🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Minta Izin Poligami
Gus Sahil menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah gusar. Saat menuju ke kamar Umi Zahra, matanya melihat ke arah Roha yang baru saja keluar dari kamar itu. Tanpa meminta persetujuan Roha, Gus Sahil dengan cepat meraih pergelangan tangannya.
"Apa-apaan ini Gus?!" Roha memberontak. Tapi cengkeraman tangan Gus Sahil terlalu kuat.
"Ikut aku sebentar!" Gus Sahil berkata sembari terus menariknya.
"Lepas Gus! Saya takut kalau ada yang lihat jadi fitnah!"
"Sebentar saja Roha," Gus Sahil akhirnya melepaskan tangan gadis itu. "Lima menit. Aku cuma perlu bicara lima menit,"
Melihat pandangan Gus Sahil yang terlihat serius, Roha akhirnya menurut. Mengikuti Gus Sahil yang melangkah pergi ke area belakang rumah sakit.
"Aku ingin kamu menolak lamaran Kang Alwi," Tanpa tedeng aling-aling, Gus Sahil langsung mengungkapkan keinginannya.
"Gus!" Roha memprotes. Matanya seketika terbelalak "Njenengan itu apa-apaan sih?!"
"Dengar dulu," Gus Sahil tampak melihat ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka berdua. "Aku sudah memikirkannya matang-matang Roha. Aku bermaksud menjadikan kamu sebagai istri kedua,"
"Astaghfirullah!" Roha makin terkejut mendengar penuturan Gus Sahil. "Saya menolak Gus!"
"Kenapa?" Gus Sahil menggelengkan kepalanya tidak mengerti. "Apa kamu sudah tidak mencintai aku lagi?"
Roha menatap Gus Sahil dengan tatapan tajam. "Saya nggak mau jadi penghancur rumah tangga orang lain, apa lagi rumah tangga Gus saya sendiri!"
"Memang siapa yang bilang kamu menghancurkan rumah tangga kami? Aku dan Hafsa nggak akan bercerai. Dan kamu, tetap bisa berada di sisi Umi dan aku, sebagai istri keduaku Ha,"
"Saya nggak mau Gus," suara Roha terdengar bergetar. "Saya nggak mau,"
"Ha, coba pikirkan baik-baik. Memang kamu mau, berpisah dari Umi yang kamu sayangi? Tega kamu meninggalkan aku bersama laki-laki lain? Aku nggak mau tahu Ha. Tolong putuskan hubunganmu dengan Kang Alwi. Nanti setelah Umi keluar dari rumah sakit, aku akan minta izin ke Hafsa untuk poligami,"
"Jangan Gus, saya mohon! Saya nggak mau!"
"Roha, apa kenangan kita selama tiga tahun ini nggak ada artinya buat kamu? Apa cuma aku yang merasa rindu sama masa-masa itu?"
Roha terdiam. Dia tidak munafik kalau dirinya masih merindukan Gus Sahil, orang yang sudah mengisi hatinya selama bertahun-tahun. Tapi ia tetap menggelengkan kepalanya dengan tegas.
"Tidak bisa Gus, njenengan sudah beristri,"
"Dalam ketentuan islam, seorang laki-laki itu boleh beristri lebih dari satu Roha. Kamu paham ilmu agama, kamu pasti sudah mengerti. Sudahlah, aku nggak bisa lama-lama. Seperti kamu bilang, aku takut kena fitnah. Aku harap kamu segera mengakhiri hubungan mu dengan Kang Alwi, dan menerima tawaranku. Soal Hafsa, biar aku yang urus,"
Gus Sahil kemudian meninggalkan Roha begitu saja. Roha yang ditinggalkan sendirian merasa sangat frustasi. Kedua kakinya terasa lemas, membuatnya langsung jatuh terduduk. Duh Gusti, apa yang harus ia lakukan sekarang?
...----------------...
Hafsa keluar dari ruang pemeriksaan dengan wajah cemas. Seperti yang direkomendasikan Dr. Anita, Hafsa akhirnya mengikuti tes ultrasonografi di rumah sakit itu. Tentu saja ia melakukan semuanya secara diam-diam, takut kalau orang disekitarnya tahu jadi khawatir.
Setelah selesai mengikuti semua prosedur, Hafsa kemudian dijelaskan kalau hasil pemeriksaan akan keluar dalam waktu seminggu. Hafsa menganggukkan kepala pada dokter yang mendampinginya, mengucapkan terimakasih.
Saat hendak pergi ke ruangan Umi Zahra, Hafsa melihat Gus Sahil yang masuk dari pintu belakang rumah sakit. Tentu saja Hafsa jadi bertanya-tanya, darimana suaminya itu pergi?
"Sa," Gus Sahil mendekati Hafsa yang hendak masuk ke dalam ruangan Umi Zahra. "Besok kalau Umi sudah pulang, ada yang pengen tak bicarakan,"
Hafsa mengerutkan keningnya heran, "Bicara sekarang saja Mas Gus,"
Gus Sahil menggeleng. "Waktunya nggak tepat. Aku butuh tempat yang tenang untuk kita berdua,"
Meski masih merasa penasaran, Hafsa menganggukkan kepala. Ia tidak ingin membebani kepalanya dengan rasa penasaran yang berlebihan. Ia juga masih kepikiran bagaimana hasil pemeriksaannya nanti setelah seminggu kemudian.
Esoknya, dokter yang memeriksa Umi Zahra memberi kabar baik. Kondisi tubuh Umi Zahra sudah kembali sehat, sehingga sudah bisa dibawa pulang ke rumah. Tentu saja kabar itu membuat semua orang senang, tak henti-hentinya mengucap syukur.
Sebagai bentuk rasa syukur atas kesembuhan Umi Zahra, Abah Baharuddin mengundang beberapa kyai untuk mengadakan acara sholawat di ponpes Darul Quran. Dalam satu hari, ponpes Darul Quran menjadi semakin ramai karena kedatangan para jamaah yang ingin ikut bersholawat.
Hafsa tentu turut menyibukkan diri membantu para santri mempersiapkan hidangan untuk para tamu. Sementara Gus Sahil sibuk mengatur jalannya acara, memastikan tidak ada kekurangan suatu apapun. Abah Baharuddin dan Umi Zahra sejak subuh sudah standby di ruang tamu, menyambut kedatangan para Kyai dan jamaah yang datang.
Hari itu semuanya sangat sibuk, sampai tidak ada waktu untuk memikirkan masalah mereka masing-masing.
...----------------...
"Terimakasih ya karena kalian sudah repot-repot menyambut kedatangan Umi," Umi Zahra berkata dengan tulus saat mereka tengah berkumpul di ruang keluarga, setelah acara berakhir dengan lancar.
"Sama-sama Umi, kami harap Umi selalu sehat, dan nggak perlu bolak-balik rumah sakit lagi," Gus Sahil menjawab sembari memijit-mijit kaki uminya.
"Umi sekarang sudah sehat lagi. Rasanya Umi masih bisa hidup sampai seratus tahun," Umi Zahra berseloroh.
"Aamiin.." Serentak semua orang di ruangan itu mengamini perkataan Umi Zahra.
Setelah waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, Abah Baharuddin dan Umi Zahra masuk ke dalam kamar. Mereka harus istirahat karena sudah melalui satu hari yang melelahkan.
Tentu Hafsa juga bersiap-siap untuk segera masuk kamar, sebenarnya dia sudah mengantuk berat sejak tadi.
"Kamu masih ingat kan kalau ada yang mau aku bicarakan sama kamu Sa?" tanya Gus Sahil saat melihat Hafsa beranjak dari duduknya.
Hafsa yang sudah berdiri kembali duduk. "Silahkan bicara Mas Gus,"
Gus Sahil menolehkan kepala ke sekelilingnya. Ia baru menyadari kalau kamar Abah dan Umi terlalu dekat dari ruang tengah.
"Kita masuk kamar dulu ya, supaya tidak terdengar Umi ataupun Abah,"
Hafsa mengangguk. Baiklah, apalagi yang akan dibicarakan suaminya sekarang? Sepertinya cukup penting sampai Abah dan Umi pun tidak boleh mendengar.
"Sebenarnya, aku mau minta izin sama kamu Sa," Ucap Gus Sahil setelah mereka berdua duduk di atas ranjang.
Kedua alis Hafsa bertaut. Sejak kapan suaminya itu harus meminta izin kepadanya kalau mau berbuat sesuatu?
"Mau minta izin apa ya Mas Gus?"
"Itu.." Gus Sahil berkata ragu-ragu. Entahlah, dia sudah berlatih sepanjang hari bagaimana membicarakan hal ini dengan Hafsa. Tapi tetap saja, menatap langsung mata Hafsa yang penasaran membuat lidahnya serasa kelu.
"Aku.."
Hafsa mendengarkan dengan serius.
"Sebenarnya, aku.."
"Mas Gus," Suara Hafsa terdengar lelah. "Njenengan cepat bilang saja, saya sudah capek mau istirahat,"
"Oke, oke, sebentar," Gus Sahil mengatur napas, berusaha memberanikan diri. Ia kemudian memusatkan pandangannya pada Hafsa dan bicara dengan hati-hati.
"Aku..mau minta izin untuk poligami Sa,"
Mata Hafsa seketika terbelalak lebar. "APA?!"