NovelToon NovelToon
Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi / Raja Tentara/Dewa Perang / Pulau Terpencil / Kultivasi Modern
Popularitas:13.5k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Yang Suka Action Yuk Mari..

Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Bab 19 -

“Sudah.. sudah.. tolong.. A.. Aku... aku tidak ingin uangnya lagi.”

Wajah pria itu tampak sangat pucat, hampir seputih kertas. Suaranya bergetar hebat, matanya gemetar menatap Rangga yang masih duduk dengan sikap tenang.

Walaupun nada bicara Rangga terdengar datar dan terkendali, bagi pria itu, setiap katanya terasa seperti ancaman yang membekas dalam-dalam.

“Kau ingin turun dari mobil sekarang?” Rangga menatapnya, bibirnya tersenyum samar. “Sayangnya sudah terlambat. Tenang saja, aku akan membuat semuanya terlihat alami—seolah-olah kau benar-benar ditabrak. Enam puluh juta bagiku bukanlah jumlah yang berarti. Uang sebanyak itu bisa saja kuhabiskan untuk bersenang-senang. Tapi kau...” Ia berhenti sejenak, menatap pria itu tajam. “Kau butuh pelajaran. Dan aku akan jadi gurumu hari ini.”

Senyum kecil muncul di sudut bibir Osie, yang sejak tadi duduk di kursi depan.

Ia tidak bisa menahan diri untuk tertawa kecil mendengar kalimat itu. Wajah pria yang duduk di belakang bersama Rangga pun langsung berubah drastis—seluruh warnanya lenyap dari wajahnya.

Osie tahu, mobil yang ia kemudikan bukan sembarang kendaraan. Harganya mencapai puluhan miliar, dan bagi pemiliknya, enam puluh juta hanyalah uang receh.

Bagi orang seperti Rangga, menertawakan penipu seperti itu adalah hiburan kecil dalam hari yang panjang. Mereka bahkan mungkin benar-benar “memerankannya kembali” hanya untuk bersenang-senang.

Dan yang lebih buruk lagi, pria itu sendiri yang tadi dengan penuh keyakinan berkata bahwa kakinya “patah.”

Jika Rangga benar-benar memutuskan untuk mematahkannya, di tempat terpencil tanpa saksi, tidak akan ada yang bisa ia lakukan.

Pikiran itu membuat ketakutan di matanya semakin nyata.

“A... aku...” suaranya tersendat, keringat dingin mulai mengucur deras di pelipisnya.

Lalu, seolah menyerah pada rasa takutnya sendiri, ia langsung menunduk dan berkata cepat,

“Maafkan aku! Aku... memang menipu kalian! Aku hanya butuh uang! Tolong... biarkan aku turun dari mobil!”

Rangga menatapnya dengan ekspresi datar, tapi ada senyum tipis di bibirnya.

“Jadi kau mengakuinya sekarang?”

Pria itu mengangguk berkali-kali, suaranya hampir putus asa.

“Aku bersumpah... aku tidak akan melakukannya lagi. Tolong, biarkan aku pergi!”

Cengkeraman Rangga di bahunya justru makin menguat.

Pria itu meringis kesakitan; wajahnya semakin memucat.

Tiba-tiba Osie menoleh dari kursi depan dan berkata dengan nada datar,

“Rangga, biarkan aku yang menanganinya.”

Rangga menatapnya dengan sedikit terkejut.

Osie tersenyum kecil, wajahnya terlihat tenang tapi sorot matanya berbahaya.

“Latar belakangku berasal dari salah satu jaringan paling besar di dunia bawah tanah Kota NewJersey,” katanya santai.

“Tadi aku benar-benar panik. Tapi sekarang setelah aku tahu dia cuma penipu kecil, rasanya wajar kalau aku ingin meninggalkan sedikit... kesan yang tak terlupakan padanya.”

Rangga menatapnya sejenak, lalu berkata datar,

“Jangan sampai mati.”

Pria itu menegang seketika.

Kalimat singkat itu membuat jantungnya seperti berhenti berdetak.

“Jangan sampai mati” — artinya apa pun bisa dilakukan padanya, selama ia masih hidup setelahnya.

Osie mengangguk ringan. “Tenang saja,” jawabnya singkat.

Ia segera mengeluarkan ponselnya, menekan beberapa nomor, dan berbicara dengan tenang di telepon,

“Datang ke Restoran Trio Nation Bay sekarang. Ada seseorang yang menipuku. Bawa dia ke tempat kita, kurung dia di ruangan bawah sampai aku kembali. Jangan sakiti dia terlalu parah—aku ingin mengurusnya sendiri nanti.”

Pria di kursi belakang langsung gemetar hebat. Keringat dingin membasahi seluruh wajahnya, matanya memohon belas kasihan, tapi Rangga tetap diam.

Dalam hatinya, Rangga tahu orang seperti ini pasti sudah sering menipu banyak korban.

Mungkin ia dan komplotannya sudah membuat banyak orang menderita.

Jadi, sedikit rasa takut seperti ini hanyalah keadilan kecil yang tertunda.

 

Sekitar satu jam kemudian, mobil mereka berhenti di depan Restoran Trio Nation Bay.

Orang-orang yang tadi dihubungi Osie sudah menunggu di sana — beberapa pria berpakaian rapi tapi berwajah keras berdiri di sisi mobil.

Begitu pintu dibuka, penipu itu langsung mencoba berteriak minta tolong. Namun Rangga lebih cepat. Ia menepuk leher pria itu dari belakang dengan kekuatan terukur — bukan untuk menyakiti, tapi cukup untuk membuatnya tak bisa bersuara.

Dalam sekejap, pria itu diseret keluar dan dimasukkan ke mobil lain.

Osie hanya melirik sekilas, lalu mengangguk ke arah Rangga.

“Sudah beres.”

Rangga menatapnya dan hanya berkata pelan,

“Ingat, jangan sampai mati.”

Osie mengangkat bahu, tampak sedikit kesal.

“Aku tahu. Aku bukan monster pembunuh,” katanya setengah mendengus. “Sudah, ayo kita makan saja. Aku lapar.”

“Baik,” sahut Rangga. “Kita makan di lantai lima.”

 

Di depan pintu masuk Restoran Trio Nation Bay, antrean pengunjung memanjang sampai ke trotoar. Tempat itu memang terkenal di seluruh Kota NewJersey — makanan enak, suasana mewah, dan penuh pelanggan dari kalangan atas.

Osie menatap antrean itu dan berdecak.

“Bisnis di sini luar biasa. Sepertinya kita harus menunggu cukup lama.”

Rangga hanya tersenyum ringan.

“Tidak apa-apa. Kau ambil nomor antrean dulu, nanti aku yang akan membawamu ke atas.”

“Ke atas?” Osie mengerutkan dahi. “Maksudmu lantai enam? Bukankah lantai itu tidak dibuka untuk umum?”

Rangga menatapnya sekilas dan menjawab pelan,

“Itu tergantung siapa yang datang. Bagi orang biasa di Kota NewJersey, mungkin tidak bisa. Tapi aku berbeda.”

Osie menatapnya tidak percaya. “Kau memang suka membual,” ujarnya sambil menyipitkan mata.

Rangga hanya tertawa kecil dan melangkah masuk.

Begitu ia tiba di depan pelayan, pria muda itu langsung menegakkan badan dengan wajah terkejut.

“Selamat datang kembali, Tuan Rangga!” katanya cepat-cepat.

Nada suaranya berubah sopan dan sedikit gugup.

Rangga tersenyum tipis. “Apakah Wardi ada di tempat?”

“Ya, Tuan! Silakan tunggu sebentar.”

Pelayan itu langsung berlari ke arah dapur.

Beberapa menit kemudian, Wardi keluar dengan langkah lebar, wajahnya berseri begitu melihat Rangga.

“Rangga! Akhirnya kau datang juga! Guruku sering sekali menyebut namamu belakangan ini.”

Rangga mengangguk sopan. “Hari ini aku memang datang khusus untuk menemui beliau.”

Wardi lalu bertanya dengan nada penasaran, “Kau sendirian hari ini?”

Rangga menunjuk ke arah luar. “Aku datang bersama temanku. Kami akan makan dulu di lantai enam.”

Wardi melongok ke luar dan melihat Osie yang berdiri menunggu. Ia tersenyum nakal dan berbisik,

“Hebat, Rangga! Kau tidak pernah gagal memilih teman cantik. Luar biasa!”

Rangga mendengus kecil. “Sudahlah. Tolong suruh seseorang antar dia dulu ke ruang makan. Aku ingin berbicara sebentar dengan gurumu.”

“BaiK!” sahut Wardi bersemangat. “Aku sendiri yang akan menyiapkan hidangan kalian!”

“Terima kasih,” jawab Rangga sambil tersenyum tipis.

Wardi memberi isyarat pada salah satu staf untuk menjemput Osie, lalu membawa Rangga melewati dapur menuju halaman kecil di belakang restoran.

Begitu mereka melangkah masuk, Pak Karim yang sedang duduk di kursi bambu menoleh dan langsung berdiri.

“Rangga!” serunya ramah.

Raut wajahnya terlihat senang.

Rangga tersenyum dan menyalami pria tua itu.

“Pak Karim, sudah lama kita tidak bertemu.”

“Silakan duduk, Nak,” ujar Pak Karim sambil menunjuk kursi di hadapannya.

 

Sementara itu, di depan restoran, Osie masih menunggu di antrean panjang bersama pelanggan lain.

Beberapa menit kemudian, seorang pelayan datang menghampirinya dan berkata sopan,

“Ibu, silakan ikut saya.”

Osie menatapnya bingung. “Sudah ada meja kosong?”

Orang-orang yang berdiri di antrean langsung menoleh.

Beberapa wajah di depan antrean tampak kesal.

“Apa maksudnya ini?” seru salah satu dari mereka.

“Bukankah Restoran Trio Nation Bay selalu melayani pelanggan sesuai antrean? Kenapa dia boleh masuk duluan?”

“Ya benar! Kami sudah menunggu lebih lama!” seru yang lain.

Pelayan itu tampak sedikit canggung, tapi ia menjawab dengan tenang,

“Maaf, Ibu ini adalah tamu terhormat. Beliau akan langsung menuju lantai enam.”

Mendengar kalimat itu, suasana mendadak sunyi.

Semua orang saling berpandangan dengan tatapan tak percaya.

Lantai enam Restoran Trio Nation Bay adalah area yang tidak pernah dibuka untuk umum — bahkan para pengusaha besar atau pejabat tinggi Kota NewJersey pun tak diizinkan ke sana.

Dan kini, perempuan ini... diizinkan naik?

Osie sempat terkejut, tapi kemudian ia teringat ucapan Rangga sebelumnya.

Wajahnya berubah menjadi senyum kecil yang penuh pengertian.

“Tolong antar saya,” katanya pelan.

Pelayan itu menunduk hormat dan mempersilakannya masuk.

Langkah Osie ringan, tapi dalam hatinya, rasa penasaran terhadap siapa sebenarnya Rangga semakin besar.

Awas jatuh cinta....

Bersambung...

1
Was pray
ya memang Rangga dan raysa yg harus menyelesaikan permasalahan yg diperbuat, jangan melibatkan siapapun
Was pray
Rangga memang amat peduli sama orang2 yg membutuhkan pertolongan dirinya tapi tidak memikirkan akibatnya
hackauth
/Pray/ mantap update terus gan
Was pray
MC miskin mantaf ..
Was pray
Rangga. dalam rangka musu bunuh diri kah?
adib
alur cerita bagus..
thumb up buat thor
adib
keren ini.. beneran bikin marathon baca
Maknov Gabut
gaskeun thor
Maknov Gabut
ceritanya seru
Maknov Gabut
mantaff
Maknov Gabut
terima kasih thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!