Renata tuli, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa dirinya di jauhi se-antero Amarta.
Tapi pemuda itu, Maleo, tidak berpikiran demikian. Ia justru menganggap Renata...Menarik? Tanpa alasan, seperti itulah Maleo.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuanYen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. The Idea
"Renata.."
Ruang hampa terasa jauh lebih mendebarkan, jantung terus berpacu seiring bertambahnya waktu.
"Ibu?" Gadis itu terpana, seakan dunia yang selama ini ia pijak hanyalah haluan semata, sebab dihadapannya kini ialah dunianya yang asli, yang dahulu dikatakan telah tiada.
Renata berlarian kecil guna menggapai wanita muda itu. Namun saat ia ingin mendekapnya...
Hilang.
Seakan-akan yang berada dihadapannya kini ialah jiwa tanpa raga. Sosok tak kasat mata.
"Renata," ia tersenyum. "Berbahagialah."
...•••...
...Selamat Membaca! ...
...⚠️ Terdapat kata-kata yang kurang mengenakan⚠️...
...•••...
"LO ANJING, BEDEBAH SIALAN!!!!'' Seru Hera, kalimat penuh cacian tadi ditunjukkan kepada Indira-- Sebab pengakuannya.
Indira mengakui, ia adalah salah satu orang yang membocorkan lokasi Renata sebab cemburu akan kedekatannya dengan Maleo. Tapi Indira tidak tahu, ia hanya mengetahui bahwa mereka akan memberi pelajaran, ia tidak bermaksud untuk membunuhnya.
"Maaf...Aku gak expect kalau akan seperti ini,"
"BULLSHIT!"
Hera kembali melayangkan kepalanya-- Namun tertahan oleh tangan Maleo.
Sementara Ashel hanya memasang wajah sinis nya, meskipun ia tidak pernah langsung berkomunikasi dengan Indira. Tapi berdasarkan cerita Renata, gadis itu ialah penyelamatnya. Setidaknya begitulah pemikiran naif sahabatnya.
Dilain sisi, Ashel bersyukur sebab Hera yang berada di pihaknya, sehingga ia tidak harus meraung-raung yang tentunya menghabiskan tenaga.
Kini telah seminggu Renata tak sadarkan diri. Setelah mendapat transfusi darah dari Bapak Hamzah, yang mengaku sebagai Ayah kandung Renata. Mereka tentu terkejut, kecuali Hera yang telah mengetahui lebih dahulu.
Pria itu selalu berada di sisi Renata saat ia koma. Tentu menimbulkan kecemburuan dalam hati Indira, walau ia menahan mati-matian.
"Ga usah marah-marah, ini rumah sakit, kita sekarang harusnya cari tau siapa yang udah ngelakuin semua ini ke Renata." Maleo menengahi.
"Indira punya nomor?" James memberi usul, tetapi justru membuat ketiga gadis itu mengernyit.
Maleo menahan tawa, ia menghela agar tidak kelepasan bicara. "Maksudnya, Indira kan punya nomor pelakunya, kenapa ga lacak aja?"
"Ah...Gue suka ide lo!" Puji Hera, membuat semburat merah tercetak pada kulit putih James.
"Ah...Iya," Indira mengambil ponselnya, lantas mengirim nomor itu kepada Maleo. "Tapi...Gimana lacak nya?''
"Gue bisa," Ashel mengajukan diri.
"Gue gak yakin," Hera meremehkan.
"Yaudah sih, boy, asal lo tau, gue bahkan lebih hebat dari lo!" Ashel tidak mau mengalah. Memicu perdebatan, kalau saja James tidak menengahi.
"Diam, just believe her." [Diam, percaya aja dia]
Dan Hera menggulirkan bola matanya malas. Ia tidak suka kalah beradu argumen, tapi kalau sudah seperti ini, apa boleh buat?
...•••...
Sepi. Satu kata yang dapat mendeskripsikan hati.
Rindu. Sebuah pernyataan yang ia tunjukkan pada si pemuda.
Apakah? Apakah kita akan selamanya, sementara kamu masih memilih dia?
Entahlah.
Karena kini, di bawah rembulan, Indira duduk di bangku rumah sakit. Berpikir bahwa jiwanya perlu ketenangan barang sejenak. Ia telah lelah untuk sekedar memikirkan kemungkinan di masa depan, cukup.
Ia ingin tidak peduli, sungguh, ingin sekali tidak peduli dengan ayahnya yang berbahagia tanpanya
Bagaimana mungkin tidak kepikiran?
Dahulu ia sempat di adopsi, namun berakhir meninggalkan sebab berada di sana seperti hidup di penjara. Ia diperlakukan selayaknya pembantu, dicambuk, hingga hampir kehilangan banyak darah. Untung saja Pak Hamzah mengetahui, sehingga ia masih diberi kesempatan untuk menghirup oksigen.
Setelahnya ia kabur dari rumah sakit. Lantas menyambung hidup dengan menyemir sepatu, masih ingat raut wajah sedih Maleo saat ia kebetulan berada di kuburan. Tapi beberapa hari kemudian, ia telah diberikan nama belakang baru oleh Pak Hamzah.
Indira Rinjani Nugroho.
Orang itu sangat baik, Indira awalnya mengira ia sama seperti keluarga angkat sebelumnya. Namun nyatanya berbeda. Di sana ia dihargai, di sana ia diberi hidup. Seharusnya Indira tidak gelap mata, ia tahu ini sudah cukup.
Semakin larut pemikirannya, semakin rasa bersalah menyerbunya.
Apakah ia telah mengambil kehidupan gadis itu? Lantas apa yang harus ia laksanakan untuk menembus dosanya?
Pandangan mengedar, menangkap dua orang yang sedang memotong kue ulangtahun menggunakan pisau lipat alih-alih pisau yang dipergunakan khusus untuk memotong kue.
Ah...Ide bagus!
Bagaimana kalau....
"INDIRA!" Maleo memekik, ia menyaksikan adegan didepan matanya sendiri.
Indira....
Gadis yang mempunyai semangat hidup bahkan jauh lebih besar dibanding dirinya....
Menyayat nadinya tak beraturan.
Darah mengalir, jatuh di antara rerumputan. Ia mengarahkan pisau yang ternyata cukup tajam itu ke leher, hendak menikam dirinya sendiri
Dua orang tadi syok bukan main. Anak yang berada di kursi roda itu pingsan, sementara ibunya menjerit ketakutan.
...•••...
Brak!
Suara barang berjatuhan terdengar mengerikan, sebab dibarengi lolongan anjing. Hera mendelik, ia menatap nanar dua orang berbeda jenis dihadapannya.
"So, lo berdua bisa? Gue udah nyiapin duit, berapapun yang lo mau." Ujarnya meyakinkan.
Dua orang itu saling bertatapan sejenak, burung kakak tua kembali membeo.
"Okay, siapa targetnya?" Ucap pria dengan janggut tebal hampir menutupi wajah bagian bawahnya.
Cklek!
Bunyi pelatuk.
"Lo."
DOR!
Peluru dari senjata api ditembakkan ke udara. Dua orang di sana panik, sementara Hera tersenyum penuh kemenangan. Pintu dibuka secara paksa, anggota kepolisian memaksa masuk.
"Angkat tangan!" Gertak seorang aparat.
Keduanya mengangkat tangan, pasrah.
James yang tak jauh dari sana mengernyit keheranan. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi rupanya Ashel terlebih dahulu melesatkan kata-kata.
"Siapa bos kalian?"
Keduanya sama-sama bungkam, tiada yang mau membuka mulut.
"JAWAB!'' Ashel membentak, sementara James memukul tulang betis yang berjenggot.
Pria itu meneguk saliva nya. "B-bos kami u-udah k-kabur k-ke-"
"Aziz gagap lu? Kaku banget kayak burung kedinginan!" Cerca Hera, yang ditanggapi tatapan tajam dari Ashel.
"Silent, dear." James angkat bicara, ia membekap mulut Hera yang ingin melayangkan protes.
Ashel mengernyit, "Silent, dear? Gue gatau kalian pacaran?"
Hera yang telah bebas kini berujar sewot. "Emang bukan."
"Kemana?" Ashel kembali bertanya, menghiraukan dua insan yang kedekatannya saat ini bagai langit dan bintang.
"P-peran-"
"Perancis." Orang yang disampingnya berujar lancar. Ashel menatap lekat siapa yang berada di samping pria berjanggut, dan betapa terkejutnya ia saat....
"Mickey?!''
"Hah?!'' James serta Hera tersentak kaget.
Mickey? Mickey mouse? Kenapa Ashel mengenali orang itu?
...•••...
Suara monitor menunjukkan gelombang garis yang naik turun teratur. Pria paruh baya itu menggenggam tangan yang sedari tadi diam nihil aksi.
"Renata...." ia berucap lirih. Air mata tidak bisa lagi ia keluarkan, saking banyaknya kesempatan di mana ia mengeluarkan air mata.
"Bapak Hamzah."
Maleo, pemuda itu datang dengan napas yang terengah-engah.
Merasa sesuatu tidak beres, Pak Hamzah beranjak dari duduknya lalu menghampiri anak itu.
"Ada apa? Kamu kenapa seperti ini?" Selidiknya.
"Indira...."
"Ada apa dengan Indira?!'' Tanyanya penuh kekhawatiran.
"Dia...Dia gagal dalam percobaan bunuh diri, Pak."
Entah Hamzah harus bersyukur atau menangis, yang jelas kini hanya satu yang ia mau....
Anak-anaknya sehat.
Keduanya meninggalkan ruangan berbau obat tersebut tanpa menyadari bahwa jari-jari itu mulai bergerak.
...•••...
Aku ingin bingar...
Aku mau di pasar...
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh...
Kulari ke hutan kemudian teriakku....
Bosan...aku dengan penat...
dan enyah saja kau pekat!
Seperti berjelaga jika ku sendiri...