NovelToon NovelToon
HIJRAH RASA

HIJRAH RASA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:618
Nilai: 5
Nama Author: Azzurry

Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?

Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.

“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.


Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hijrah Rasa -19

Saat langkah pria itu semakin mendekat, refleks Farah menutup mata.

Cup. Pipi keduanya saling menempel.

Farah membeku. Detik itu dunia seolah berhenti.

Apa yang akan dilakukan Azzam padanya?

Azzam menatapnya heran, namun bukan kening Farah yang membuatnya terpaku setelahnya.

Ada sesuatu di belakang Farah yang membuat sorot matanya berubah drastis.

“Fa…?” suaranya merendah.

“I-iya, Mas?” jawab Farah gugup, berusaha menormalkan ekspresinya sambil perlahan membuka mata.

Azzam memiringkan tubuhnya sedikit, lalu mengangkat tangan.

“Maaf, saya mau ambil charger handphone. Ada di belakang kamu.” Ia menunjuk benda di rak buku tepat di belakang Farah.

“A-ah iya silahkan Mas.”Dengan cepat Farah pindah dari depan Azzam seketika wajahnya memerah.

Sebelum Farah sempat melangkah menjauh, Azzam tiba-tiba menarik tangannya, membuat gadis itu hampir terjatuh. Dengan sigap, Azzam menahan tubuh Farah. Buku-buku dan tasnya berjatuhan ke lantai, sementara tatapan mereka saling bertaut selama beberapa detik.

“Fa..”

“I-iya Mas,”

“Kenapa mukanya?” tanya Azzam, melihat wajah Farah kini sudah merah merona.

“Hah..” dengan cepat Farah bangkit dan melepas pelukan Azzam.

“Kenapa sih?”

“N-ngak pa-pa kok Mas, gerah banget,”ujar Farah sembari mengusap kedua pipinya .

“Kamu sakit?” tanya Azzam, hendak mendekati Farah.Tapi gadis itu menghindarinya.

Dengan cepat, Farah berjongkok untuk memunguti buku-bukunya sekaligus tasnya, lalu berdiri kembali dan mengambil sedikit jarak dari Azzam.

Azzam mengerutkan keningnya heran. “Kamu baik-baik aja?”

Farah mengulas senyum paksa. “Aku baik kok Mas. Aku duluan ya Mas, udah telat.” Sembari melirik jam di tangan kirinya.

Belum sempat Azzam berbicara Farah sudah melangkah dan menghilang di balik pintu apartemen.

Farah memelankan langkahnya, saat merasa sudah jauh dari pintu apartemennya

Gadis itu menepuk pelan keningnya. “Malu-maluin kamu Fa.” gumamnya.

Sementara Azzam masih di tempatnya senyum terulas samar di wajahnya, lalu segera keluar mengikuti Farah.Niat ingin mengejar Farah tapi urung ia lakukan saat melihat Sienna sedang menunggunya di depan lift.

“Lama banget sih?” Celetuk Sienna.

Sebenarnya Sienna sudah masuk ke lift tadi dan menuju lantai dasar, tapi karena Azzam terlalu lama Sienna kembali hendak mencari Azzam di apartemennya.

Tapi setelah melihat Pria itu akhirnya Sienna mengurungkan niatnya.

“Sorry. Ayo berangkat sekarang,”ajak Azzam.

Mereka pun segera masuk kedalam lift dan menuju lantai dasar gedung apartemen.

***

Pagi ini Farah sedang mengikuti kuliah tambahan bertema: "Mengembangkan proyek arsitektur skala menengah hingga besar berbasis sejarah Islam, seperti kompleks perumahan, bangunan publik, dan ruang urban di wilayah Eropa—khususnya Venezia." Sesi ini bersifat teori dan tak wajib hadir, namun ruang kelas penuh. Barangkali karena materinya unik.

Farah duduk di kursinya, satu tangan menopang kepala, tangan lainnya memutar-mutar bolpoin. Wajahnya terlihat memikirkan sesuatu Atau lebih tepatnya: seseorang. Pagi ini, ia mengutuk dirinya karena pikiran kotor itu. Ia mengira Azzam suaminya itu akan mencium. Hal itu masih mengganggu pikirannya hingga saat ini.

Zira yang tengah berbincang dengan teman-teman sekelasnya melirik Farah. Gadis itu terlihat melamun, bahkan sesekali menggeleng pelan. Zira hendak menghampiri, namun suara salam mengisi ruangan.

“Assalamualaikum, good morning.” Suara pria itu terdengar tenang, teduh. Ia mengenakan setelan rapi, tampak percaya diri.

Salamnya disambut ramai. Di kampus internasional seperti IUAV, percakapan bisa berganti antara Inggris, Italia, atau bahasa lain tergantung dosennya.

“Fa… itu Bang Almeer, kan?” bisik Zira pada Farah.

“Iya, tahu.” Jawab Farah pelan, tanpa menoleh.

“Baik. Sebelumnya perkenalkan, saya Almeer Amani Ar-Rasyid. Saya akan menggantikan Prof. Fahri Abdullah yang hari ini sedang berhalangan hadir.”

Almeer berbicara dalam bahasa Inggris fasih. Setelah perkenalan singkat. Ia langsung memulai presentasi tentang arsitektur Islam di Venezia—tentang bagaimana gaya Timur memberi warna pada wajah kota yang didominasi barok dan gotik itu.Presentasinya memukau. Ia menampilkan foto-foto bangunan tua bergaya Moor, elemen mashrabiya, kubah, lengkungan, hingga kaligrafi yang terselip di dalam struktur yang sekarang menjadi museum atau ruang publik.

Tiba saatnya memasuki sesi tanya Jawab.

“Ada pertanyaan?” tanya Almeer.

Farah langsung mengangkat tangan.

“Maaf, Mr. Almeer. Saya Farah. Pertanyaan saya mungkin sedikit keluar dari materi.”

Zira langsung menoleh dengan tatapan was-was. Ia kenal betul Farah, yang kadang blak-blakan.

Almeer mengangguk ramah. “Silakan, Farah.”

Farah memberanikan diri, “Apa sebenarnya keunggulan arsitektur Islam di Venezia dan Eropa lainnya? Kenapa sampai sekarang masih dipertahankan, padahal di beberapa negara, termasuk Venezia, Islam sudah nyaris punah?”

Suasana kelas sedikit hening. Zira menutup wajahnya dengan buku, tak tega menatap dosen tamunya itu.

Namun Almeer tetap tersenyum. Wajahnya serius, tapi hangat.

“Pertanyaan yang baik. Saya coba jawab, ya. Mungkin tidak sepenuhnya akademik, tapi saya usahakan relevan.”

Pria itu berdiri tegak, kedua tangan bertumpu di atas meja lalu mulai menjawab.

“Arsitektur Islam itu... bukan hanya bangunan. Ia adalah ekspresi peradaban. Salah satu keunggulannya adalah keindahan yang lahir dari kesederhanaan dan keteraturan. Pola geometris, kaligrafi, dan pengulangan bentuk menciptakan rasa damai—mengajak manusia merenung. Itu bukan hanya hiasan, itu filosofi.”

Beberapa mahasiswa mulai mencatat.

“Dari sisi teknik, gaya arsitektur ini sangat adaptif. Ventilasi alami, lengkungan tapal kuda, struktur kubah—semua itu muncul dari respon terhadap alam dan kebutuhan masyarakatnya. Dan banyak teknik itu jauh lebih maju dibanding Eropa pada masa yang sama. Bahkan arsitek-arsitek Barat belajar banyak dari dunia Islam lewat Andalusia dan era Perang Salib.”

Almeer memberi jeda. Suaranya kini lebih tenang.

“Yang ketiga, gaya ini fleksibel dan menyerap banyak budaya. Arsitektur Islam di Spanyol beda dengan yang di Turki atau Maroko, tapi semuanya punya ciri yang sama: nilai spiritual dan penghormatan pada ruang. Venezia sebagai kota dagang punya sejarah kontak panjang dengan dunia Timur. Pengaruh itu terekam di banyak bangunan—Palazzo Ducale, misalnya.”

Ia menatap Farah sambil melanjutkan.

“Lalu kenapa masih dipertahankan? Pertama, karena nilai seninya tinggi. Orang Eropa sendiri menganggap bangunan itu unik dan indah. Kedua, ini bagian dari sejarah kota. Mau tidak mau, sejarah itu melekat. Kita tidak bisa mencabut identitas suatu kota hanya karena perubahan politik atau agama.”

“Dan terakhir,” Almeer tersenyum kecil, “karena pengaruh Islam di masa lalu begitu besar pada perkembangan dunia. Menjaga warisan arsitektur itu bukan hanya tentang Islam, tapi tentang menghormati perjalanan manusia.”

Kelas kembali hening dan pulpen berhenti mencatat.

Farah mulai tertarik lalu kembali memberi pertanyaan.

“Mengapa arsitektur Islam menjadi pusat penelitian dunia?” tanya Farah, kali ini nadanya lebih serius, matanya menatap Almeer penuh rasa ingin tahu.

Almeer menyunggingkan senyum kecil, seakan ia sudah tahu pertanyaan itu akan muncul sejak awal. Ia melangkah ringan ke depan kelas, berdiri di tengah ruang yang dijadikan ruang kuliah sementara di IUAV

“Pertanyaan bagus. Tapi izinkan saya balik bertanya: menurut kalian, kenapa sebuah bangunan bisa membuat dunia diam dan memperhatikannya?”

Suasana ruangan hening. Beberapa mahasiswa saling berpandangan, menunggu jawaban Almeer.

“Karena ia berbicara.” Almeer menjawab sendiri pertanyaannya. “Arsitektur Islam berbicara, bukan hanya kepada mata, tapi kepada jiwa, logika, dan sejarah umat manusia.”

Ia melangkah pelan sambil menjelaskan.

“Dari segi estetika, arsitektur Islam menciptakan keindahan yang tak hampa. Pola geometris rumit, kaligrafi Arab, motif tumbuhan, hingga permainan cahaya dan bayangan—semuanya sarat makna. Simetri itu bukan cuma indah; ia mencerminkan tauhid, keesaan Tuhan, dan keteraturan semesta. Ini bukan dekorasi kosong, tapi bahasa spiritual.”

Almeer menatap mahasiswanya, meyakinkan bahwa ini bukan sekadar teori, tapi keyakinan arsitektural.

“Dari sisi teknik, arsitektur Islam melahirkan inovasi luar biasa jauh sebelum teknologi modern muncul. Kubah besar yang menopang suara khatib tanpa mikrofon. Ventilasi alami dari menara angin di Persia. Sistem pendingin pasif. Semua itu lahir dari pemahaman mendalam terhadap iklim, ruang, dan fungsi sosial masjid. Tak heran insinyur hari ini masih mempelajarinya.”

Pria itu berhenti sebentar, memberi ruang agar setiap kata masuk perlahan ke ruang pikir pendengar.

“Dan yang membuatnya benar-benar global—arsitektur Islam berkembang lintas benua. Mughal di India seperti Taj Mahal. Moorish di Andalusia: Alhambra. Ottoman di Turki: Masjid Biru. Gaya Maghribi di Maroko, Tunisia, Aljazair. Karena itu, studi arsitektur Islam tidak bisa dilepaskan dari antropologi, sejarah kolonialisme, hingga geopolitik.”

Ia mengangkat satu jari.

“UNESCO telah menetapkan banyak dari bangunan ini sebagai warisan dunia. Tapi bukan hanya karena tua atau indah. Melainkan karena bangunan-bangunan itu menyimpan narasi peradaban. Itu yang membuat para peneliti berlomba mempelajarinya—dengan alat 3D scan, pemodelan digital, bahkan rekonstruksi virtual.”

Tatapan Almeer tajam, namun hangat.

“Dan menariknya, prinsip arsitektur Islam—penggunaan bahan lokal, pencahayaan alami, ventilasi silang—semua selaras dengan prinsip arsitektur berkelanjutan modern. Kita tidak sedang memungut masa lalu. Kita sedang mempelajari cara hidup masa depan dari akar sejarah kita sendiri.”

Ia kembali menatap Farah, dan menyimpulkan dengan suara yang lebih pelan namun dalam:

“Jadi kenapa dunia meneliti arsitektur Islam? Karena ia bukan hanya bangunan. Ia adalah peradaban yang mewujud dalam bentuk. Ia seni, sains, spiritualitas, dan strategi lingkungan—semuanya dalam satu tubuh yang tak pernah berhenti berbicara.”

Farah mengulas senyum.

Tepuk tangan pelan menyebar, seperti hujan pertama setelah musim kering panjang.

Zira menyenggol Farah, pelan. “Gimana, puaskan? Dijelasin kan kamu sama ahlinya,” ujarnya setengah mengejek, setengah mengagumi.

“Baik, seperti itu jawaban saya. Apa masih ada pertanyaan lagi, Farah?” tanya Almeer, kembali bersikap sebagai dosen.

Farah mengulas senyum.”Saya punya satu pertanyaan lagi Mr, Mungkin sedikit sensitif.”

Almeer tersenyum samar. “Silahkan Farah.”

.Sementara itu, Zira menepuk pelan bahu Farah—sebagai isyarat agar gadis itu tidak melontarkan pertanyaan yang mungkin terdengar di luar nalar.

“Gini, Mr. Almeer… Islam itu, kalau dilihat dari segi arsitekturnya, punya sejarah yang sangat besar dalam membangun peradaban dunia,” ucap Farah.

Almeer mengangguk pelan, senyum masih terulas di wajahnya.

“Pertanyaan saya,” lanjut Farah, “kenapa harus Islam yang sering dijadikan patokan? Mengapa hampir seluruh dunia mengambil contoh dari arsitektur yang Islam miliki? Padahal di dunia ini ada banyak agama yang juga bisa dipertimbangkan. Jadi… apa sebenarnya keistimewaan Islam dalam arsitektur dunia, Mr?”

Suasana kelas mendadak hening. Para mahasiswa saling berpandangan. Sementara itu, Zira yang duduk di samping Farah tampak tegang—ia menyenggol pelan sahabatnya karena nekat menanyakan hal seperti itu.

Zira tahu Farah sedang berusaha menemukan kembali jati dirinya, tapi bukan dengan cara yang terdengar seolah sedang meragukan eksistensi Islam dalam peradaban dunia.

Almeer menatap Farah dengan ramah, tidak menunjukkan sedikit pun rasa tersinggung. Ia justru tersenyum, memberi isyarat bahwa pertanyaannya diterima dengan baik.

“Pertanyaan yang bagus, Farah,” ucap Almeer dengan nada tenang. “Tidak ada yang salah dengan mempertanyakan hal seperti itu. Justru itu menunjukkan bahwa kamu sedang mencari pemahaman, bukan sekadar menerima sesuatu begitu saja.”

Pria itu menautkan kedua tangannya di meja.

“Kenapa arsitektur Islam sering dijadikan rujukan? Bukan karena Islam ingin memaksakan diri menjadi patokan dunia. Tetapi karena dalam sejarah, arsitektur Islam memiliki pengaruh yang sangat luas—melintasi benua, budaya, bahkan kerajaan.”

Almeer melanjutkan perlahan agar semua mahasiswa bisa mengikutinya.

“Arsitektur Islam itu istimewa karena ia tidak hanya fokus pada bentuk, tetapi juga pada nilai. Ada ilmu matematika, astronomi, seni, filsafat, dan konsep ruang yang selaras dengan kehidupan sosial. Harmoni inilah yang membuat arsitektur Islam meninggalkan jejak kuat dalam peradaban, sehingga banyak bangsa memilihnya sebagai referensi.”

Almeer menatap Farah, lalu kembali melanjutkan.

“Dan tentu saja, agama lain juga punya warisan arsitektur yang luar biasa. Dunia tidak hanya mencontoh satu peradaban saja. Hanya saja, dalam skala sejarah, arsitektur Islam memiliki pengaruh yang sangat besar karena penyebarannya yang luas,” pungkasnya.

Almeer maju beberapa langkah mendekati Farah. “Saya rasa jawaban saya sudah cukup, Farah. Sekarang saya punya pertanyaan untukmu,” ucapnya sambil mengulas senyum.

“Apa yang membuatmu tertarik mempelajari arsitektur dunia, sementara banyak arsitektur dunia memiliki keterkaitan dengan sejarah serta dasar-dasar budaya Islam?”

Zira tersenyum menang. “Jawab, Fa. Kayaknya kamu nanya ke orang yang salah deh,” bisiknya sambil mengerucutkan bibir, sedang mengejek.

Farah tersenyum canggung. Tenggorokannya terasa kering. Ia bahkan tidak tahu harus memulai dari mana.

“Bisa, tolong dijawab, Farah?” suara Almeer kini terdengar.

Sekejap, semua tatapan memaku ke arah Farah.

Farah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ironis—pertanyaannya sendiri kini berubah jadi jebakan.

“Farah… bisa jawab sekarang?” ulang Almeer, nada suaranya santai.

“Eh—

.

.

.

.

.tbc

1
Wilana aira
keren ceritanya, bisa belajar sejarah Islam di Italia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!