Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 10
“Dia memang lebih cantik darimu,” jawab Susi santai.
Hanna memukul pundaknya pelan. “Bilang aku paling cantik di dunia, sekarang juga!”
Susi mengalah. “Baik, baik. Hanna, kamu yang paling cantik di dunia.”
Irish hanya bisa tersenyum melihat keduanya bercanda.
Beberapa saat kemudian, Hanna menarik Irish menuju aula.
“Sudah siap?” tanya Hanna.
“Siap apa?” Irish bingung.
“Menerima tatapan kagum pria dan tatapan iri para wanita!”
Irish tertawa kecil. “Kalau begitu, kamu duluan saja. Biar kamu yang menyita perhatian. Aku menyelinap diam-diam.”
Mereka pun memasuki aula. Seperti yang diduga, Hanna langsung jadi pusat perhatian. Ia memang populer, dengan penampilannya yang selalu memesona, ditambah reputasinya sebagai anak pemilik perusahaan besar. Gaun putih susu dan berlian di kepalanya membuatnya tampak seperti bintang malam itu.
Namun, meski Hanna menyita perhatian, Irish yang berjalan melewati sisi aula pun tak luput dari sorotan. Gaun hitam yang dikenakannya memperlihatkan leher jenjang dan siluet tubuh yang anggun. Kilau rambut hitam yang dikuncir tinggi memantulkan cahaya lampu kristal, membuat banyak pasang mata bertanya-tanya, siapa wanita di belakang Hanna itu?
Irish, yang merasa gugup, buru-buru berbaur di tengah kerumunan. Ia menepuk dadanya pelan. ‘Untung tidak terlalu banyak yang melihatku,’ pikirnya.
Namun, suara lembut menghentikan langkahnya.
“Irish.”
Ia menoleh. Wajahnya langsung berubah kaku. “Halo, Pak Erick.”
Erick berdiri dengan kemeja putih dan pin emas di kerahnya. Irish tidak bisa tidak memperhatikan, warna bajunya sepadan dengan gaun Hanna. Sepasang yang serasi.
“Halo,” balas Erick, menatap Irish dari kepala hingga kaki. Dalam hati, ia mengakui, Irish malam ini adalah Irish tercantik yang pernah dilihatnya. Anggun, misterius, dan… terlalu mencolok.
Gaun itu bagus, sangat bagus, tapi kenapa rasanya tidak nyaman saat Irish yang memakainya?
Erick buru-buru mengalihkan pikirannya.
“Untung Hanna membantuku,” kata Irish, “kalau tidak, aku tidak akan bisa menghadiri pesta ini dan melihat ‘Starry Bloom’ tampil.”
“Aku tahu. Hanna sudah memberitahuku,” ujar Erick, memuji Hanna dalam tatapannya. “Aku senang kalian bisa berteman dengan baik.”
“Aku juga senang mengenalnya,” jawab Irish. “Dia baik. Aku hanya berharap orang yang disukainya bisa menghargainya dan membuatnya bahagia.”
Erick terdiam. Ia tahu maksud Irish. Tapi seperti yang sudah pernah ia katakan, perasaannya pada Hanna tak pernah lebih dari seorang kakak kepada adiknya.
Melihat Erick mengernyit, Irish buru-buru menambahkan, “Ah, maksudku bukan seperti di apartemen waktu itu. Aku tidak sedang menjodohkan kalian."
Setelah Irish berkata seperti itu, ia menatap Erick dengan sungguh-sungguh. "Tapi, Hanna adalah gadis yang sangat baik. Aku harap kamu tidak akan menyakitinya."
Terkadang, Irish melihat Hanna seperti melihat dirinya di masa lalu, berani mencintai dan berani membenci. Apa yang dirasakan, ia ungkapkan tanpa ragu. Irish ingin Hanna bahagia, seperti ia ingin melindungi versi lamanya sendiri.
Karena itu, Erick boleh saja tidak mencintai Hanna, tapi dia tidak boleh menyakitinya.
"Aku tidak akan menyakitinya," Erick menggeleng pelan. "Aku tahu perasaanku dengan jelas. Aku tidak akan membiarkan perasaan luar memengaruhi diriku, dan aku juga tidak akan menyakiti siapa pun."
Irish mengangguk. "Aku percaya padamu."
"Irish! Ke mana saja kamu? Aku mencarimu dari tadi!" Suara ceria Hanna memecah suasana. Ia langsung menghampiri Irish, lalu melirik sekeliling dan melihat Erick.
"Wah, Kak Erick juga di sini!" Hanna menyapa dengan antusias.
"Halo, Hanna," jawab Erick sambil tersenyum.
Tiba-tiba Irish merasa lengannya sakit. Ia menunduk dan melihat Hanna mencengkeram lengannya erat.
"Kenapa..." Irish berbisik ke telinga Hanna sambil menahan lengan yang sakit.
Erick memperhatikan interaksi mereka dengan senyum samar. "Aku tidak ada urusan lagi, kalian lanjut saja."
Setelah berkata begitu, Erick berbalik dan pergi.
"Kak Erick! Sampai jumpa!" Hanna masih berdiri di tempatnya dan melambaikan tangan dengan semangat.
Erick menoleh sebentar, tersenyum hangat, lalu berjalan pergi.
Melihat senyum itu, Hanna hampir melompat kegirangan. Ia mencubit lengan Irish sambil berseru, "Irish! Kamu lihat tidak? Kak Erick tersenyum padaku! Dia tersenyum!"
"Nona, bisa tenang sedikit? Lenganku hampir copot," protes Irish.
"Iya, iya, harus tenang." Hanna menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum lebar, menunjukkan delapan giginya yang rapi.
Irish menggeleng. "Benar-benar, orang bilang wajah wanita bisa berubah lebih cepat dari membalik buku, dan itu memang benar."
"Berarti kamu bukan wanita," Hanna menjawab cepat.
Namun kemudian, Hanna teringat senyum Erick dan langsung tertawa geli. Irish hanya bisa menatapnya pasrah.
"Baiklah, kamu bersenang-senanglah di sini. Aku mau cari makanan. Dari tadi sibuk, belum sempat makan malam!" kata Irish.
Ia pun pergi ke meja hidangan, meninggalkan Hanna yang masih terbuai dalam pikirannya.
Hanna memandangi Irish dari jauh, diam-diam merasa terharu sekaligus aneh. Saat ia pertama datang ke aula, ia langsung melihat Erick, tapi Erick justru berjalan ke arah Irish.
Saat itu, jika ia harus jujur, ia memang merasa sedih. Maka ia mendekat diam-diam, dan mendengar sendiri ucapan Irish kepada Erick.
"Hanna itu gadis baik. Jangan sakiti dia."
Saat itulah Hanna benar-benar tersentuh.
Selama ini, karena keterkaitannya dengan Erick, Hanna kadang merasa tidak senang pada Irish. Meski dari luar ia bersikap biasa saja, tapi hatinya dipenuhi prasangka. Hanna sudah begitu baik pada Irish, jadi Irish seharusnya tidak menyakitinya, apalagi merebut Erick darinya.
Namun malam ini, setelah mendengar sendiri ucapan Irish, ia sadar bahwa Irish benar-benar tulus.
Irish tidak akan melakukan hal yang menyakitinya. Hanna menepuk-nepuk kepalanya sendiri dan tersenyum. Erick mungkin akan jatuh cinta pada Irish, tapi dia harus tetap menjaga hubungan baik mereka.
Hanna menarik napas dalam-dalam dan berlari seheboh biasanya untuk menghampiri Irish.
"Irish, kamu makan banyak sekali! Tidak takut jadi tidak langsing lagi?" godanya.
"Tapi..." Irish menelan makanannya, lalu berkata, "Dim sum ini sangat enak!"
"Iya, iya, enak!" Hanna tertawa. Ia belum tahu bahwa Irish sebenarnya pecinta makanan sejati.
Namun ketika Irish ingin mengambil lagi sepotong dim sum, ia justru menarik kembali tangannya dan menghela napas.
"Apa? Kamu sedih gara-gara makanannya? Jangan bilang kamu ingin menangis karena terlalu enak?" Hanna melongo.
"Kalau aku sampai menangis karena makanan ini, bukankah aku terlalu polos?" Irish mengangkat bahu, menatap dim sum itu dengan tatapan penuh cinta. "Sayang sekali..."
"Sayang? Maksudmu apa?" Hanna bingung.
"Sayang karena aku tidak bisa makan ini lagi. Kalau bisa, aku mau bawa pulang satu kotak!" Ucap Irish kerena ingat pada kedua anaknya.
Hanna sampai kehabisan kata. Ia menatap Irish, lalu menggeleng sambil tertawa.
Namun, dalam hati Hanna masih bertanya-tanya, apa sebenarnya hubungan Irish dengan Ethan?
Karena Hanna melihat sendiri perbedaan besar antara keduanya. Ethan adalah orang terkaya di kota, bahkan anggur merah yang ia beli seharga jutaan. Tapi Irish? Hanya sepotong dim sum saja sudah membuatnya terenyuh.
Dua dunia yang begitu berbeda. Apa mungkin ada sesuatu yang belum ia tahu?
Hanna kembali menatap Irish, merasa semakin penasaran dan tidak mengerti.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Irish memelototi Hanna. Ia merasa aneh tadi Hanna masih normal, tapi sekarang menatapnya dengan tatapan misterius.
gemessaa lihatnya