Suara Raja Bramasta terdengar tegas, namun ada nada putus asa di dalamnya
Raja Bramasta: "Sekar, apa yang kau lakukan di sini? Aku sudah bilang, jangan pernah menampakkan diri di hadapanku lagi!"
Suara Dayang Sekar terdengar lirih, penuh air mata
Dayang Sekar: "Yang Mulia, hamba mohon ampun. Hamba hanya ingin menjelaskan semuanya. Hamba tidak bermaksud menyakiti hati Yang Mulia."
Raja Bramasta: "Menjelaskan apa? Bahwa kau telah menghancurkan hidupku, menghancurkan keluargaku? Pergi! Jangan pernah kembali!"
Suara Ibu Suri terdengar dingin, penuh amarah
Ibu Suri: "Cukup, Bramasta! Cukup sandiwara ini! Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu tentang hubunganmu dengan wanita ini!"
Bintang Senja terkejut mendengar suara ibunya. Ia tidak pernah melihat ibunya semarah ini sebelumnya.
Raja Bramasta: "Kandahar... dengarkan aku. Ini tidak seperti yang kau pikirkan."
Ibu Suri: "Tidak seperti yang kupikirkan? Jadi, apa? Kau ingin mengatakan bahwa kau tidak berselingkuh dengan dayangmu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainul hasmirati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana yang Tersusun Rapi
Mentari pagi menyinari Kencana Loka, namun tidak mampu menembus ketegangan yang menyelimuti kamar Bintang. Hari pelarian itu semakin dekat, mimpi yang berani namun juga menakutkan. Bintang, Dayang Ratih, dan Gendhis berkumpul, bukan hanya sebagai putri dan pelayan, tapi sebagai sahabat yang mempertaruhkan segalanya.
"Baiklah," Bintang memulai, suaranya bergetar meski berusaha tegar, "mari kita pastikan sekali lagi. Ratih, kau yakin dengan ramuan itu? Tidak akan membuatmu benar-benar sakit, kan?"
Ratih, dengan senyum pahit, menjawab, "Tenang saja, Putri. Hanya akan membuatku tampak seperti kurang tidur seminggu. Cukup untuk membuat penjaga panik dan lupa sekitarnya."
"Ingat," Bintang mengingatkan, "ini bukan hanya tentang kita. Jika ketahuan, Ratih, kau juga akan..."
"Aku tahu risikonya, Bintang," potong Ratih, menatap mata sang putri dengan keyakinan. "Aku melakukan ini bukan karena perintah, tapi karena aku percaya padamu."
Bintang mengangguk, terharu. "Gendhis, jalur rahasia? Apa kau yakin Mbok Darmi bisa diandalkan?"
Gendhis, yang biasanya tenang, tampak sedikit tegang. "Mbok Darmi sudah seperti ibu bagiku. Dia tidak akan mengkhianati kita. Jalur itu... yah, ada beberapa tikus got yang lebih ramah daripada pelayan istana, tapi aku sudah menyiapkan 'alasan'."
"Alasan apa?" tanya Bintang, mengangkat alis.
Gendhis menyeringai. "Aku akan bilang kita sedang mencari jamur ajaib untuk membuatkan Putri sup yang bisa menyembuhkan kesedihan. Mereka akan terlalu bingung untuk bertanya lebih lanjut."
Bintang tertawa kecil, ketegangan sedikit mereda. "Hanya kau yang bisa membuat lelucon di saat seperti ini, Gendhis."
"Seseorang harus menjaga kita tetap waras," jawab Gendhis, bahunya merosot. "Tapi, Putri, aku takut. Aku takut kita akan tertangkap, atau lebih buruk..."
Bintang meraih tangan Gendhis, menggenggamnya erat. "Aku juga takut, Gendhis. Tapi kita tidak sendiri. Kita saling memiliki. Dan kita akan saling menjaga, apapun yang terjadi."
"Putri," Ratih menyela, "bagaimana dengan penjaga di gerbang belakang? Apakah mereka benar-benar akan tertidur?"
"Mbok Darmi sudah mengurus mereka," jawab Bintang. "Dia bilang, 'sedikit ramuan tidur dalam teh hangat akan membuat mereka bermimpi tentang bidadari selama berjam-jam'."
"Mbok Darmi memang legenda," komentar Gendhis, tersenyum tipis. "Aku harap bidadari itu membawa selimut tebal, karena malam ini akan dingin."
Bintang menarik napas dalam-dalam. "Kita harus ingat, rencana ini gila. Jika kita tertangkap, hukuman akan mengerikan. Tapi kita tidak bisa mundur sekarang. Kita melakukan ini untuk kebebasan kita, untuk masa depan kita."
"Kami mengerti, Putri," jawab Ratih dan Gendhis serempak, mata mereka penuh tekad.
"Baiklah," Bintang berkata, "Mari kita berdoa semoga dewa-dewa melindungi kita dan memberikan kelancaran dalam pelarian ini."
Mereka bertiga berpegangan tangan, memejamkan mata, dan berdoa dalam hati masing-masing. Bintang berdoa bukan hanya untuk keselamatan mereka, tapi juga untuk keberanian dan kekuatan untuk menghadapi apapun yang menanti mereka di luar sana.
Setelah beberapa saat, Bintang membuka matanya dan menatap kedua sahabatnya dengan tatapan penuh tekad. "Saatnya tiba," kata Bintang. "Mari kita laksanakan rencana ini."
Dengan hati yang berdebar-debar, Bintang, Ratih dan Gendhis mulai bergerak. Ratih pergi lebih dulu, memberikan pelukan singkat pada Bintang sebelum menghilang di balik pintu.
"Hati-hati, Ratih," bisik Bintang.
Bintang dan Gendhis menunggu beberapa saat sebelum menyusul, memastikan Ratih sudah cukup jauh untuk mengalihkan perhatian para penjaga. Saat mereka berjalan menuju jalur rahasia, Bintang merasa jantungnya berdegup kencang.
"Apakah kau baik-baik saja, Putri?" tanya Gendhis, menyadari kegugupan Bintang.
"Aku baik-baik saja," jawab Bintang, meskipun suaranya sedikit bergetar. "Hanya saja... ini nyata sekarang. Tidak ada jalan untuk kembali."
Gendhis berhenti dan menatap Bintang dengan lembut. "Putri, apapun yang terjadi, aku akan selalu berada di sisimu. Kita akan menghadapinya bersama."
Bintang tersenyum kembali pada Gendhis, merasa sedikit lebih tenang. Mereka terus berjalan, melewati lorong-lorong istana yang sepi dan gelap.
Saat mereka tiba di dapur istana, mereka melihat Mbok Darmi sedang sibuk menyiapkan makanan. Mbok Darmi tersenyum melihat Bintang dan Gendhis.
"Semoga berhasil, Nduk," kata Mbok Darmi, matanya berkaca-kaca. "Jangan lupakan aku saat kalian menjadi ratu di negeri antah berantah."
"Kami tidak akan pernah melupakanmu, Mbok," jawab Bintang, memeluk wanita tua itu erat. "Kau sudah seperti ibu bagiku."
"Berhati-hatilah di jalan," kata Mbok Darmi. "Dan jangan lupa makan yang benar. Putri harus tetap cantik, biar bisa mendapatkan pangeran tampan."
Bintang tertawa kecil, air mata berlinang di matanya. "Terima kasih, Mbok. Kami pergi sekarang."
Bintang dan Gendhis berpamitan pada Mbok Darmi dan melanjutkan perjalanan mereka, menuju hutan di belakang istana. Saat mereka memasuki hutan, Bintang merasa sedikit lega. Udara segar dan suara alam menenangkan hatinya.
"Kita hampir sampai," kata Bintang. "Mari kita terus berjalan."
Mereka terus berjalan menyusuri hutan, mengikuti peta yang dibawa oleh Bintang. Setelah berjalan selama beberapa jam, mereka akhirnya tiba di perbatasan kerajaan. Bintang merasa lega dan bahagia.
"Kita berhasil," kata Bintang, tersenyum lebar. "Kita berhasil melarikan diri dari istana."
"Ya, Putri," jawab Gendhis, tersenyum lega. "Kita berhasil melewati semua rintangan."
"Tapi, perjalanan kita masih panjang," kata Bintang. "Kita harus mencari tempat yang aman untuk beristirahat dan menyusun rencana selanjutnya."
"Kau benar, Putri," jawab Gendhis. "Mari kita cari tempat yang aman di dekat sungai. Kita bisa beristirahat di sana dan mengisi persediaan air."
Bintang dan Gendhis kemudian berjalan menuju sungai yang tidak jauh dari perbatasan kerajaan. Mereka menemukan sebuah gua kecil di dekat sungai dan memutuskan untuk beristirahat di sana.
Saat mereka beristirahat di dalam gua, Bintang merasa sangat lelah dan lapar. Ia mengambil beberapa makanan dari bekal yang mereka bawa dan membagikannya kepada Gendhis.
"Terima kasih, Putri," kata Gendhis. "Aku juga sangat lapar."
"Sama-sama, Gendhis," jawab Bintang. "Kita harus saling membantu dalam situasi seperti ini."
Mereka berdua makan dengan lahap, menikmati setiap suapan makanan. Setelah selesai makan, mereka beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
"Apa rencana kita selanjutnya, Putri?" tanya Gendhis.
Bintang menghela napas. "Aku belum tahu, Gendhis. Aku terlalu lelah untuk berpikir. Yang aku tahu, kita harus menjauh dari Kencana Loka secepat mungkin."
"Aku percaya padamu, Putri," kata Gendhis. "Aku yakin kau akan menemukan solusi yang terbaik untuk kita."
"Terima kasih, Gendhis," jawab Bintang. "Aku juga berharap begitu."
Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki mendekati gua. Bintang dan Gendhis terkejut dan segera bersembunyi di balik batu besar.
"Siapa itu?" bisik Gendhis.
"Aku tidak tahu," jawab Bintang. "Mari kita lihat."
Mereka berdua mengintip dari balik batu dan melihat seorang pria berpakaian compang-camping berjalan mendekati gua. Pria itu tampak lelah dan kelaparan.
"Apakah ada orang di sini?" tanya pria itu dengan suara serak.
Bintang dan Gendhis saling pandang, ragu-ragu untuk keluar dari persembunyian mereka.
"Jangan takut," kata pria itu. "Aku tidak akan menyakiti kalian. Aku hanya ingin meminta sedikit makanan dan air."
Bintang merasa iba pada pria itu dan memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya.
"Siapa kau?" tanya Bintang, suaranya tegas meski sedikit gemetar.
Pria itu terkejut melihat Bintang dan Gendhis. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan seorang putri dan pelayannya di tengah hutan.
"Aku hanyalah seorang pengembara," jawab pria itu. "Namaku Riego. Aku sedang mencari pekerjaan dan tempat tinggal."
"Aku Bintang," kata Bintang. "Dan ini Gendhis. Kami juga sedang mencari tempat yang aman untuk tinggal."
"Kalau begitu, mari kita bergabung," kata Riego. "Kita bisa saling membantu dan melindungi."
Bintang dan Gendhis saling pandang, mempertimbangkan tawaran Riego. Mereka tidak tahu apakah mereka bisa mempercayai Riego, tetapi mereka juga membutuhkan bantuan dan perlindungan.
"Bagaimana menurutmu, Gendhis?" tanya Bintang dengan berbisik.
"Aku tidak tahu, Putri," jawab Gendhis. "Dia tampak jujur, tapi kita tidak bisa begitu saja mempercayai orang asing."
Bintang berpikir sejenak sebelum mengambil keputusan. "Baiklah, Riego," kata Bintang. "Kami akan menerima tawaranmu. Tapi, kau harus berjanji untuk tidak menyakiti kami."
"Aku berjanji," jawab Riego, matanya bersinar dengan harapan. "Aku tidak akan menyakiti kalian. Aku hanya ingin membantu."
"Kalau begitu, mari kita pergi," kata Bintang. "Kita harus mencari tempat yang aman sebelum malam tiba."
Bintang, Gendhis, dan Riego kemudian berjalan bersama menyusuri hutan, mencari tempat yang aman untuk beristirahat.