Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
Edward membopong Ara yang terus meronta dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Kamar dengan tempat tidur berukuran besar mendominasi ruangan. Aroma maskulin yang kuat menguar, aroma yang asing dan mengintimidasi bagi Ara.
"Lepaskan aku, Edward! Ini bukan kamarku!" teriak Ara dengan nada histeris, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. "Sesuai perjanjian, kita tidak seharusnya berada di sini!"
Edward mengabaikan teriakan Ara. Ia membanting wanita itu ke atas tempat tidur dengan kasar, membuat Ara meringis kesakitan.
"Perjanjian?" tanya Edward dengan nada sinis, matanya berkilat marah. "Kau benar-benar percaya dengan omong kosong itu? Kau adalah istriku, Ara. Aku berhak melakukan apapun yang kuinginkan."
Ara menggelengkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia ketakutan, sangat ketakutan.
"Jangan lakukan ini, Edward," mohon Ara dengan nada bergetar. "Aku mohon, jangan sakiti aku."
Edward tidak menjawab. Ia mulai melepaskan kemejanya yang basah, melemparnya sembarangan ke lantai. Ara memalingkan wajahnya, tidak sanggup melihat tubuh Edward yang kekar dan telanjang.
"Aku tidak mau," bisik Ara dengan nada lirih, tubuhnya bergetar hebat. "Aku tidak mau disentuh olehmu!"
Edward tidak menghiraukan permohonan Ara. Ia meraih tangan wanita itu dan berusaha melepaskan gaun yang dikenakannya.
"Lepaskan aku!" teriak Ara dengan nada histeris, meronta sekuat tenaga. "Jangan sentuh aku!"
Edward mencengkeram pergelangan tangan Ara dengan erat, membuat wanita itu meringis kesakitan.
"Diam!" bentak Edward dengan suara menggelegar, wajahnya memerah karena amarah. "Jangan membuatku kehilangan kesabaran!"
Dengan kasar, Edward berhasil melepaskan gaun Ara, menyisakan pakaian dalam tipis yang basah dan menempel di tubuhnya. Ara meringkuk, berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan yang gemetar.
"Aku mohon, Edward," ucap Ara dengan nada memelas, air mata semakin deras mengalir di pipinya. "Jangan lakukan ini padaku. Aku tidak mau."
Pikiran Ara kemana-mana. Ara takut Edward melakukan sesuatu padanya. Meskipun, itu tidak akan mungkin.
"Kau mikir apa, hah! Kau pikir aku tertarik pada tubuhmu?!" serunya.
Edward terdiam sejenak, menatap Ara dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada amarah, nafsu, dan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam dan tersembunyi.
Tiba-tiba, Edward merasakan sesuatu yang aneh. Sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sengatan listrik kecil di bagian tubuhnya yang selama ini mati rasa. Ia terkejut, namun berusaha menyembunyikannya.
"Kau adalah istriku," desis Edward dengan nada dingin, berusaha mengendalikan dirinya. "Dan kau harus menuruti semua perintahku."
Edward mendekat, namun kali ini dengan gerakan yang lebih lembut. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Ara dengan lembut.
"Jangan takut," bisik Edward dengan nada yang hampir tidak terdengar. "Aku tidak akan menyakitimu."
Ara menatap Edward dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Pria ini berubah-ubah, kadang kasar dan kejam, kadang lembut dan perhatian.
Edward mendekatkan wajahnya ke wajah Ara, mencium kening wanita itu dengan lembut. Ara memejamkan matanya, merasakan sentuhan Edward yang anehnya terasa nyaman.
"Aku tahu ini sulit bagimu," bisik Edward. "Tapi aku tak akan membuatmu menangis asal kau menurut padaku."
Ara membuka matanya dan menatap Edward dengan tatapan ragu. Apakah ia bisa mempercayai pria ini?
Edward tersenyum dingin dan mengusap air mata di pipi Ara.
"Istirahatlah," ucapnya. "Kau pasti sangat lelah."
Edward menyelimuti Ara dengan selimut tebal dan beranjak dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi tanpa mengatakan apapun.
Ara terbaring di tempat tidur, tubuhnya menggigil kedinginan. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Ia hanya merasa bingung, takut, dan lelah.
Ia memejamkan matanya dan berusaha untuk tidur. Namun, pikirannya terus berputar-putar, memikirkan Edward dan semua kejadian yang baru saja dialaminya.
**
Pagi harinya, Ara terbangun dengan tubuh yang terasa remuk redam. Kepalanya pusing, tenggorokannya sakit, dan seluruh tubuhnya menggigil. Ia merasa demam.
Edward masuk ke kamar, wajahnya datar seperti biasa. Namun, Ara bisa melihat sedikit kekhawatiran di matanya.
"Apa yang terjadi?" tanya Edward dengan nada dingin, namun terdengar sedikit cemas.
Ara berusaha untuk duduk, namun tubuhnya terlalu lemas. Ia hanya bisa berbaring di tempat tidur, menatap Edward dengan tatapan sayu.
"Aku merasa tidak enak badan," jawab Ara dengan suara serak. "Sepertinya aku demam."
Edward mendekat dan menyentuh kening Ara dengan tangannya. Ia terkejut merasakan suhu tubuh Ara yang sangat tinggi.
"Kau demam tinggi," ucap Edward dengan nada khawatir. "Kenapa kau tidak bilang?"
"Aku tidak mau merepotkan mu," jawab Ara lirih.
Edward mendengus. "Merepotkan? Sudah menjadi tugasku untuk menjagamu," ucap Edward dengan nada ketus, namun terdengar lembut di telinga Ara.
Edward berbalik dan berjalan menuju meja di sudut kamar. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Bobby, siapkan mobil. Kita harus membawa Ara ke rumah sakit," perintah Edward dengan nada tegas.
Edward menutup telepon dan kembali mendekati Ara. Ia menatap wanita itu dengan tatapan khawatir.
"Bertahanlah," ucap Edward dengan nada lembut. "Aku akan membawamu ke rumah sakit. Kau akan baik-baik saja."
Ara tersenyum tipis. Ia merasa sedikit lega dan bahagia melihat kekhawatiran Edward. Mungkin, di balik sikap dingin dan kasarnya, pria itu memiliki hati yang lembut.
**
Di dalam mobil, Bobby melirik Edward yang duduk di samping Ara. Wajah tuannya itu tampak tegang dan khawatir.
Bobby hanya bisa membatin, "Tumben sekali Tuan Edward perhatian. Apa kepalanya baru terbentur? Atau jangan-jangan, dunia sudah mau kiamat?"
Bobby menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran anehnya. Edward adalah pria yang sulit ditebak. Kadang dingin dan kejam, kadang lembut dan perhatian.
Intinya Bobby tidak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiran tuannya itu.
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul