Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Ke Kantor
Selama ini Daren selalu sibuk dengan dunia bisnis. Meeting. Kontrak. Angka.
Tapi hari ini?
Ia belajar bahwa kebahagiaan ternyata sesederhana ini.
Malam itu kamar terasa hangat. Lampu tidur menyala lembut, udara sejuk dari AC mengisi ruangan. Selena sudah berbaring dengan posisi menyamping, punggungnya menghadap pada Daren. Ia tidak tidur—hanya diam, memeluk guling sembari memainkan ujung selimut.
Daren yang baru saja selesai merapikan lampu, naik ke tempat tidur dan ikut berbaring di belakang istrinya.
“Sel,” panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban.
Daren mengernyit, kemudian mengulangi dengan suara sedikit lebih keras, “Selena?”
Masih tidak ada reaksi.
Akhirnya, dengan rasa penasaran yang bercampur khawatir, Daren mencondongkan tubuh dan melirik wajah istrinya. Selena masih terjaga—matanya terbuka, tapi jelas sedang pura-pura tidak mendengar.
“Heh… kamu kenapa?” tanya Daren sambil mengusap lengan Selena pelan. “Aku panggil dari tadi, kok nggak jawab-jawab?”
Selena memutar badannya perlahan menghadap ke arah suaminya, wajahnya cemberut lucu.
“Aku nggak mau jawab kalau kamu masih panggil aku ‘Sel-Sel’,” ucapnya dengan bibir manyun. “Aku aja nurut kok kalau kamu minta aku panggil ‘Mas’. Tapi kamu kok manggil aku cuma ‘Sel’? Kayak aku lagi jadi… tahanan.”
Daren mengerjap, tak menyangka alasannya sesederhana itu. “Hah? Tahanan?”
Selena mengangguk serius. “Iya. Sel. Kayak singkatan sel tahanan.”
Daren menutup wajah dengan tangannya sambil tertawa pelan. “Ya Tuhan, kamu lagi hamil atau lagi lebay akut, sih?”
Selena makin cemberut. “Pokoknya aku nggak mau dipanggil Sel.”
Daren mendekat, menangkup pipi istrinya dengan kedua tangan.
“Terus kamu mau aku panggil apa, hm? Sayang? Beb? Baby? Mama? Bunda?” Tanyanya sambil menahan tawa. “Atau… Adinda?”
Selena memukul dadanya pelan. “Mas! Serius.”
“Ya aku serius,” Daren mendekatkan wajah, tatapannya lembut. “Kamu maunya dipanggil apa? Bilang.”
Selena terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawah, malu di tengah cemburu tak jelasnya.
“Aku mau dipanggil… Nay.”
Daren mengangkat alis. “Nay?”
“Nama tengah aku kan Nayara,” jelas Selena pelan. “Nay tuh kedengeran lebih… spesial. Bukan kayak… sel tahanan.”
Daren menahan senyum. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat, hidung mereka hampir bersentuhan.
“Nay sayang…” panggilnya pelan.
Selena menundukkan wajah, pipinya memanas.
Daren tersenyum, lalu menarik Selena masuk ke dalam pelukannya.
“Nama itu cuma boleh aku yang pake. Orang lain manggil kamu apa aja terserah. Tapi aku…” suara Daren turun menjadi lebih rendah, lebih intim, “…aku panggil kamu Nay sayang karena kamu tempat pulangku.”
Selena memejamkan mata, air hangat berkumpul di sudut matanya. Bukan karena sensitif kehamilan saja, tetapi karena hatinya penuh.
“Kamu suka dipanggil Mas, aku suka dipanggil Nay,” gumam Selena lirih.
“Deal.” Daren mengecup keningnya lembut. “Mas dan Nay.”
Selena terkekeh pelan. “Kita kedengeran kayak pasangan FTV.”
“FTV nggak pernah punya pasangan seenak ini,” balas Daren yang membuat Selena tertawa.
Daren meraih tangan Selena dan menaruhnya di dadanya, tepat di atas detak jantungnya.
“Sekarang tidur, Nay.” Ia mengusap rambut istrinya pelan. “Aku ada dongeng baru. Buat kamu dan dedek.”
Selena mengerjap. “Beneran ada?”
Daren mengangguk mantap. “Tentang seorang pria yang jatuh cinta tiap hari pada perempuan yang sama.”
Selena tersenyum, wajahnya tenggelam di dada suaminya.
“Mas,” bisiknya pelan. “Terima kasih.”
“Kok terima kasih?”
“For loving me… bahkan saat aku lebay.”
Daren tertawa pelan dan mencium puncak kepala istrinya.
“Lebay kamu aja lucu kok.”
Dan malam itu, sebelum terlelap, Selena mendengar suaminya mulai bercerita—tentang cinta yang tumbuh setiap hari.
Untuk dirinya.
Untuk keluarga kecil mereka.
Dan untuk kehidupan baru yang sedang mereka tunggu.
---
Selena tak bisa berhenti tersenyum sejak pagi.
Hari ini ia ikut Daren ke kantor—bukan karena ada keperluan penting, tetapi karena ia ingin berada di dekat suaminya sepanjang hari. Entah kenapa sejak hamil, ia seperti memiliki magnet yang menempel kuat pada Daren. Ia ingin dekat. Ingin melihat. Ingin berada di radius satu meter dari suaminya.
Daren masih mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung sampai siku. Rahangnya tegas, rambutnya rapi, dan bau parfumnya memenuhi interior mobil—hangat dan menenangkan.
Selena duduk di kursi penumpang, memegang tasnya dengan semangat seperti anak kecil yang ikut field trip.
“Sayang,” panggil Daren sambil menyalakan mesin mobil. “Nanti di ruanganku kamu istirahat aja di kamar. Kalaupun kamu bosan, tinggal panggil aku.”
Selena mengangguk cepat. “Iya. Tapi nanti kamu pesenin makanan yang banyak ya.”
Daren menoleh ke arahnya dengan ekspresi penuh dedikasi.
“Tenang. Semua yang kamu mau, Mas kabulkan.”
Selena terkikik puas.
Setelah sampai di kantor, Daren memarkirkan mobil di lahan parkir VIP. Begitu mesin mobil mati, Daren memutar tubuhnya menghadap Selena.
“Sayang, kamu beneran mau ikut? Nanti kamu bosan loh,” ucap Daren sambil melepas sabuk pengamannya.
Selena tidak menjawab, hanya memandang dengan tatapan seperti kucing manja.
“Aku pengen sama kamu terus,” ujarnya jujur. “Kalau nggak sama kamu… nanti aku muntah-muntah lagi gimana?”
Daren mengerjap. “Hubungannya apa sama aku?”
“Tiap aku jauhan dari kamu, aku pusing,” jawab Selena datar sambil memegang perutnya. “Kayaknya dedeknya protes.”
Daren mendadak terdiam.
…SEJAK KAPAN bayi kecil itu sudah bisa ngatur mood ibunya?
Ia menggeleng, menahan tawa sekaligus bingung.
“Bayi kamu atau kamu yang protes kalau aku jauh?”
Selena pura-pura serius, menunjuk perutnya dengan dramatis.
“Kami bekerja sama.”
Daren menggosok wajahnya, antara ketawa dan menyerah pada dua makhluk yang paling ia cintai itu.
“Baiklah,” gumamnya sambil membuka pintu untuk Selena. “Calon ayah ini tunduk pada dua bos sekaligus.”
Selena menautkan lengan pada lengan Daren ketika mereka berjalan masuk ke lobi kantor. Para pegawai menunduk hormat pada Daren, namun pandangan mereka tanpa sadar beralih pada Selena.
CEO mereka datang… membawa istri.
Dan istrinya clingy banget.
Selena menempel di sisi Daren seperti stiker di laptop.
Beberapa staf yang lewat bahkan saling berbisik:
“Biasanya Pak Daren datang sendiri…”
“Bu Selena ikut kerja?”
“Romantis banget, lihat tuh cara Pak Daren megang tangannya.”
Daren sempat mendengar gumaman itu dan hanya tersenyum pelan—tatapan kepemilikan jelas terpampang di wajahnya.
Begitu sampai di ruang kerja besar dengan pintu kaca buram dan sofa empuk di pojok ruangan, Daren membuka pintu untuk Selena.
“Nay,” panggilnya lembut. “Kamu masuk kamar dulu. Mas cek beberapa dokumen.”
Selena duduk di kasur kamar, kemudian memanggilnya lagi saat Daren hendak ke meja kerja.
“Mas!”
Daren berhenti dan menoleh cepat. “Kenapa? Pusing? Mual?”
Selena menggeleng.
“Aku kangen.”
Baru dua detik mereka berjauhan.
Daren menghela napas—menyerah total.
Ia berjalan kembali ke kasur, menunduk, mencium kening Selena.
“Kalau kamu gitu terus…” suaranya turun rendah, “…Mas bisa nggak kerja hari ini.”
Selena tersenyum puas, menautkan jari pada kemeja Daren.
“Aku duduk sini kok. Janji.”
Daren menepuk pipinya pelan sebelum kembali ke meja kerja.
Selena mengikuti setiap gerakan Daren dari kasur seperti penonton yang sedang menonton konser idolanya.
Dan Daren… meski mencoba fokus, sudut bibirnya terus terangkat.
Dalam hati, ia mengakui satu hal:
Sejak Selena hamil, hidupnya jadi lebih repot—
tapi jauh lebih manis.
---
Selena keluar dari kamar kecil di dalam ruangan kerja Daren, langkahnya pelan tapi mantap. Ia menghampiri suaminya yang sedang fokus mengetik laporan di laptop. Daren bahkan tidak menyadari kehadirannya sampai Selena berdiri tepat di samping meja.
“Mas…” panggil Selena pelan.
Daren langsung menoleh, satu alisnya terangkat. “Ada apa, hm?”
Selena menggigit bibirnya. Ia ingin bicara, tapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. “Mmm…”
“Kalau kamu butuh sesuatu tinggal bilang aja,” ucap Daren sambil meraih tangan Selena dan menepuknya lembut. “Mau makanan tambahan? Aku pesenin lagi. Atau kamu mual?”
Selena geleng pelan. Wajahnya memerah.
“Aku… boleh cium kamu nggak?” tanyanya lirih.
Daren refleks terbelalak. “Hah? Cium?”
Selena cepat-cepat menunduk, menyembunyikan wajahnya. “Iya. Tapi ini anak kamu yang mau, bukan aku!” Ia menunjuk perutnya dramatis.
Daren nyaris tertawa tapi berhasil menahannya. “Oh jadi sekarang anak kita yang disalahin, bukan istrinya yang lagi manja?”
Selena langsung manyun. “Iya ini craving, Mas. Anak kamu pengen cium Mas. Aku cuma perantara.”
Dengan gerakan lembut, Daren memutar kursinya menghadap Selena. Ia menarik tangan istrinya agar berdiri lebih dekat. “Kalau anak kita mau, masa ayahnya nolak?”
Selena makin merah.
Daren mencondongkan tubuh, dan mengecup kening Selena lama—hangat, lembut, penuh sayang.
Selena protes kecil. “Ih bukan di situ, Mas…”
“Oh, lokasi spesifik?” Daren menahan tawa. “Ibu hamil dan anaknya ini mintanya di mana?”
Selena mendekat, menatap bibir Daren sebentar, lalu berbisik, “Di sini…”
Daren akhirnya menangkup pipinya dan memberikan ciuman lembut di bibir. Tidak lama, tidak dalam—sejenis ciuman yang membuat Selena seperti meleleh di tempat.
Begitu selesai, Selena menempelkan kedua tangannya ke wajahnya sendiri, malu setengah mati. “Aku… mau cium lagi.”
Daren berdiri, mencium puncak kepala istrinya. “Kalau kamu minta baik-baik, Mas siap 24 jam.”
“Tapi… nanti dilihat pegawai kantor…”
“Biarin. Semua orang di kantor harus tahu kalau istri CEO manis banget.” Daren meraih pinggang Selena dan memeluknya pelan. “Dan kalau istri aku lagi nempel kayak perangko, itu bukan salah siapa-siapa. Itu… salah anak kita.”
Selena mendengus geli. “Beneran Mas banggain banget bisa dipanggil Mas sama aku ya?”
Daren mengangguk mantap. “Banget. Kamu panggil Mas aja aku udah seneng, apalagi kalau kamu yang minta cium duluan.”
Selena memukul dada Daren pelan. “Jangan godain, nanti aku beneran jadi malu.”
Daren tertawa rendah, memeluknya lebih erat. “Sayang, kamu istri aku. Sama aku, kamu nggak perlu malu.”
Di luar ruangan, beberapa pegawai yang lewat pura-pura sibuk menunduk, tapi raut wajah mereka jelas berbicara:
CEO kita di-cium sama istrinya lagi di jam kerja.
Mohon maaf, kantor ini makin lama makin jadi sinetron romantis.
Dan Daren tidak peduli. Yang penting istrinya bahagia.
---
Gimana bab kali ini? Seru?