Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 19
Ya, Meghan tertinggal. "Nathan, Meghan masih di dalam! Aku dengar ada suara banyak pria yang masuk ke dalam toilet!" ucap Regina panik, suaranya bergetar seperti daun ditiup angin kencang.
Nathan menelan ludah kasar. Ia tahu Meghan ahli berkelahi, tapi ia juga khawatir pada rekannya itu. "Ayo, Nona, jangan khawatirkan Meghan. Dia ahli di bidang ini. Tahu kenapa Nona selalu bersama Meghan? Karena Tuan Bima percaya pada kemampuan Meghan," ucap Nathan sambil terus menyorot jalan setapak, cahayanya menari-nari menerangi kegelapan, membimbing perjalanan mereka.
Setelah berjalan beberapa meter, akhirnya mereka menemukan jalan besar. Rupanya, anak buah Bima yang lain sudah bersiaga di sana.
Sementara itu, Edward membawa Bima langsung ke apartemen untuk menghindari kontak dengan Regina. Bima sadar betul dirinya sudah terpengaruh obat perangsang.
Bima berdiri di bawah pancuran air dingin, mengguyur seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki.
Apartemen milik Bima memang dilengkapi kamar mandi di dalam kamar, jadi tak perlu repot keluar ke kamar mandi dekat dapur.
Tubuh Bima menggigil menahan dingin, namun efek obat belum sepenuhnya hilang. Hasratnya masih membara seperti bara api yang disiram air, hanya meredup namun tak padam.
Edward setia menunggu di depan pintu kamar tamu yang digunakan Bima, agar tak mengganggu Regina. Namun, perut Edward terasa tidak nyaman, ia pun memutuskan ke toilet sebentar. Tanpa ia sadari, Regina sudah tiba di depan pintu apartemen.
Regina mencari sosok Bima di setiap kamar yang ia buka, namun tak kunjung menemukannya. Hingga akhirnya, ia mendengar gemericik air dari dalam kamar tamu.
Tanpa ragu, ia mencoba menekan gagang pintu, namun terkunci. Regina melihat kunci menempel di lubang kunci, ia pun memutar kunci tersebut dan pintu terbuka.
Perlahan, ia melangkahkan kaki, hingga sampai di kamar mandi. Ia terkejut melihat suaminya terduduk di lantai dengan air pancuran yang masih mengalir membasahi tubuh Bima.
"Sayang," panggil Regina. Mendengar suara sang istri, Bima langsung menoleh. Ia hanya berpikir ini adalah ilusi dari efek obat tersebut, tanpa sadar bahwa itu benar Regina, istrinya.
Regina membantu Bima bangkit, melepaskan semua pakaian basah Bima, dan mengelapnya dengan handuk. Bima mulai merasakan efek obat itu muncul kembali, bagai gelombang panas yang menerjang tubuhnya.
"Sayang, tolong aku," ucap Bima dengan suara serak, berusaha menahan hasratnya.
Regina paham. Ia melucuti semua pakaiannya, dan terjadilah pergumulan panas sepanjang malam.
Edward telah kembali. Ia terkejut mendapati pintu kamar tamu terbuka lebar. Dari dalam, ia mendengar suara desahan keduanya. Edward hanya bisa menepuk jidatnya, ia menutup pintu kamar dan mencari kamar lain untuk beristirahat.
Keesokan paginya...
Bima terbangun karena sinar matahari yang menyelinap melalui celah tirai, mengusik tidurnya. Ia menggelengkan kepala, merasakan pusing yang berdenyut, mungkin efek obat itu belum sepenuhnya hilang.
Ia melihat tubuhnya polos sempurna, hanya tertutup selimut. Di sebelahnya, ada Regina, sang istri, yang masih terlelap. Sejenak, ia tersenyum, namun ingatannya membawanya kembali pada malam itu.
Kilas adegan tersusun seperti gambar-gambar kecil yang berputar di benaknya "Ah, sudah, Bima, perih, ini sakit," "Bima, tolong, kumohon berhentilah," "Bima, aku capek," suara Regina merintih kesakitan.
Dari beragam posisi telah ia lakukan, kepingan ingatan itu terus menghantuinya. Ia menarik paksa selimut yang menutupi tubuh Regina.
Tampak bercak merah di sela pahanya. Mata Bima melebar. Bercak itu tidak hanya di paha, tapi sudah merata di seprai dan selimut yang ia kenakan. Darah itu bagai tinta merah yang melukiskan penyesalannya.
Ia segera membangunkan Regina, tapi istrinya tak kunjung membuka mata. Ia panik, jantungnya berdegup kencang.
Ia segera memakai boksernya, lalu menggendong tubuh istrinya yang terbungkus selimut keluar dari kamar.
Edward dan Nathan sudah duduk di sofa ruang tamu. Mereka terkejut mendengar teriakan Bima, "Siapkan mobil ke rumah sakit sekarang!" perintah Bima dengan suara tegas namun bergetar.
Nathan membuka pintu apartemennya, sementara Edward berlarian membukakan pintu mobil. Nathan sudah menyalakan mesin mobil. Bima memasukkan tubuh Regina perlahan, lalu ia duduk masih memangku tubuh istrinya.
Di sepanjang jalan, diciuminya tubuh lemah sang istri. Sungguh, ia menyesali perbuatannya. Jika bisa diulang, ia lebih baik tidak pergi ke pesta itu.
"Cepat, Nathan!" bentak Bima, mendesak Nathan untuk menambah kecepatan mobil. "Iya, Tuan," jawab Nathan. Ia tahu Bima panik dan sangat mengkhawatirkan Regina, tetapi ia juga tidak boleh gegabah dalam mengemudi. Salah-salah mereka semua tak akan selamat.
Akhirnya, setelah dua puluh menit perjalanan yang terasa bagai siput, mereka tiba di rumah sakit. Edward sudah membukakan pintu mobil. Bima keluar dan menggendong tubuh istrinya sembari berteriak, "Perawat, tolong!" Satpam dan perawat yang berjaga pun berlarian mengambil brankar.
Bima meletakkan tubuh Regina di atas brankar. Perawat dan satpam bersiap mendorong brankar tersebut. Nathan menahan tubuh Bima dengan memegang pundaknya.
Bima ingin protes, tetapi Nathan sudah lebih dulu menyodorkan satu setel baju santai. Ia melirik tubuhnya, ternyata ia hanya mengenakan bokser.
Pantas saja beberapa pengunjung memandang heran ke arahnya. Ia memilih masuk ke dalam mobil untuk memakai bajunya. Edward menyodorkan air mineral.
Bima membuka botolnya lalu menyiram wajahnya hingga air berkurang setengah, kemudian meneguk sisanya hingga tandas. Ia melempar botol kosong itu ke tempat sampah.
Nathan memberikan sekotak makanan. Bima menggeleng, "Kamu pikir aku bisa makan, dengan keadaan istriku saat ini?" geram Bima. Nada suaranya setajam pisau.
"Aku tahu, tapi setidaknya kuatlah untuk Regina. Makan sedikit, isi perutmu. Dari semalam kamu belum makan," ucap Nathan.
Bima mengangguk. Ia mengambil kotak nasi itu dan membukanya. Ia tertegun dengan isian kotak tersebut, nasi dan ayam ketumbar dengan lalapan.
Masakan terakhir yang sama persis seperti yang dimasak Regina kemarin untuk makan malamnya. Bima tersenyum kecut. Senyumnya pahit bagai empedu. Ia memaksa memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.
Meskipun terasa pahit, ia tetap memaksakan makanan itu masuk. Benar kata Nathan, setidaknya ia harus kuat untuk Regina, karena istrinya hanya memilikinya.
Ia adalah satu-satunya tempat Regina bergantung.
Setelah makan, Bima bergegas masuk untuk melihat keadaan istrinya. Edward menuntunnya menuju ruang IGD.
Bima menjatuhkan tubuhnya di kursi dengan kasar hingga kursi itu berderit. Ia menjambak rambutnya frustrasi, pertanyaan tajam menusuk benaknya apa yang ia lakukan semalam sehingga membuat istrinya dalam keadaan kritis? Penyesalan itu menghimpitnya bagai batu besar.
Edward duduk di sampingnya. "Maafkan saya, Tuan," ucap Edward menjelaskan dengan suara bergetar menahan rasa bersalah. "Saya lalai. Saya tak tahu jika Nyonya sudah pulang karena semalam perut saya tak nyaman."
Entah mengapa, setelah mengikuti keseharian Bima dan Regina, Edward mulai menyayangi keduanya seperti saudaranya sendiri. Terlebih lagi, saat santai bersama, mereka memperlakukan dirinya layaknya bagian dari keluarga, kehangatan yang belum pernah ia rasakan.
Edward, yang selama ini hidup sebatang kara di bawah naungan Damar, merasakan kesendirian yang dingin. Kini, ia baru merasakan indahnya memiliki keluarga yang benar-benar menganggapnya bagian dari mereka, bukan sekadar pekerja yang dihargai saat bertugas dan diperlakukan seenaknya di luar pekerjaan.
Dua jam berlalu, Alan dan Rizky juga sudah berdiri di depan ruang IGD, Rizky dengan gaya coolnya memasukan tangan di saku celana sedangkan Alan memilih untuk duduk bersama bima, Nathan dan Edward.
Meski semuanya berkumpul tapi tak sepatah katapun yang keluar semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing, berdoa meminta keselamatan untuk satu wanita yang mereka semua sayangi.
Tak terkecuali Nathan, selama mendampingi regina ia tahu banyak hal, tidak semua bisa di bayar dengan uang meskipun semuanya utuh uang.
Ada yang gratis dan kadang masih disepelekan dan dianggap sebelah mata yakni kasih sayang keluarga, Nathan yang berjauhan dari keluarga nya merasa memiliki keluarga baru saat ia dan Meghan mendapat bos yang sama.
Baginya regina bukan hanya bos tapi juga adiknya yang supel,ceria, tegas, suka menebar senyum dan selalu bisa membuat semua yang dekat dengannya merasa nyaman.
Pintu ruangan terbuka. Semua yang hadir melangkah mendekati dokter. "Suami pasien?" tanya dokter. Bima maju mendekati dokter tersebut.
Dokter menjelaskan bahwa Regina mengalami keguguran dengan usia kehamilan yang baru menginjak dua minggu. Selain itu, terdapat luka memar yang sebagian sudah menghitam dan beberapa bekas gigitan di tubuhnya. Miris...
Mendengar ucapan dokter, tubuh Bima merosot, ia terduduk di lantai. Nathan dan Edward sigap memegangi tubuh Bima agar tidak limbung. Sementara itu, kedua kakak Regina memilih menjatuhkan diri di atas kursi, terpukul dengan berita tersebut.
Bima menggelengkan kepala sembari terisak. Tubuhnya seakan dihantam palu milik Thor, berat, sakit, perih, semua bercampur menjadi satu. Hatinya hancur berkeping-keping bagai kaca yang pecah.
ingin rasanya Alan menghantam wajah Bima. Namun, melihat Bima dipapah oleh kedua asistennya, niat itu ia urungkan. Bima tampak begitu tak berdaya, tubuhnya lemas seakan tulang-tulangnya telah diremukkan menjadi debu. Ia sudah tidak mampu melakukan apa pun, jiwanya terluka lebih dalam dari luka fisik yang mungkin ia terima.
Bukan Upik Abu
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, like mu semangat ku ❤️