Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Setelah kalimat itu terucap, Leo melangkah pergi. Sepatunya menapak pelan di atas jalan setapak yang masih basah dan licin sisa hujan semalam. Hingga langkahnya terhenti tepat di depan sebuah rumah kayu sederhana yang berdiri sunyi di ujung hamparan kebun teh. Di sanalah Anna dan putrinya tinggal.
Leo mematung. Tatapannya kosong, namun dadanya terasa sesak seolah diremas kuat. Melihat rumah yang jauh dari kata layak itu, ada rasa perih yang menjalar di hatinya.
Di dalam rumah, suasana pagi terasa sibuk. Anna sedang mengaitkan keranjang anyam di punggungnya. Wajahnya pucat pasi, dan setiap embusan napasnya terasa panas menyengat, sisa demam yang belum kunjung turun.
"Ibu hari ini nggak jualan?" tanya Lili yang baru saja muncul dari kamar. Seragam sekolahnya sudah rapi, kontras dengan wajah mungilnya yang polos.
Anna tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan lemasnya. "Hari ini nggak ada pesanan, Sayang. Jadi Ibu mau petik daun teh saja. Lili sudah siap?"
Lili mengangguk semangat. Namun, tepat saat Anna membuka pintu kayu rumah mereka, langkahnya mendadak terkunci. Tubuhnya membeku melihat sosok pria yang berdiri diam di halaman.
"Ibu... Om itu ngapain di sini?" bisik Lili bingung.
"Ibu juga nggak tahu," sahut Anna lirih. Suaranya hampir hilang terbawa angin. Ia refleks menggenggam erat tangan Lili, lalu berjalan cepat melewati Leo tanpa menoleh sedikit pun.
"Raya..." Panggil Leo suaranya terdengar sangat pelan, hampir seperti rintihan.
Langkah Anna terhenti. Ia menggertakkan gigi, mencoba membendung amarah yang mendidih di dadanya. Dengan gerakan pelan namun tegas, ia memutar tubuh dan menghujamkan tatapan tajam pada pria di hadapannya.
“Maaf, Tuan,” ucap Anna suaranya terdengar datar dan dingin. “Saya tidak mengerti kenapa Anda terus memanggil saya dengan nama itu.”
Ia menghela napas pendek sebelum melanjutkan, “Nama saya Anna, bukan Raya. Saya tidak tahu kesalahan apa yang pernah Anda lakukan pada orang bernama Raya itu. Tapi kalau Anda merasa bersalah, bukankah seharusnya Anda pergi ke kuburannya dan memohon ampun di sana?”
Setelah melepaskan kalimat ketus itu, Anna kembali melangkah, menarik Lili menuju sekolah sebelum ia harus membanting tulang di kebun teh.
Leo hanya bisa terpaku. Ia menatap punggung Anna yang perlahan menghilang di balik kabut kebun teh dengan rasa bersalah yang kian menggunung.
"Ibu," suara polos Lili memecah keheningan saat mereka sudah agak jauh. "Om itu kan yang pernah tinggal sama Om Kevin? Kenapa dia panggil Ibu Raya? Nama Ibu kan Anna."
Anna menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungnya. "Mungkin Om itu cuma salah orang, Sayang."
Setelah Anna dan putrinya pergi, Leo masih berdiri di depan rumah sederhana itu. Pandangannya tertuju pada jalan setapak yang perlahan kembali sepi. Ia tahu, langkahnya ke depan tidak akan mudah. Luka yang pernah ia tinggalkan terlalu dalam, terlalu menyakitkan untuk dilupakan begitu saja. Setelah semua yang Raya alami, mustahil perempuan itu bisa memaafkannya dengan mudah.
Leo mengusap wajahnya pelan, mencoba meredam rasa sesak di dadanya.
Saat itulah ponsel di saku celananya bergetar. Ia mengeluarkannya dan membaca pesan singkat dari orang kepercayaannya. Alisnya mengernyit seiring setiap kalimat yang terbaca.
[Identitas Anna belum ditemukan. Perempuan itu datang ke desa tujuh tahun lalu dalam kondisi hamil muda. Tidak ada satu pun warga yang mengetahui asal-usulnya. Ia tertutup dan jarang bercerita tentang masa lalu.]
Leo terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Keyakinannya kian menguat. Anna adalah Raya. Dan Lili… gadis kecil dengan mata jernih itu adalah darah dagingnya.
Leo memejamkan mata sejenak, membayangkan kejadian malam kelam bertahun-tahun lalu. Ia masih tak habis pikir bagaimana Raya bisa bertahan hidup setelah terhempas ke dalam arus sungai yang begitu deras. Sebuah keajaiban yang terasa mustahil, namun kini nyata berdiri di depan matanya.
"Mungkin, Tuhan memang masih memberiku kesempatan untuk menebus semuanya," gumam Leo lirih. Suaranya serak, penuh dengan penyesalan sekaligus harapan yang baru tumbuh.
Ia tidak akan menyerah. Jika Anna butuh waktu seribu tahun untuk memaafkannya, maka Leo akan menunggu di sana, memastikan bahwa kali ini, ia tidak akan membiarkan wanita itu dan putrinya menderita lagi.
* * *
Dari balik bayangan pohon besar di tepian bukit, Leo berdiri mematung. Matanya tidak sedetik pun beralih dari sosok wanita bertopi caping yang sedang membungkuk di antara rimbunnya tanaman teh.
Itu Anna.
Leo memperhatikan bagaimana Anna bergerak jauh lebih lambat dari pemetik teh lainnya. Beberapa kali, wanita itu berhenti, menyeka keringat dingin di keningnya, dan memegangi kepalanya seolah dunia di sekitarnya sedang berputar. Demam itu jelas sedang menyiksanya, namun keadaan seolah memaksa Anna untuk terus berdiri tegak.
"Anna! Istirahat dulu sebentar, Nak. Wajahmu pucat sekali," teriak seorang wanita paruh baya, sesama pemetik teh yang bekerja tak jauh darinya.
Anna mendongak, mencoba memaksakan senyum yang terlihat sangat rapuh. "Sebentar lagi, Mak." sahut Anna.
"Kalau keranjangnya tidak penuh, upah hari ini tidak cukup untuk biaya tambahan berobat Lili." lanjut Anna, dengan suara lirih yang hanya bisa ia dengar sendiri.
Mendengar itu, tangan Leo yang bersandar pada batang pohon mencengkeram kulit kayu hingga kukunya memutih. Rasanya seperti ada bongkahan es yang menghantam dadanya. Kalimat Anna barusan adalah tamparan keras baginya. Selama tujuh tahun ini, ia hidup dalam kemewahan, sementara darah dagingnya sendiri harus diperjuangkan dengan sisa-sisa tenaga ibunya yang sedang rapuh.
Leo ingin sekali berlari ke sana. Ingin sekali ia menarik keranjang berat itu dari punggung Anna, dan membawanya pergi dari tempat yang melelahkan ini. Namun, kakinya seperti tertanam di tanah.
Ia teringat tatapan tajam Anna tadi pagi, tatapan penuh luka yang lebih perih dari sayatan pisau. Leo sadar, kehadirannya saat ini bukanlah obat, melainkan racun bagi Anna. Ia hanya bisa berdiri di sana, menjadi saksi bisu betapa kerasnya hidup yang harus dijalani wanita yang pernah ia sia-siakan itu.
"Maafkan aku, Raya..." bisik Leo pelan.