Kisah perjalanan hidup Ratna, seorang istri yang dikhianati oleh adik kandung dan suaminya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRATA_YUDHA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria bermulut cabe
"Sa-saya enggak mau merepotkan, maaf... mungkin bapak memang bukan orang jahat dan juga tidak akan berbuat jahat pada saya, tapi saya tidak mau melibatkan orang lain dalam masalah pribadi saya" aku menolak tawarannya secara halus, bukan tanpa alasan, tapi aku sama sekali tak mengenal lelaki di hadapanku ini. Entahlah, bayang-bayang mas Ilyas yang juga dulu datang dengan menawarkan bantuan, sampai pada akhirnya aku menerima untuk menikah dengannya, tapi nyatanya dia menyakitiku tanpa ampun. Aku tak mau punya hutang budi lagi pada orang lain, aku sangat trauma.
Sementara lelaki itu terus saja menatapku tanpa ekspresi.
"Berapa harga rumah kamu?" tanya lelaki itu. Aku melotot mendengar ucapannya, bagaimana dia bisa tahu soal itu. Dan siapa juga yang mau menjualnya? Sampai mati pun aku tetap akan mempertahankan rumah itu, rumah satu-satunya peninggalan emak dan bapak, rumah yang penuh kenangan. Tapi masalahnya saat ini sertifikat ada di tangan Puja, adik sial*n itu.
"Rumah saya tidak akan saya jual" ucapku tegas.
"Adikmu kan yang akan menjualnya? jadi berapa yang diminta adikmu itu?" tanyanya lagi. Lagi-lagi pertanyaannya membuatku bingung dengan perkataannya yang seperti tahu tentang seluk beluk permasalahan yang sedang ku hadapi.
"Beberapa hari lalu saya menerima tamu, laki-laki dan seorang perempuan. Katanya mau menjual rumah di kampung ** ***** (nama kampungnya Ratna), saya coba survei ke lokasi, karena memang saya tertarik. Tapi ternyata rumah itu masih ditinggali, dan kamu masih jualan." katanya menjelaskan.
Aku semakin merasa geram pada mas Ilyas dan Puja. Tanpa sepengetahuan dan persetujuanku, mereka dengan lancang menawarkan rumah itu pada orang lain.
"Terus bapak cocok sama rumahnya?" tanyaku penasaran.
"Kalau rumahnya enggak cocok, buat apa? tapi kalau tanah dan lokasinya sangat cocok" ucapnya terang-terangan.
"Itu tanah peninggalan orang tua saya pak, sa-saya enggak mau ngejual rumah itu, banyak sekali kenangan didalamnya. Tapi adik saya malah terus-terusan memaksa untuk menjual rumah itu." ucapku sambil menunduk. Entah kenapa aku malah menceritakan permasalahanku yang sebenarnya, berharap lelaki ini mengurungkan niatnya untuk membeli rumah orang tuaku.
"Saya tetap akan membelinya, lagipula jika bukan kepada saya, saya yakin mereka akan tetap menawarkannya pada orang lain. Dan bisa jadi, ditawarkan dengan harga murah, karena yang saya lihat mereka seperti sedang butuh uang mendesak"
Aku terperangah mendengar perkataanya barusan. Mas Ilyas dan Puja butuh uang? tapi buat apa? tiba-tiba aku teringat tempo hari mas Ilyas memintaku menandatangani surat perceraian, apakah itu artinya mas Ilyas butuh uang untuk acara pernikahannya dengan Puja? tapi kan mas Ilyas orang kaya, kenapa harus mengusik kehidupanku untuk mendapatkan uang?
Ketika aku masih asyik dengan lamunanku, lelaki itu kembali bicara.
"Bagaimana kalau saya tetap membeli tanah itu, kamu tetap bisa tinggal disana, dengan cara menyewa atau membayar bulanan" tawarnya. Aku menatapnya tajam, mencari sesuatu dimatanya.
"Apa tujuan bapak sebenarnya? apa bapak kerjasama dengan mas Ilyas dan juga Puja supaya saya setuju menjual rumah itu?" tanyaku curiga. Memang sudah seharusnya aku curiga, aku kapok dibodohi! aku tak mau jatuh kedalam lubang yang sama. Bukannya menjawab, dia malah terkekeh kecil mendengar pertanyaanku.
"Kamu kira tujuan saya apa memangnya?" dia malah balik bertanya.
"Ya saya enggak tahu! tapi saya harus tahu." ucapku tegas.
"Bapak tadi bilang cocok sama tanahnya, nah pasti bapak mau bangun sesuatu atau bikin sesuatu ditanah orang tua saya, itu pasti tujuan bapak kan?" tebakku.
"Memang apa yang bisa saya buat atau saya bangun ditanah sempit begitu?" dia kembali membalikan ucapanku.
"Saya enggak tahu, mangkanya saya tanya!" ucapku sewot.
"Dasar bod*h!" ucapnya. Ucapannya itu justru malah membuatku semakin sesak menahan sakit hati.
"Memang saya bodoh! bego! saking bodoh dan begonya saya sampai suami selingkuh dengan adik kandung sendiri aja gak tahu! adik saya mencuri sertifikat aja saya enggak tahu! dan disaat rumah peninggalan orang tua saya mau di jual, saya gak bisa berbuat apa-apa. Itu karena saking bodoh dan bego nya saya! saya memang sekolah SD aja enggak lulus, tapi saya bersyukur enggak pernah punya niat jahat sama orang! dari pada kalian-kalian yang ngaku pintar dan berpendidikan, tapi membodohi dan menipu orang bodoh seperti saya!" ucapku berapi-api, aku menangis mengeluarkan semua beban yang selama ini dipendam didalam hati. Rasanya lelah sekali, capek dengan kehidupan yang seperti tidak berpihak. Capek dengan ujian yang seakan-akan tak mau berhenti.
"Terimakasih sudah menolong saya dan anak saya, dan jika nanti bapak ketemu sama kedua orang itu, bilangin saya udah capek, tolong jangan ganggu hidup saya lagi. Saya udah enggak punya apa-apa lagi" ucapku sambil terbata-bata karena menangis. Setelah itu beranjak turun dari pembaringan untuk keluar dari ruangan ini.
"Mau kemana?" tanyanya sambil menahan lenganku.
"Lepasin!" aku menepis kasar tangannya yang menyentuh lenganku.
"Jadi orang jangan baperan, saya cuma bercanda." ucapnya sambil terus menahanku agar tidak turun dari kasur.
"Terserah saya, bapak enggak usah ikut campur urusan saya! saya mau pergi dari sini." ucapku.
"Mau kemana?! kaki kamu masih sakit! enggak usah ngeyel! memangnya kamu tidak kasihan sama anak kamu? baru diejek gitu aja baper, gimana mau menjaga anak kamu kalau mental kamu lemah. Anak kamu butuh ibu yang kuat. Dasar baperan!" dia terus mengataiku.
Aku terus memberontak, karena ingin secepatnya pergi dari sini, tapi lama kelamaan badanku semakin melemah, aku capek dan akhirnya menangis tergugu meratapi nasibku yang kian hari kian memburuk, begitu juga dengan Ikhsan yang ikut menangis melihatku.
Tanpa bisa mengelak, lelaki itu memelukku dan juga Ikhsan secara bersamaan, dia mengelus-elus punggungku untuk menenangkanku. Aku mencium bau tubuhnya yang sangat harum. Aku suka sekali wanginya, bau maskulin khas lelaki, tapi beda dengan bau mas Ilyas, baunya benar-benar segar dan membuat nyaman siapapun yang didekatnya. berbeda dengan tubuhku yang kotor dan juga bau, apakah dia tidak kebauan? masih sempat-sempatnya aku berfikiran kesana saat itu.
Entahlah, yang jelas saat itu aku tidak menolak dipeluk oleh lelaki itu, aku merasa nyaman saat ada orang yang memelukku dalam keadaanku yang sedang rapuh seperti saat ini. Aku tahu ini semua salah, aku masih istri orang. Tapi aku benar-benar butuh sandaran. Seandainya emak dan bapak masih hidup, mungkin aku tak akan sesedih ini menanggung beban dan rasa sakit yang begitu besar.
Saat kewarasanku mulai kembali, aku mendorong paksa tubuh lelaki itu agar menjauh. Bukan karena marah, tapi malu, malu sekali rasanya.
"Kamu sekarang istirahat dulu aja, nanti biar saya minta tolong anak buah saya mencarikan baju ganti untuk kamu" ucapnya.
"Baju ganti?" tanyaku polos.
"Iya, baju ganti. Emang kamu enggak mau mandi gitu? enggak merasa bau? saya aja kebauan. Asli kamu bau banget" ucapnya sambil menutup hidungnya seoalah-olah jijik. Aku jadi merasa malu, padahal tadinya aku berfikir, pria itu tak masalah dengan bau badanku. Tapi kenapa tadi dia memelukku?
Wajahku sudah semerah udang rebus karena menahan amarah saat melihatnya tersenyum mengejek. Dia memang lelaki paling menyebalkan yang pernah aku temui.
"Dasar baperan!" ucapnya sambil mengacak pelan rambutku.
"Dasar mulut cabe!" aku merutuk pelan saat lelaki itu berjalan keluar dari ruanganku.
sok berhati malaikat.