Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 - Terlalu Jauh
"Semoga dia tidak pembangkang hari ini." Bima was-was meninggalkan Lengkara, entah kenapa firasatnya sedikit buruk pagi ini. Berharap saja kecurigaannya salah.
Pria itu terbiasa sendiri, Bima tidak begitu nyaman dengan kehadiran orang baru. Namun, untuk saat ini tidak mungkin dia membawa serta pak Chan, jelas pria paruh baya itu yang menjadi sasaran amarah sang papa.
Tiba di kantor Zean, kehadirannya jelas sedikit membuat beberapa orang yang tidak mengerti situasi sedikit bingung. Beberapa orang menyapanya, tapi Bima yang tidak sadar berlalu begitu saja hingga citra seorang Yudha yang begitu ramah hilang seketika.
Tidak sedikit yang menganggap perubahan sikapnya akibat kecelakaan. Ya, pada akhirnya para bawahan yang tidak ikut serta dilibatkan jelas saja bingung seperti Lengkara pertama kali bertatap muka dengannya.
Tidak hanya karyawan, Zean juga ikut mengerjap pelan melihat sikap adik iparnya. Asisten baru Zean hanya menghela napas panjang kala di hadapkan dengan dua pria tampan ini, dia tampan juga sebenarnya.
"Sudah kukatakan sejak lama ... lagi pula apa kau tidak lelah persis setrika setiap harinya?" tanya Zean menggeleng pelan, entah siapa yang bodoh di antara mereka, yang jelas Zean lelah mendengar rute perjalanan Bima.
"Terpaksa, atau kau izinkan adikmu kuajak tinggal di Semarang?" Bima balik bertanya dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
"Lakukan saja sesukamu, ajak serumah bersama Yudha jika perlu," balas Zean yang membuat Bima mendelik tajam. Berbeda kota saja dia ketar-ketir, bagaimana bisa diajak serumah.
"Solusimu tepat sekali, Kak."
Zean tidak lagi menjawab, pria itu berlalu lebih dahulu dan bergegas masuk ke ruangannya. Sementara Bahari jelas harus mengantarkan Bima ke ruangan yang telah disediakan Zean andai dia benar-benar datang ke kantornya.
"Ada yang Anda butuhkan?"
"Tidak ada, cukup ini saja terima kasih," jawab Bima kemudian duduk di kursi yang telah disiapkan, sematang ini Zean menyambut dirinya.
Bima menjadi perannya sebagai seorang putra yang tengah memenuhi harapan orang tuanya. Seserius itu dia menatap monitor dan mendengar masukan dan suara dari para petinggi perusahaan.
Selesai rapat berlangsung, Bima dikejutkan dengan kehadiran papanya yang tiba-tiba mengenalkan Raja di hadapan banyak orang. Dia iri, ingin sekali berada di posisi itu. Atmadjaya mengenalkan Raja yang baru berusia 23 tahun sebagai putra kesayangannya.
Tidak tahan mendengar lebih jauh, Bima mengakhiri pertemuan itu dan kini bersandar seraya memejamkan mata di kursi empuk itu. Setidakadil itu papanya, dua putra dari istri yang menemani prosesnya merintis seolah tidak dianggap sama sekali.
Bahkan, Yudha dan ibunya saat ini berada di kota yang sama dengan mereka sama sekali tidak Atmadjaya pedulikan. Dia memang mengetahui bahwa Bima dan Yudha telah dipertemukan, tapi di hari Bima mengajak papanya untuk bertemu Yudha, secara tegas dia menolak dan menganggap mereka tidak penting.
Usai dengan tugasnya, Bima menghubungi Yudha yang dia tebak saat ini mungkin tengah berada di ruang tengah, tempat favorit selain kamar bagi Yudha. Mereka terpisah begitu lama, karena hal itu Bima ingin memanfaatkan waktu sekalipun hanya mendengar suaranya.
"Kau lelah sekali sepertinya ... apa semalam tidak tidur?"
"Tidur, aku bahkan tidur lebih awal, mungkin karena kemarin kejar tayang, badanku sakit semua rasanya," jawab Bima yang memang sama sekali tidak menyadari jika rasa kantuknya yang luar biasa itu akibat obat dari Lengkara.
"Maafkan aku, Bima ... demi aku, kau menderita begitu banyak."
"Tidak masalah, aku ikhlas menjalaninya. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu, Yudha."
Pembicaraan mereka bersifat pribadi, hanya berdua saja bahkan Bima memastikan tidak ada orang lain di sisinya. Tanpa mereka sadari bahwa di tempat lain ada orang ketiga yang tengah duduk manis dan memilih tempat sepi demi mendengar kata demi kata antara Bima dan Yudha.
Hatinya remuk, Lengkara mengurut dada untuk kesekian kalinya. Berharap salah dengar, tapi fakta dia dihadapkan dengan percakapan semacam ini. Lengkara terpejam, dalam diam dia berusaha menyimpulkan, Bima melakukan hal sesulit itu demi Yudha.
"Terima kasih, Bima, aku tidak salah memilihmu untuk menjaganya."
Sejak tadi dia tahan, air matanya luruh juga begitu mendengar kalimat terakhir Yudha. Menjaga katanya, kenapa harus orang ketiga dan berbalut kebohongan sedemikian rupa.
"Lalu kamu kemana, Mas? Apa aku semenyebalkan itu sampai harus diberikan pada orang lain?"
Lengkara bergumam, hingga panggilan itu berakhir dia masih terbayang semua percakapan dua pria yang terlibat dalam hidupnya. Dia masih menatap tidak percaya, Lengkara memandangi layar gawainya.
Kembali dia pandangi, wajah Bima dan Yudha yang tampak tersenyum di sana. Begitu banyak hal yang dia lakukan dengan bermodalkan mencuri telepon genggam milik suaminya beberapa saat tadi malam, mana mungkin Lengkara hanya sekadar memeriksa, sudah jelas lebih dari itu.
Dia yang awalnya begitu menghargai privasi orang lain, kini nekat melakukan hal gila seolah tengah terobsesi pada Bima. Tidak hanya mengirim semua yang dia dapatkan, tapi juga menyadap telepon seluler milik Bima sebagai jalan tengah.
"Kak Lengkara!!"
Lengkara terperanjat kaget dan segera menyembunyikan benda pipih itu ke tasnya. Setakut itu dirinya, padahal yang kini menghampiri Lengkara adalah dua remaja yang diduga penggemarnya, bukan Bima.
Lengkara lupa jika dirinya cukup berpengaruh, dan hari ini memilih menenangkan diri di sebuah coffe shop lantaran jiwanya seakan meledak di rumah itu. Kendati demikian Lengkara tidak memperlihatkan kekacauannya jika sedang di luar, wajah cantik wanita itu terlihat sama sekali tidak keberatan menuruti penggemarnya.
"Kak, aku posting boleh ya?" tanya salah-satu penggemarnya, Lengkara berpikir tidak akan menjadi petaka iya-iya saja, tanpa dia ketahui jika hal semacam itu cukup fatal.
.
.
- To Be Continued -
bikin pedih mata...
ada luka yg tak terlihat tp bs dirasa.
kl diposisi lengkara apa jadinya