Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah.
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
degup yang tak seharusnya ada
Syahnaz bangun lebih pagi dari biasanya. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi apartemen kecilnya. Ia mencoba menenangkan diri dengan kesibukan: mencatat pesanan kue, menimbang bahan, menyalakan oven. Namun, pikiran tentang pria bernama Reyhan itu terus muncul tanpa diundang.
“Kenapa dia bisa tahu apartemenku? Dan kenapa… terasa nggak asing?,seperti sudah pernah ketemu bertahun-tahun yg lalu” batinnya.
"Kenapa harus nama yang sama, yaa Rabb?... Kenapa namanya sama dengan kak Reyhan yang sudah lama tiada!?" pikirnya penuh tanda tanya.
Namun lamunannya buyar saat tercium bau hangus.
“Bau apa ini?...” batinnya bergumam, lalu tersadar.
“Astagfirullaah Syahnaz!! Ya Allah... gosong donk kuenya!!” serunya panik sambil membuka oven dengan tergesa.
“Duh, mana harus diantar siang ini lagi…” gumamnya cemas.
Tapi ia cepat menepuk pipinya sendiri dan berkata,
“Ayo semangat Syahnaz, kamu bisa! Ini pesanan hajatan orang, jangan sampai gagal!”
Setelah semuanya selesai, Syahnaz buru-buru berganti pakaian dan berangkat mengantarkan pesanan. Motor scoopy-nya melaju pelan melewati jalan-jalan besar hingga tiba di kawasan perumahan elit.
“Waah... mewah banget rumahnya,” ucapnya kagum saat berhenti di depan pagar tinggi berukir emas.
“Kenapa orang sekaya ini mau pesan kue di tempatku, ya? Aku aja belum punya toko, apalagi karyawan,” batinnya heran, tapi tetap menekan bel.
Tak lama, seorang penjaga keluar dan mempersilakannya masuk. Wanita paruh baya berusia sekitar 45 tahun menyambutnya ramah, mempersilakan ia meletakkan kue di meja tamu.
“Tunggu sebentar ya, saya ambil uangnya dulu,” ujar wanita itu.
“Iya, Tan,” jawab Syahnaz sopan, berdiri di dekat pintu.
Namun tiba-tiba, langkah kaki cepat terdengar dari arah pintu. Seorang remaja laki-laki muncul — rambutnya acak-acakan, sudut bibirnya berdarah, seragamnya kusut seperti habis berkelahi. Ia berjalan cepat melewati Syahnaz menuju tangga.
Sesaat, mata mereka bertemu.
Dan jantung Syahnaz langsung berdegup cepat.
“Bukannya dia... orang yang waktu itu nyelamatin aku? Waktu aku dikejar Reyhan...” batinnya menatap tak percaya.
Lamunannya buyar saat suara wanita itu membentak.
“Rakhaa!!! Ngapain kamu pulang!? Bukannya sekolah!? Pasti berantem lagi, ya!”
Wanita itu menatap anaknya dengan napas memburu.
“Mau jadi apa kamu, Rakha!? Mau jadi kayak kakak kamu!? Berandalan, nggak keurus!”
Syahnaz hanya bisa berdiri mematung, menunduk tanpa tahu harus berbuat apa.
“Hmm... apa aku pulang aja, ya? Nggak papa deh nggak dibayar, orangnya lagi marah begini,” batinnya bergumam. Ia pun melangkah pelan-pelan keluar rumah tanpa suara — meninggalkan uang pembayarannya demi menghindari suasana yang semakin panas.
......................
Syahnaz memutar motornya dan bersiap meninggalkan rumah itu. Tepat di gerbang, ia berpapasan dengan seorang pria berjaket kulit, memakai helm full face, dan menunggang motor bergaya khas anak geng motor. Tatapan mereka sempat bertemu beberapa detik sebelum akhirnya Syahnaz segera melaju pergi.
Mungkin itu kakaknya yang dimaksud tante tadi, batinnya menduga.
“Yaa Allah... anak-anak zaman sekarang, dikit-dikit geng motor, dikit-dikit tawuran, dikit-dikit berkelahi. Nggak capek apa? Ngerugiin diri sendiri,” gumamnya heran sambil menggeleng pelan.
Setibanya di apartemen, ia memarkir motornya dan naik ke lantai atas. Begitu membuka pintu, hawa panas membuatnya mengelap peluh di wajah.
“Huh... panas banget hari ini, ya Allah,” ujarnya sambil menjatuhkan diri ke sofa.
Beberapa menit berlalu, tiba-tiba bel apartemennya berbunyi.
Teng—nong!
“Siapa, ya?” gumamnya. Ia berjalan ke pintu dan mengintip lewat lubang kecil. Alisnya terangkat—seorang remaja laki-laki berdiri di depan pintu apartemennya.
“Hah… ngapain dia di sini?” batinnya bingung.
Perlahan, Syahnaz membuka pintu.
“Siapa?” tanyanya pura-pura tak tahu.
“Hai, Rakha. Itu nama gue. Ini bayaran dari nyokap gue tadi,” ucap remaja itu santai, menyodorkan amplop kecil berisi uang.
“Oh… makasih,” jawab Syahnaz, berniat segera menutup pintu dan kembali ke dalam.
“Tunggu,” panggil Rakha cepat.
Syahnaz menoleh lagi. “Iya?”
“Kayaknya… sebelumnya kita pernah ketemu, ya?” tanya Rakha sambil menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Iya, barusan tadi di rumah kamu,” jawab Syahnaz cepat, berusaha menghindar.
“Bukan yang itu. Gue maksud… lu kan yang tiba-tiba nyamperin gue waktu di parkiran kafe?” Rakha tertawa kecil, mengingat kejadian itu.
Wajah Syahnaz langsung memanas. Ia ingat betul momen memalukan itu—saat dirinya tanpa aba-aba naik ke motor Rakha dan menyuruhnya pergi begitu saja.
Duh, kenapa sih harus diingat lagi! batinnya menjerit malu.
“Oh, itu… hehe, iya. Aku baru ingat,” katanya sambil menggaruk kepala, gugup dan kaku bersamaan.
“Syahnaz, kan?” Rakha memastikan, menatapnya sambil tersenyum manis—senyum yang justru makin mencolok dengan luka kecil di ujung bibirnya.
“Iya, Syahnaz,” jawabnya cepat.
“Gue tau nama lu dari toples kue tadi. Btw, kue yang lu buat enak banget,” puji Rakha tulus.
“Hehe… makasih,” balas Syahnaz dengan senyum canggung.
Rakha menatapnya sejenak sebelum bersuara lagi, “Hmm… kalau gitu, gue boleh minta nomor lu nggak? Tenang aja, bukan buat apa-apa, ukhti.” Nada suaranya menggoda.
Syahnaz hampir tersedak udara. “Eh—tapi di toplesnya kan udah ada nomor WhatsApp-ku,” jawabnya kikuk.
Rakha tertawa kecil. “Oh iya, gue lupa. Yaudah, gue pamit, byee ukhti,” ucapnya sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
Begitu pintu tertutup, Syahnaz menghembuskan napas panjang.
“Huh… akhirnya. Ya Allah, canggung banget tadi,” desahnya lega sambil menepuk dadanya.
Namun bayangan wajah Rakha justru kembali menari-nari di kepalanya.
“Kok bisa, ya… orang luka di ujung bibir malah kelihatan cakep banget tadi,” gumamnya sambil menatap langit-langit, berbaring di sofa.
Beberapa detik hening. Lalu, spontan ia bangun.
“Astagfirullah… kenapa aku deg-degan, sih? Ya Allah, Syahnaz!” serunya panik, mencoba mengusir pikiran itu. Ia pun bergegas ke dapur, berusaha menenangkan diri dengan memasak makan siang.
Namun pikirannya kembali dipenuhi tanya.
“Kenapa dia mau aja disuruh nganterin uang tadi? Bukannya dia habis kena marah? Dan… waktu di rumah, wajahnya jelas banget kayak lagi nahan amarah. Kok bisa-bisanya dia mau nganterin uang?” batinnya bergumam bingung.
“Jangan-jangan… dia sendiri yang minta buat nganterin uang itu?” pikirnya lagi, keningnya berkerut.
“Tapi kalau iya, buat apa? Biar ketemu aku? Atau cuma mau ngejek aku, biar aku malu kayak tadi?” pikirannya terus berputar, tak mau diam.
Syahnaz memegang kepalanya, mendesah kesal.
“Duhhh! Ngapain sih aku mikirin itu?!” serunya frustrasi. “Nggak bermanfaat juga, Syahnaz!!”
Ia menepuk pipinya pelan, mencoba menenangkan diri, tapi rasa kesal dan bingung itu masih saja menempel di benaknya.
“Tapi… kok bisa dia tau alamat apartemenku, ya?” batinnya mulai gelisah. “Bukannya nggak ada yang tau tempat ini selain Zio dan si serem… Reyhan?”
Ia memegangi kepalanya, mencoba mencari logika di balik semua itu.
Akhhh! Jangan-jangan… dia tadi ngikutin aku! Ya Allah, Syahnaz! Kamu kan pergi aja tanpa pamit, tanpa salam pula!” gerutunya sendiri, setengah kesal, setengah takut.
Syahnaz mendesah berat, lalu menjatuhkan diri di kursi meja makan. “Tau ah… capek,” gumamnya pelan. “Mending tidur aja kalau gini.”
Ia pun bangkit, berjalan gontai menuju kamar. Rasa lapar yang tadinya menggoda kini lenyap, tergantikan oleh pikiran yang terlalu berisik memenuhi kepalanya.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.