Aurelia Nayla, tumbuh sebagai gadis lugu yang patuh pada satu-satunya keluarga yang ia miliki: Dario Estrallo. Pria yang dingin dan penuh perhitungan itu memintanya melakukan misi berbahaya—mendekati seorang dosen muda di universitas elit demi mencari sebuah harta rahasia.
Leonardo Venturi. Dosen baru, jenius, dingin, dan tak tersentuh. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, kecuali Dario—musuh lama keluarganya.
Yang tak diketahui Dario, kode untuk membuka brankas warisan sang raja mafia justru tersembunyi di tubuh Leo sendiri, dalam bentuk yang bahkan Leo belum ketahui.
Sementara Aurelia menjalankan misinya, Leo juga bergerak diam-diam. Ia tengah menyelidiki kematian misterius ayahnya, Alessandro Venturi, sang raja mafia besar. Dan satu-satunya jejak yang ia temukan, perlahan menuntunnya ke gadis itu.
Dalam labirin rahasia, warisan berdarah, dan kebohongan, keduanya terseret dalam permainan berbahaya.
Cinta mungkin tumbuh di antara mereka,
tapi tidak semua cinta bisa menyelamatka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak dengan bayang-bayang
Kamar bar itu masih sunyi. Hanya suara detak jam tua yang menggema, beradu dengan napas pelan Lia yang masih setengah sadar. Aroma alkohol samar masih melekat di udara, bercampur bau kulit dari sofa tua yang sudah mulai pudar warnanya. Tubuhnya rebah tak berdaya di sana, selimut tebal berwarna abu tua menyelimuti bahunya. Tak ada lagi Leo. Tak ada suara langkahnya. Tak ada hawa dingin tatapan mata itu. Hanya keheningan.
Lia membuka matanya perlahan. Kelopak matanya terasa berat, tapi pikirannya sudah cukup sadar untuk merasa tidak nyaman. Ia mendudukkan diri dengan pelan, mengerutkan dahi saat rasa pusing datang menyergap. Tangannya meraba pelipisnya, mencoba memahami kenapa tubuhnya terasa lelah, seperti habis bertarung.
Ia menatap sekeliling. Kamar itu asing, namun terasa aman. Tak ada tanda-tanda kekerasan atau luka. Pakaiannya masih lengkap, tubuhnya tidak terasa sakit. Hal itu sedikit membuatnya merasa bersukur karen tidak terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap tubuhnya. Tapi—Leo. Ia ingat Leo. Sekilas bayangan wajah pria itu muncul dalam benaknya, dingin namun penuh amarah yang ditahan.
Tanpa pikir panjang, Lia bangkit. Kakinya masih agak goyah saat menyentuh lantai kayu yang dingin. Tapi ia memaksakan diri. Ia harus pulang. Ia tak boleh terlihat terlalu lama di tempat ini. Siapa pun bisa saja datang, dan dia tidak mau menimbulkan kecurigaan baru.
Ia membuka pintu kamar bar dengan hati-hati, melongok ke luar. Sepi. Untuk ukuran jam segitu kenapa kondisi bar sudah gelap, hanya beberapa lampu temaram menyala di sudut-sudut ruangan. Sudah tidak ada seorangpun pengunjung yang dapat Lia lihat disitu, terutama tak ada suara pria yang terakhir kali duduk di sampingnya. Tak ada bayangannya. Lia menggigit bibir, rasa bersalah menyelip di antara napasnya.
"Bukannya itu lebih baik sekarang," ucapnya dalam hati.
“Maaf...” gumamnya lirih, walau tak ada siapa pun yang bisa mendengar.
Ia melangkah keluar, menyelinap seperti bayangan, lalu menghilang di balik pintu belakang bar. Jalanan malam menyambutnya dengan dingin dan sepi. Hanya suara angin dan langkah kakinya yang terdengar.
—
Sementara itu, di tempat berbeda, Leo baru saja membuka pintu apartemennya. Suara kunci yang berputar disambut keheningan yang akrab. Ia menghempaskan tubuh ke sofa, membiarkan kepala tertengadah ke belakang, menatap langit-langit.
Bayangan Lia tak lepas dari pikirannya. Wajah itu. Mata itu. Gerak-gerik yang selama ini terasa janggal, makin nyata terlihat seperti potongan teka-teki yang mulai menyatu.
“Aku benar,” gumam Leo, pelan namun mantap. “Dia menjalankan sesuatu. Entah untuk siapa.”
Bukan amarah yang menguasai dadanya. Bukan pula rasa kecewa. Yang ada hanyalah rasa penasaran yang menggerogoti. Semakin Lia mencoba menyembunyikan, semakin ia ingin membongkarnya. Dan semakin gadis itu bersikap manis, semakin ia yakin itu semua bukan tanpa maksud.
Leo bangkit. Ia berjalan ke rak buku tua yang ada di sudut ruangan. Di balik deretan buku klasik dan jurnal hukum, tersembunyi sebuah kotak besi kecil. Ia membuka kotak itu dengan kunci khusus. Di dalamnya, tumpukan kertas tua, foto, dan catatan-catatan investigasi tentang masa lalu ayahnya tersimpan rapi.
“Kalau dia dikirim untuk memata-matai aku, pasti ada yang mengendalikan,” gumamnya.
Ia duduk, membuka lembaran demi lembaran. Catatan tentang musuh-musuh lama ayahnya, siapa saja yang pernah terlibat dalam bisnis kotor yang pernah berujung pada kematian misterius.
Nama-nama itu muncul kembali—seperti hantu masa lalu yang tak pernah benar-benar mati.
"Diego Belvante, Riccardo Mancini, Raffaele Costa..." Leo membisikkan tiap nama dengan napas berat. Lalu matanya menangkap satu nama yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
“Dario Estrallo...”
Ia menatap nama itu lama. Bukan nama yang sering terdengar. Tapi di antara semua, nama Dario selalu disebut-sebut sebagai seseorang yang punya jaringan luas, tidak mudah dilacak, dan punya dendam panjang terhadap keluarganya. Ayahnya pernah menyebut Dario sebagai "bayangan licik yang tak bisa ditebak." Tapi kemudian, nama itu menghilang dari peredaran begitu saja.
Leo berdiri. Tubuhnya menegang. Dario Estrallo... Siapa pun yang sekarang menggerakkan Lia, pasti punya koneksi dengan orang-orang ini. Mungkin Dario sendiri. Tapi belum ada bukti yang mengarah langsung ke sana.
Ia berjalan ke depan cermin. Menatap pantulan dirinya sendiri, seolah menantang bayangan itu.
“Kalau kau kirim dia padaku, aku akan membalikkan permainan ini,” katanya lirih.
Tak ada senyum di wajah Leo. Tapi di matanya, ada bara yang mulai menyala.
—
Pagi menjelang. Lia tiba di asrama dengan napas terengah. Langkahnya cepat, gugup, seperti seseorang yang takut tertangkap basah. Nadin belum bangun, dan itu melegakan.
Ia masuk ke kamar, menutup pintu dengan pelan, lalu menjatuhkan tubuh di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit, pikirannya kacau. Rasa bersalah, takut, dan bingung bercampur jadi satu.
“Kenapa dia tidak marah?” bisiknya sendiri. “Kenapa malah membawaku ke tempat aman?”
Ia mengingat cara Leo menatapnya malam tadi. Tajam, namun tidak menyakitkan. Dingin, namun ada sesuatu di baliknya yang membuat hatinya bergetar.
Lia memeluk bantal, tubuhnya menggigil pelan. Rencana yang seharusnya sederhana mulai berubah arah. Leo bukan target biasa. Dan hatinya... mulai tidak memihak seperti dulu.
—
Leo masih duduk di ruang tamu apartemennya. Kopi hitam dingin di tangannya belum tersentuh. Di hadapannya, laptop terbuka, menampilkan data-data baru yang baru saja dia akses dari arsip lama yang disimpan ayahnya.
Ia memperbesar satu foto hitam-putih. Terlihat sekilas pertemuan beberapa pria, dan di antaranya, seorang pria tinggi dengan jas hitam dan rambut disisir ke belakang. Tertulis di bawahnya: Dario Estrallo, 1998, Roma.
Leo mengetik cepat, mencoba menelusuri kembali jejak pria itu. Tapi semuanya seolah berhenti di tahun 2001. Setelah itu, nama Dario hilang, seakan lenyap dari dunia.
“Orang ini... apakah dia yang mengendalikanmu, Lia?”
Pertanyaan itu terngiang-ngiang di benaknya.
Dan Leo tahu, satu-satunya cara menjawabnya, adalah terus mendekati Lia. Tapi kali ini, bukan sebagai pria yang tertarik... melainkan sebagai pemain yang siap menantang sang dalang dari bayang-bayang.
“Jika kau memang dikirim untuk menjatuhkanku,” Leo menarik napas dalam. “Aku akan menjatuhkan semuanya lebih dulu. Dan kmu Lia, aku akan terus menantikan semua peran yang kamu lakukan."
Tatapannya kembali pada foto itu. Dario Estrallo. Nama yang tak dikenal publik, tapi membekas di dunia bayangan. Dan Leo tahu, ini baru permulaan.
To be continued...