Bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tidak kita kenal?
Baik Arsya maupun Afifah terpaksa harus menerima takdir yang telah di tetapkan.
Pada suatu hari, ayah Afifah di tabrak oleh seorang kakek bernama Atmajaya hingga meninggal.
Kakek tua itupun berjanji akan menjaga putri dari pria yang sudah di tabraknya dengan cara menikahkannya dengan sang cucu.
Hingga pada moment di mana Afi merasa nyawanya terancam, ia pun melakukan penyamaran dengan tujuan untuk berlindung di bawah kekuasaan Arsya (Sang suami) dari kejaran ibu mertua.
Dengan menjadi ART di rumah suaminya sendirilah dia akan aman.
Akankah Arsya mengetahui bahwa yang menjadi asisten rumah tangga serta mengurus semua kebutuhannya adalah Afi, istrinya sendiri yang mengaku bernama Rere?
"Aku berteriak memanggil nama istriku tapi kenapa kamu yang menyahut, Rere?" Salah satu alis Arsya terangkat.
"Karena aku_" Wanita itu hanya mampu berucap dalam hati. "Karena aku memang istri sahmu, pak Arsya"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 19
Ku cari benda itu ke seluruh penjuru kamar, barang kali mungkin aku yang lupa. Namun zonk, aku terkulai lemas ketika tak ku temukan buku nikah dan juga laptopku di manapun.
Iya kalau yang mengambilnya itu pak Arsya, pastinya akan ada sedikit toleransi, tapi jika bu Prilly, bagaimana? Dan seandainya ini perbuatan pak Arsya, itu artinya dia sudah tahu kalau aku adalah Afi.
Ku usap wajahku dengan gusar, sekuat tenaga berusaha menenangkan diri dari kemelutnya kehidupan. Rasa lelah bercampur panik seakan terus merongrong jiwaku.
"Arhh..." Aku berdesis dengan rasa frustasi yang kian menjadi, tak tahu apa yang harus ku lakukan setelah ini. "Huuhh... Bagaimana jika dia membuka laptop? Di sana ada banyak foto-fotoku yang hanya mengenakan baju tipis, lingerie yang memperlihatkan belahan dada, juga foto-foto tak senonoh lainnya?"
"Meski laptop juga menggunakan kata sandi, tetap saja pak Arsya pasti bisa membukanya, buktinya saja koperku bisa dengan mudah ia buka"
Di sela-sela lamunanku, tiba-tiba suara ponsel membuatku kaget, sebuah bunyi yang menandakan ada pesan masuk.
Dengan cepat ku ambil ponsel di dalam tas yang layarnya menyala terang.
Pak Arsya : "Sudah pulang, kan? Segera mandi setelah itu buatkan aku teh"
Mengembuskan napas pelan, ku yakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja, ayah dan ibu pasti sudah memberiku keberanian itu.
Bergerak bangkit, ku ayunkan kaki menuju lemari, setelahnya barulah aku memasuki kamar mandi. Ku lepas bajuku lalu bergegas membersihkan diri.
Lima belas menit kemudian, sesi mandiku berakhir, aku keluar setelah berpakaian lengkap.
Sembari mengumpulkan keberanian sedikit demi sedikit, aku menyisir rambutku lalu menyambar cardigan dan mengenakannya, sekali lagi ku tatap bayangan diriku melalui pantulan kaca.
"Bissmillah"
****
Aku berdiri selama beberapa saat di depan pintu kamar milik pak Arsya. Kedua tanganku membawa nampan berisi secangkir teh kesukaannya dan segelas air putih.
Semenit kemudian, aku mengetuk pintu sebelum membukanya. Sorot lampu kamar sedikit redup, tirai kamar yang masih terbuka menunjukkan pemandangan halaman samping rumah yang di terangi lampu taman.
Tak ada pria itu di dalam kamar.
Reflek ku tolehkan wajah ke arah kamar mandi, pintunya terbuka dan lampu dalam keadaan padam, itu artinya pak Arsya tidak ada di sana.
Aku melangkah masuk, saat meletakkan nampan di atas meja nakas, tak sengaja ekor mataku melihat bayangan seseorang berdiri di balkon, otomatis kepalaku langsung mengarah ke kiri.
Benar, di sana pak Arsya sedang berdiri tegak menghadap ke taman samping rumah, sementara kedua tangannya terlipat di dada.
Dan jantungku... Ini benar-benar tidak baik untuk kesehatanku.
Menarik napas, aku memberanikan diri untuk menghampirinya.
Selangkah, dua langkah, ketika langkahku kian dekat, pria itu tiba-tiba bersuara.
"Sudah pulang?" Tanyanya masih dengan posisi memunggungiku. Nadanya terdengar sangat datar di telingaku.
"Sudah, pak" Ku remas tanganku supaya rasa takut sedikit berkurang. Namun saat sepasang mataku tak sengaja menjumpai sesuatu tergeletak di atas meja yang ada di balkon, ketakutanku justru kian naik.
Ku pejamkan mataku sambil mengigit bibir bagian bawah.
Mati aku!!
Membuka mata, tahu-tahu pak Arsya sudah berbalik dengan tatapan lurus ke arahku. Kedua tangannya kini ia masukkan ke dalam saku celana.
"Kenapa?" Tanyanya tanpa ekspresi. Sedetik kemudian ia melirik ke arah meja, spontan atensiku pun turut melirik ke mana pandangan pria di depanku jatuh.
"Apa itu milikmu?"
Cukup lama, aku akhirnya mengangguk.
"Jadi benar kamu Ufaira Berlin Afifah? Nama yang ku sebut saat ijab?"
Aku kembali menganggukkan kepala untuk meresponnya.
"Kenapa kamu melakukan itu?" Sikapnya begitu tenang, berbanding terbalik denganku yang justru semakin takut.
"A-aku_" Ku telan ludahku yang mendadak tercekat. "Aku minta maaf, pak!" imbuhku lemah
"Bukan itu yang ingin ku dengar"
"Aku punya alasan kenapa melakukan ini" Kataku tenang.
"Apa alasannya?"
"Takut"
Mendengar jawabanku, pria itu malah tersenyum miring.
"Apa yang membuatmu takut?" Tanyanya dengan nada sedikit galak.
"Seseorang ingin melenyapkanku"
"Melenyapkanmu? Ckckck, ketakutan macam apa itu? Apa itu juga alasanmu?"
"Ya" Jawabku.
Pria itu lagi-lagi tersenyum miring, dan kali ini terkesan meremehkan.
"Aku tidak bohong"
Usai aku mengatakan itu, pak Arsya menatapku dalam-dalam. Dengan berani ku balas tatapannya yang begitu menghujam itu.
"Siapa?"
"Bu Prilly"
mau mendengarkan Alasan Afi pergi ke Kanada
sedikit aku
yaa rabbi..pasti serba salah kaan ifa nya...arsya yakin kepergian ifa di dalangi oleh sang mama...dan mama prilly bersiap lah untuk kehilangan arsya 😃😃
di tunggu karma prily
afi pergi pasti lg dalam keadaan hamil
duuuh kasihan banget seh fi hidup kamu
awas Arsya jangan sampe kamu mau di nikah kan sama si ulet bulu Silvia,,dia pembawa virus
enak kan sil senjata makan tuan
itu mama nya Silvia bener2 bikin gedek