Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.
Season 2 : 06. Sangkar Emas Berjalan
Di dalam kabin Alphard mewah yang melaju mulus di jalan tol menuju bandara Soekarno-Hatta, suasana terasa dingin. AC disetel maksimal, dan aroma parfum Chanel milik Dyandra memenuhi setiap sudut udara, nyaris membuat pusing.
Arya duduk diam memandang ke luar jendela. Tangannya bersedekap, menciptakan benteng tak kasat mata antara dirinya dan Dyandra.
“Kamu kenapa sih, Ar? Diem terus,” Dyandra memecah keheningan. Ia sedang sibuk membetulkan make-up nya di cermin kecil. “Masih mikirin cewek magang tadi?”
“Namanya Kirana, Dyan. Dan dia bukan cewek magang,” koreksi Arya datar tanpa menoleh.
“Apapun itulah,” Dyandra mengibaskan tangan acuh. “Aku cuma heran aja. Selera kamu kok turun? Biasanya kamu jalan sama model atau sesama arsitek. Kok tadi malah sama cewek yang…penampilannya kayak mau demo mahasiswa?”
Rahang Arya mengeras. Komentar Dyandra tentang fisik dan status sosial selalu membuatnya muak. Tapi ia tahu, mendebat Dyandra hanya akan memperpanjang masalah.
“Dia punya sesuatu yang nggak kamu punya,” gumam Arya pelan, nyaris tak terdengar.
“Apa?”Dyandra menoleh tajam. “Dia punya apa? Uang? Koneksi?”
Arya menoleh, menatap Dyandra dengan tatapan lelah.
“Ketulusan,” jawab Arya singkat. “Dia datang ke proyek berdebu bukan buat pamer tas branded atau ngeluh soal panas. Dia datang karena dia menghargai apa yang saya kerjakan.”
Dyandra terdiam sejenak. Wajah cantiknya menegang. Ia merasa tersindir telak. Namun, wanita sekelas Dyandra tidak pernah mau kalah. Ia tertawa kecil, tawa yang terdengar sumbang.
“Ketulusan nggak bisa ngebayar gaji karyawan kamu, Arya,” balas Dyandra sinis. “Yang bayar tagihan biro arsitek kamu itu proyek dari Papa aku. Ketulusan itu cuma buat orang miskin yang nggak punya pilihan lain.”
Dyandra menggeser duduknya, merapat ke arah Arya, lalu meletakkan kepalanya di bahu pria itu.
“Udahlah, sayang. Jangan bahas orang nggak penting. Fokus aja sama masa depan kita. Di Singapura nanti, kita bakal ketemu investor besar. Kalau Deal ini tembus, kamu bisa jadi arsitek nomor satu di Asia Tenggara.”
Arya tidak menjawab. Ia membiarkan Dyandra bersandar di bahunya, tapi tubuhnya kaku seperti patung batu.
Matanya kembali menatap jalanan tol yang monoton. Pikirannya melayang kembali ke momen di balkon tadi.
Saat ia dan Kirana berdiri berhadapan. Saat angin menerbangkan rambut gadis itu. Saat ia merasakan dorongan aneh untuk menyentuh wajah Kirana.
Ada perasaan hangat yang menjalar di dadanya saat itu. Perasaan ‘Pulang’. Perasaan bahwa ia tidak sendirian memikul beban dunia.
Di sini, di dalam mobil mewah seharga miliaran ini, Arya justru merasa seperti burung dalam sangkar emas. Dyandra menawarkan kesuksesan, kekayaan, dan status sosial. Tapi harganya adalah kebebasannya.
Arya melirik tangan kanannya—tangan yang tadi hampir menyentuh pipi Kirana.
Kenapa? Batin Arya. Kenapa rasanya tangan ini merindukan wajah yang baru kukenal dua hari?
Tanpa sadar, Arya merogoh saku celananya. Jemarinya menyentuh permukaan dingin kartu nama Kirana yang belum sempat ia berikan tadi, tapi ia juga menyentuh sesuatu yang lain.
Sebuah permen mint bungkus putih.
Tadi, sebelum Dyandra datang, Kirana sempet menyelipkan permen itu ke tangan Arya saat Arya batuk kecil karena debu.
“Nih, makan. Biar tenggorokan nggak gatel. Jangan batuk terus, nanti dikira TBC,” omel Kirana tadi.
Arya tersenyum tipis. Sangat tipis.
Sementara Dyandra sibuk membicarakan saham dan properti di telinganya, Arya diam-diam membuka bungkus permen itu dengan satu tangan di dalam saku, lalu memasukkannya ke mulut saat Dyandra lengah.
Rasa mint yang pedas dan segar menyebar di lidahnya, mengusir rasa mual akibat parfum mahal Dyandra.
Sabar, batin Arya pada dirinya sendiri. Selesaikan kontrak kerja ini. Setelah itu…aku akan mencari tahu siapa sebenernya Kirana. Dan kenapa rasanya aku berhutang nyawa padanya.
Mobil terus melaju kencang, membawa Arya menjauh dari Kirana secara fisik, namun ironisnya, justru membawa hatinya semakin dekat pada pertanyaan besar tentang takdir mereka.
Malam Harinya. Hotel Marina Bay Sands, Singapura.
Dyandra berdiri di depan cermin wastafel kamar mandi suite-nya yang mewah. Keran air menyala deras.
Ia sedang mencuci tangannya. Menggosoknya dengan sabun. Membilasnya. Lalu menggosoknya lagi.
Sudah tiga kali ia melakukan itu dalam lima menit terakhir.
“Kotor,” desis Dyandra pelan, menatap telapak tangannya yang putih mulus dan terawat.
Entah kenapa, sejak bertemu perempuan bernama Kirana tadi siang, ada perasaan menjijikkan yang menempel di kulitnya. Perasaan seolah-olah tangannya…bernoda.
Dyandra mematikan keran dengan kasar. Napasnya sedikit memburu. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Cantik. Sempurna. Kaya raya. Ia memiliki segalanya yang diimpikan wanita di dunia ini.
Tapi tatapan Arya tadi…
Tatapan Arya saat melihat Kirana di balkon. Tatapan itu bukan tatapan sopan santun. Itu tatapan pemujaan. Tatapan rindu.
Dyandra belum pernah mendapatkan tatapan itu dari Arya, meski ia sudah menggelontorkan miliaran rupiah untuk mendanai proyek-proyek pria itu.
“Siapa sebenarnya gembel itu?” Gumam Dyandra, matanya menyipit tajam menatap bayangannya sendiri.
Secara logika, Kirana bukan saingan sepadan. Kirana cuma content creator kecil, bajunya murah, gayanya kampungan. Tapi insting Dyandra—insting purba yang datang entah dari mana—berteriak waspada.
Insting itu mengatakan : Singkirkan dia. Atau dia yang akan menyingkirkanmu. Lagi.
Dyandra keluar dari kamar mandi, meraih ponselnya yang tergeletak di kasur. Ia menekan nomor kontak yang di namai ‘Rian-IT & Security’.
“Halo, Bu Dyandra. Ada perintah?” Suara di seberang menjawab sigap.
“Rian,” suara Dyandra dingin dan datar. “Cari tahu soal perempuan bernama Kirana. Dia content creator masak. Saya mau data lengkapnya. Alamat, riwayat sekolah, mantan pacar, skandal…semuanya.”
“Siap, Bu. Kapan datanya dibutuhkan?”
“Besok pagi. Dan satu lagi…” Dyandra berjalan menuju jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota Singapura di malam hari. Ia melihat bayangan dirinya terpantul di kaca, seolah melihat sosok wanita berkebaya hijau yang tersenyum licik di belakangnya.
“Siapkan tim buzzer. Kalau saya kasih kode, saya mau akun sosial media perempuan itu hancur. Bikin dia kelihatan seperti wanita murahan yang menggoda tunangan orang.”
“Mengerti, Bu. Akan kami siapkan narasinya.”
Sambungan telepon di matikan.
Dyandra melempar ponselnya ke sofa. Ia mengambil gelas wine, menyesapnya perlahan. Rasa khawatir di hatinya perlahan berganti menjadi kepuasan yang kejam.
Arya mungkin tertarik pada Kirana sekarang. Tapi Dyandra tahu kelemahan manusia modern : Reputasi Digital.
“Di Zaman ini, aku tidak butuh racun untuk membunuhmu, Kirana,” bisik Dyandra sambil tersenyum miring, mengelus jarinya yang baru saja di cuci bersih. “Cukup dengan jari jempol dan sedikit fitnah, aku bisa bikin kamu berharap kamu tidak bisa dilahirkan.”
Di luar, kilat menyambar langit malam Singapura. Perang terbuka baru saja dideklarasikan oleh Sang Ratu Masa Kini.