafa sedikit dekat dengan Rey, aku akan kembali ke Bandung. Aku tahu aku datang di waktu yang salah. Tapi aku juga tahu... anakku butuh tahu siapa ayahnya.”

Alya menatap wanita di depannya itu. Wajahnya lelah, tapi kuat.

“Kamu masih mencintai Rey?” tanya Alya tiba-tiba.

Nayla tersenyum getir. “Tidak. Aku hanya mencintai Rafa. Tapi aku tahu, luka yang kamu rasakan... mungkin seperti luka yang pernah aku alami juga. Dulu aku juga pernah jadi ‘yang ditinggal tanpa alasan’.”

Alya mengangguk pelan. Hatinya semakin penuh. Ada terlalu banyak cerita yang berdesakan di ruang kecil dadanya.

Malam ketiga.

Alya menulis di jurnalnya:

“Aku pernah belajar memaafkan Dimas. Tapi memaafkan seseorang yang hidup bersamaku hari ini — itu lebih sulit. Aku tahu Rey tidak sengaja menyakitiku. Tapi luka tak pernah menunggu niat.”

“Rey mencintaiku, aku tahu itu. Tapi apakah cinta cukup untuk menerima bahwa rumah yang akan kami bangun... sudah ada penghuninya dulu?”

“Apakah aku sanggup menjadi ibu dari anak yang bukan dari rahimku, sementara luka anakku sendiri belum selesai?”

Dan malam itu, Alya memimpikan Dimas.

Ia duduk bersamanya di pantai, ombak tenang. Dimas tersenyum.

“Kamu mau bahagia lagi, kan?” tanya Dimas.

“Tapi kenapa jalannya begini?”

“Karena kamu butuh tahu, Alya... bahwa bahagia bukan tentang mendapatkan yang bersih, tapi tentang menerima yang pernah hancur.”

Alya menatap ombak. “Aku takut, Dimas…”

“Kalau kamu tak takut, kamu bukan Alya yang dulu bangkit dari abu.”

Ia terbangun. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian hari, ia menangis — bukan karena kecewa, tapi karena rindu yang perlahan berubah menjadi keikhlasan.

Keraguan bukan tanda cinta memudar. Kadang, ia adalah jeda sebelum langkah penting — sebuah nafas panjang sebelum lompatan paling jujur dalam hidup.

*

Tiga hari berlalu.

Langit masih mendung sejak hari terakhir Rey datang ke rumah. Tak ada hujan, tapi udara dingin menusuk seperti pertanda bahwa ada yang belum selesai.

Alya duduk di ruang tengah, memeluk Aira yang tertidur dengan buku dongeng terbuka di pangkuan. Tangannya membelai rambut anaknya, tapi pikirannya tidak di situ. Ia sedang menimbang satu hal: dirinya sendiri.

Pagi itu, ia menemui Bu Erna di dapur.

“Aku bingung, Bu...” katanya lirih, hampir seperti mengaku pada dirinya sendiri.

“Tentang Rey?”

Alya mengangguk. “Aku tahu dia mencintaiku. Tapi... apakah aku bisa tetap menjadi Alya, jika aku harus berbagi segalanya dengan masa lalu yang tidak pernah aku undang?”

Bu Erna menatap Alya lama, lalu menjawab lembut.

“Alya, setiap perempuan berhak memilih. Tapi juga berhak ragu. Cinta tidak harus selalu berani. Kadang, mencintai itu justru soal tahu kapan berhenti — sebelum kau kehilangan dirimu sendiri.”

Alya menggenggam tangan Bu Erna. “Aku tidak ingin mencintai seseorang... lalu berubah menjadi bayangan dari wanita yang pernah aku perjuangkan.”

Di tempat lain, Rey duduk di kamar Rafa.

Ia baru saja menidurkan anak itu. Rafa semakin dekat padanya. Ada kebahagiaan yang muncul di mata bocah itu setiap kali Rey menjemputnya dari sekolah, atau membantunya mengeja kata-kata sulit.

Tapi Rey tahu jika ia belum bisa menyentuh hati Alya lagi. Dinding yang dibangun Alya lebih sunyi dari sebelumnya.

Malamnya.

Alya akhirnya membuka kembali jurnalnya. Tapi kali ini, ia tak menulis. Ia membaca ulang halaman-halaman lamanya — tentang luka Dimas, tentang kesepiannya sebagai janda, tentang keputusannya membuka hati untuk Rey. Lalu akhirnya sampai pada halaman yang ia tulis seminggu sebelum hari pernikahan:

“Aku tahu ini bukan jalan yang mudah. Tapi jika Rey menggenggam tanganku dengan jujur, aku ingin menua bersamanya. Bukan karena aku takut sendirian. Tapi karena aku tahu, untuk sekali ini... aku bisa memilih.”

Matanya panas. Hatinya gemetar.

Tapi apakah aku masih memilih dia… jika tangannya juga menggenggam masa lalu yang belum selesai?

Keesokan harinya.

Alya menulis surat — bukan untuk Rey, bukan untuk Nayla, tapi untuk dirinya sendiri.

“Alya... kau tak perlu menjadi ibu dari luka orang lain sebelum lukamu sendiri sembuh.”

“Kau tak perlu jadi perempuan hebat yang menerima segalanya — jika pada akhirnya kau kehabisan ruang untuk mencintai dirimu sendiri.”

“Cinta bukan tentang kuat menahan segalanya. Tapi tentang tahu kapan cukup.”

Dan hari itu, Rey datang lagi.

Ia membawa Rafa dan Aira yang baru selesai dari taman. Dua anak itu tertawa bersama — polos dan murni. Alya menatap mereka dari balik jendela, hatinya remuk sekaligus utuh. Ada cinta di sana, begitu nyata. Tapi juga ada ketakutan.

Rey berdiri di depan pintu.

“Alya, boleh aku bicara?”

Alya membuka pintu, tidak sepenuhnya. “Bicara, Rey. Tapi jangan janji apa-apa hari ini.”

Rey menunduk.

“Aku ingin membangun rumah ini bersamamu. Tapi aku tahu, aku membawa reruntuhan dari masa lalu. Aku siap membetulkan semuanya. Tapi kalau kamu belum siap... aku akan menunggu.”

Alya menatapnya tajam. “Rey, kamu tahu apa yang paling aku takutkan?”

“Apa?”

“Bahwa aku mencintaimu begitu dalam... sampai aku melupakan diriku sendiri.”

Rey tidak menjawab. Ia tahu jika kata-kata yang ia katakan tidak cukup. Tidak malam ini.

Di kamarnya malam itu, Alya menulis satu kalimat,

“Aku mencintaimu, Rey. Tapi aku juga mencintai diriku. Dan untuk pertama kalinya... aku akan memilih siapa yang perlu aku perjuangkan lebih dulu.”

Dan cinta bukan tentang siapa yang layak diperjuangkan — tapi siapa yang membuat kita tidak kehilangan diri dalam perjuangan itu.

Dan Alya sedang belajar... bahwa tidak semua luka harus dibalut dengan cinta. Kadang, ia hanya perlu diberi ruang untuk sembuh — dalam keheningan yang jujur.

.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!