Queen Li tumbuh dalam kekacauan—dikejar rentenir, hidup dari perkelahian, dan dikenal sebagai gadis barbar yang tidak takut siapa pun. Tapi di balik keberaniannya, tersimpan rahasia masa kecil yang bisa menghancurkan segalanya.
Jason Shu, CEO dingin yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan, diam-diam telah mengawasinya sejak lama. Ia satu-satunya yang tahu sisi rapuh Queen… dan lelaki yang paling ingin memilikinya.
Ketika rahasia itu terungkap, hidup Queen terancam.
Dan hanya Jason yang berdiri di sisinya—siap menghancurkan dunia demi gadis barbar tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Queen berlari lebih cepat. Dalam sekejap ia sudah berada di belakang Zoanna dan langsung menarik kerah kemeja ibunya dengan kasar. Tubuh Zoanna tersentak ke belakang, napasnya tercekat.
"Tolong, jangan sakiti mamamu… aku ini mamamu!" teriak Zoanna dengan suara gemetar. Langkahnya terhenti total, kakinya terasa lemas.
Di saat yang sama, Roland yang sudah ketakutan tak sanggup lagi berdiri tegak. Lututnya melemah dan ia langsung tersungkur ke tanah, wajahnya pucat pasi, keringat dingin mengalir deras.
"Tidak ada hubunganku dengannya!" seru Roland panik sambil mengangkat kedua tangannya.
"Zoanna yang memintaku datang menemuimu! Sebagai gantinya aku meminjamkan uang padanya, dan dia akan menjanjikan putrinya padaku!" ucapnya terbata-bata, suaranya penuh ketakutan.
Queen melepaskan Zoanna dengan kasar hingga wanita itu hampir terjatuh. Ia lalu melangkah mendekati Roland, sorot matanya dingin dan tajam seperti pisau.
"Roland, dengarkan baik-baik," ucap Queen dengan nada rendah namun penuh ancaman.
"Kalau kau berani meminjamkan uang kepada wanita ini, rugi itu kau tanggung sendiri."
Ia menunjuk Zoanna tanpa menoleh.
"Aku tidak akan membantu membayar satu sen pun dari hutangnya. Aku tidak punya uang, dan sekalipun punya, aku tidak akan menggunakannya untuk menutup kebodohannya."
Queen mendekat satu langkah lagi, membuat Roland refleks mundur sambil menyeret tubuhnya.
"Dan satu hal lagi. Jangan pernah mudah percaya pada seorang penjudi," lanjut Queen dengan suara dingin.
"Sehari saja dia menyentuh kartu joker, maka seumur hidupnya dia tidak akan pernah lepas dari yang namanya judi."
Queen menunduk sedikit, menatap Roland tepat di mata.
"Pergi dari sini. Sekarang. Sebelum aku menjadikanmu babi panggang."
Roland tidak menunggu peringatan kedua. Dengan tubuh gemetar, ia bangkit secepat mungkin dan berlari sekuat tenaga, bahkan nyaris terjatuh beberapa kali karena panik.
Di belakangnya, Queen berdiri tegak, napasnya masih berat, sementara Zoanna terduduk lemas di tanah—menyadari untuk pertama kalinya bahwa putrinya bukan lagi gadis yang bisa ia kendalikan.
"Queen, mama hanya demi kebaikanmu. Dia memiliki banyak uang, dan kau tidak perlu bekerja dari pagi hingga malam lagi," kata Zoanna dengan suara bergetar, berusaha terdengar meyakinkan meski matanya dipenuhi ketakutan.
Queen berhenti melangkah. Bahunya naik turun menahan emosi yang mendidih di dadanya. Ia berbalik perlahan, menatap Zoanna dengan tatapan dingin dan penuh luka.
"Kau masih berani bicara seperti itu?" suara Queen meninggi.
"Kalau bukan karena kau yang suka berjudi, apakah aku perlu bekerja dari pagi hingga malam?" lanjutnya tajam.
"Kenapa aku bisa mempunyai ibu sepertimu? Kalau aku bisa memilih, lebih baik aku menjadi anak yatim piatu."
Queen hendak melangkah pergi, tak ingin lagi menatap wajah ibunya.
"Queen, bagaimanapun aku yang melahirkanmu," kata Zoanna sambil bangkit berdiri, suaranya hampir memohon.
Langkah Queen terhenti. Ia berbalik dengan gerakan cepat, matanya menyala penuh amarah.
"Kalau begitu, beri tahu aku… di mana papa?" tanya Queen, menatap Zoanna lurus tanpa berkedip.
Wajah Zoanna langsung pucat. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya ia menjawab,
"Bukankah mama sudah bilang? Papamu sudah meninggal."
Queen tersenyum kecil, senyum yang sama sekali tidak mengandung kebahagiaan.
"Sejak kecil, aku belum pernah sekali pun ke makamnya," ucapnya pelan namun menusuk.
"Di mana makam papa?"
Zoanna menelan ludah.
"Queen, kenapa tiba-tiba mengungkit papamu?" tanyanya gugup.
Queen melangkah mendekat satu langkah.
"Bahkan hari kematiannya saja kau tidak pernah tahu," katanya dingin.
"Aku curiga papa masih hidup… dan dia pergi karena ulahmu."
"Queen, selama belasan tahun kita hidup tanpa papamu. Kenapa tiba-tiba mengungkit masalah ini?" suara Zoanna meninggi, panik.
"Karena setiap kali kau menimbulkan masalah," bentak Queen, emosinya akhirnya meledak,
"aku selalu bertanya kenapa hidupku sesial ini!"
Tangannya yang memegang pisau daging terangkat, ujungnya menunjuk lurus ke arah Zoanna—bukan untuk melukai, tapi sebagai simbol kemarahan yang tak lagi tertahan.
"Aku tidak tahu siapa papaku. Makamnya pun aku tidak tahu," lanjut Queen dengan suara bergetar karena emosi.
"Hidup atau matinya saja tidak pernah pasti."
Ia menatap Zoanna dengan mata memerah.
"Melihatmu setiap hari berjudi, mabuk-mabukan, menikah dan cerai, aku semakin yakin, papa pergi karena ulahmu!"
Pisau itu berkilau di bawah cahaya lampu, sementara jarak antara ibu dan anak terasa lebih jauh dari sebelumnya, dipenuhi dendam, luka, dan kebenaran yang selama ini terkubur.
“Aku ingatkan untuk terakhir kali,” ucap Queen dengan suara dingin dan tegas,
“kalau kau masih berani membuat pinjaman lagi, aku sendiri yang akan memotong jarimu… lalu pergi menyerahkan diri.”
Tanpa menoleh lagi, Queen melangkah pergi. Punggungnya tegap, langkahnya mantap, seolah tidak ada lagi keraguan di hatinya.
Zoanna berdiri terpaku di tempat. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar saat ia menatap sosok putrinya yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang di balik sudut gedung.
“Sepertinya putrimu bukan bercanda.”
Suara itu muncul tiba-tiba dari belakang, rendah dan datar, membuat Zoanna tersentak.
Ia berbalik dengan napas tercekat.
“T-tuan Shu…?” ucap Zoanna gugup, suaranya nyaris tak keluar.
Jason Shu berdiri beberapa langkah darinya. Sorot matanya tajam dan dingin, tanpa sedikit pun emosi. Keberadaannya saja sudah cukup membuat udara terasa berat.
“Zoanna Mu,” ucap Jason pelan namun mengandung tekanan,
“masih ingat ucapanku sebelumnya?”
Ia melangkah mendekat satu langkah.
“Kalau bukan karena dia, kau sudah mati di tanganku.”
Zoanna semakin pucat. Kakinya terasa lemas, tenggorokannya kering, dan ia hanya bisa menunduk tanpa berani menatap pria di hadapannya.
Jason tidak menunggu jawaban.
“Sekali lagi,” lanjutnya dengan nada datar namun mengancam,
“kalau kau berani mendekati rentenir mana pun atau berjudi lagi, aku tidak akan sungkan mengambil nyawamu.”
Ia berhenti tepat di depan Zoanna.
“Daripada Queen yang harus menanggung semua perbuatanmu.”
Tatapan Jason semakin gelap.
“Kau tahu cara aku menyelesaikan masalah,” katanya dingin.
“Aku tidak suka panjang lebar.”
Jason lalu berbalik pergi, meninggalkan Zoanna yang berdiri gemetar di tempatnya.
***
Roland yang kembali ke perusahaannya masih diliputi amarah. Wajahnya memerah, napasnya berat, dan langkahnya kasar saat memasuki ruangannya.
“Bos, ada apa?” tanya salah satu anak buahnya yang langsung berdiri saat melihat ekspresi Roland.
Roland membanting tasnya ke meja.
“Besok bawa anak buah kita ke gudang tempat Queen Li bekerja,” perintahnya dengan suara penuh dendam.
“Buat keributan di sana. Gadis sialan itu berani mengancamku dengan pisau.”
Anak buah itu saling pandang sejenak sebelum bertanya hati-hati,
“Baik, Bos. Berapa anak buah yang harus ikut?”
“Tiga puluh!” jawab Roland tanpa ragu.
“Aku ingin lihat bagaimana caranya mengusir kita. Aku ingin gadis sialan itu berlutut, minta maaf padaku sambil menjilat sepatuku!”
Senyumnya kejam, penuh keyakinan bahwa kekerasan selalu menjadi jalan termudah baginya.
Keesokan harinya.
Gudang tempat Queen bekerja berjalan seperti biasa. Deru forklift terdengar bersahutan, para karyawan sibuk memuat barang ke dalam truk, sementara Queen berdiri dengan papan catatan di tangan, mengawasi setiap sudut dengan mata tajam.
Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.
Tiba-tiba suara teriakan dan benturan keras terdengar dari arah pintu masuk gudang. Beberapa pekerja berlarian panik, wajah mereka pucat.
“Queen, gawat!” seru salah satu rekan kerja sambil terengah-engah.
“Ada preman datang membuat keributan! Mereka mengelilingi rekan-rekan kita dan memukuli mereka!”
Wajah Queen langsung mengeras. Ia menurunkan papan catatannya dan melangkah cepat keluar gudang.
Pemandangan di luar membuat rahangnya mengeras. Sekitar tiga puluh preman berdiri membawa tongkat besi. Di depan mereka, Roland berjalan santai dengan senyum angkuh, bahkan ikut melayangkan pukulan ke salah satu pekerja Queen yang sudah terjatuh.
Queen mengepalkan tangan, amarahnya langsung menyala.
“Panggil semua orang!” perintah Queen dengan suara lantang kepada rekannya.
“Jaga gudang kita! Jangan biarkan mereka masuk!”
Ia menoleh tajam.
“Dan bawa tongkat besiku!”
Rekan yang lain yang berdiri di samping Queen berkata," Queen, hari ini bos baru akan datang. Kalau dia melihat kejadian ini pasti akan kecewa."
"Roland datang karena balas dendam padaku, bagaimana pun aku harus menghentikannya. Mungkin saja aku akan dipecat hari ini juga," batin Queen.
hai teman teman .... ayo ramaikan karya ini dgn follow tiap hari dan juga like, komen dan jangan ketinggalan beri hadiah yaaaaaaa
sungguh, kalian gak bakalan menyesal, membaca karya ini.
bagus banget👍👍👍👍
top markotop pokoknya
hapus donh🤭🤭
kau jangan pernah meragukan dia, queen
👍👍👌 Jason lindungi terus Queen jangan biarkan orang2 jahat mengincar Queen
.
ayoooooo tambah up nya.
jangan bikin reader setiamu ini penasaran menunggu kelanjutan ceritanya
ayo thor, up yg banyak dan kalau bisa up nya pagi, siang, sore dan malam😅❤️❤️❤️❤️❤️❤️💪💪💪💪💪🙏🙏🙏🙏🙏
kereeeeennn.......💪
di tunggu update nya....💪