Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Malam itu berubah jadi kekacauan. Sirene keamanan Nitro meraung di seluruh gedung bawah tanah. Anggota-anggota berpakaian hitam berhamburan keluar, mencari sumber alarm. Sementara di salah satu lorong yang remang, Moira menyeret Gentha yang masih setengah limbung, wajahnya masih dingin, napasnya berat.
“Tha… lo sadar, kan?!” Moira berbisik tajam.
Gentha tidak menjawab. Tatapannya masih kosong, pupilnya belum kembali normal.
“Tha!” Moira mengguncang bahunya.
Reno datang dari ujung lorong, terengah. “Sial, gue udah bilang jangan nyerang sekarang! Lo hampir aja ngebunuh Razka di depan CCTV, Tha!”
Gentha berhenti melangkah. “Dia pantas mati,” suaranya pelan, tapi mengandung ancaman.
“Dan lo juga bakal mati kalau Razka tahu lo siapa sebenarnya,” Reno membalas cepat. Dia melirik Moira yang tampak cemas, “Kita harus keluar sekarang sebelum patroli dapet wajah lo.”
Moira menekan tombol kecil di jam tangannya. “Gue matiin sensor identitas. Kamera di koridor barat udah ke-looping. Lewat sini.”
Mereka bertiga berlari menembus lorong servis, menuruni tangga darurat. Samar-samar, suara Razka terdengar dari pengeras suara, penuh amarah.
“Tangkap siapa pun yang keluar dari sektor barat! Ada pengkhianat di antara kita!”
Moira menggertakkan gigi. “Dia sadar.”
Begitu mereka sampai di parkiran bawah, Gentha menarik napas panjang. Asap rokok yang belum sempat dihisap kini menempel di saku bajunya, dan darah yang mengering di tangannya terlihat mencolok di bawah cahaya lampu neon.
“Lo harus bersihin ini,” kata Moira cepat, menyerahkan tisu dan jaket. “Kalau enggak, sensor DNA mereka bakal ngedeteksi.”
Gentha menatap tangannya lama, sebelum perlahan berkata, “Dia nyebut Gavintara, Moira. Nama itu keluar dari mulutnya.”
Moira menatap tajam. “Apa maksud lo?”
“Razka. Dia nyebut keluarga Gavintara malam itu… sebelum dia ngebakar rumah gue.”
Moira membeku. Nama itu seperti pisau dingin di udara. Gavintara — keluarga besar tempat Arland berasal.
Reno memecah hening, “Jangan-jangan Nitro bukan cuma musuh lo, Tha. Mereka juga nyambung ke keluarga Arland.”
Moira menatap kosong, pikirannya berputar cepat. “Berarti… semuanya terhubung.”
Gentha akhirnya menatap Moira dengan mata tajam — bukan kemarahan, tapi tekad yang mengerikan. “Gue nggak peduli siapa dalangnya. Selama dia nyentuh keluarga gue, dia bakal ngerasain hal yang sama.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langit pagi terlihat tenang, tapi di dalam rumah Moira, suasananya justru tegang.
Arland duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi di tangan, memandangi Moira yang baru turun dari tangga. Wajahnya terlihat lelah, tapi masih menyimpan pesona yang membuat Rio — yang baru lewat membawa roti panggang — hampir menjatuhkan nampannya.
“Pagi,” sapa Arland pelan.
“Pagi juga,” jawab Moira, berusaha tersenyum, meski pikirannya masih kacau.
Tuan Evander lewat sambil membaca surat kabar. “Kalian tampak tegang pagi-pagi begini. Ada masalah?”
Arland menimpali cepat, “Nggak, Paman. Cuma… Moira akhir-akhir ini sibuk banget di kampus.”
Rio duduk di sebelah Moira, lalu berbisik dengan nada menggoda, “Sibuk di kampus? Atau sibuk di dunia gelap?”
Moira menatapnya tajam, memberi sinyal agar diam.
Rio hanya nyengir, lalu menatap Arland dengan gaya genit — “Arland, lo minum kopi doang? Nggak sarapan bareng gue?”
Arland memutar bola mata. “Rio, please.”
Tuan Evander tertawa kecil, tidak sadar ketegangan yang disembunyikan di antara mereka.
⸻
Begitu Tuan Evander pergi ke ruang kerja, Arland mendekat.
“Gue denger semalam lo pulang larut banget. Ada apa, Moira?”
Suara Moira nyaris goyah. “Cuma urusan kelompok tugas… di perpustakaan.”
Arland memicingkan mata. “Moira, gue tahu kapan lo bohong.”
Hening. Moira tak sanggup menatap matanya.
Tapi sebelum Arland bisa bertanya lebih jauh, ponselnya bergetar — pesan dari seseorang yang tak asing Jackson.
“Nanti malam.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Bandara Soekarno-Hatta sore itu ramai seperti biasa. Orang-orang lalu lalang dengan koper besar, suara pengumuman kedatangan dan keberangkatan bercampur dengan deru mesin. Tapi di antara keramaian itu, dua sosok tampak mencurigakan berdiri di dekat area kedatangan internasional.
Bima mengenakan hoodie abu gelap dan topi hitam, sementara Rio berdandan seperti “asisten pribadi selebriti” — kacamata besar, jaket pink pastel, dan scarf bermotif bunga. Perpaduan yang jelas tidak blend-in sama sekali.
“Yo, lo yakin mau nyamar kayak gitu? Lo malah kelihatan kayak mau ngegosip di tukang sayur, bukan nyulik orang,” bisik Bima sambil menatap sekeliling.
Rio memutar mata dan menepuk pundak Bima pelan. “Sayang, ini bukan nyamar, ini gaya. Kalau gue tampil kayak lo, orang-orang malah curiga. Gaya flamboyan itu bikin semua orang mikir kita harmless. Ingat, prinsip keempat penyamaran never look dangerous.”
Bima mendengus. “Prinsip dari mana tuh? Dari buku ‘1001 Gaya Penculik Elegan’?”
Rio mendecak, “Dari pengalaman lapangan, sayang.”
Sebelum Bima sempat membalas, pengumuman terdengar.
“Penerbangan dari Singapura telah tiba di Gate D-3.”
Rio langsung tegak. “Itu dia. Jiyo Gavrila Han. Target manja kita.”
Bima menatap data di ponselnya — foto Jiyo yang dikirim Moira. Seorang perempuan dengan rambut cokelat gelap, tubuh ramping, dan aura classy khas orang yang hidup di luar negeri terlalu lama. “Oke, jadi rencananya lo yang mendekat, gue standby buat eksekusi, kan?”
Rio tersenyum sinis. “Bener banget, beruang besar. Gue yang rayu, lo yang culik.”
Tak lama, pintu kedatangan terbuka. Para penumpang keluar satu per satu, dan di antara mereka, muncullah Jiyo — mengenakan blazer putih, celana panjang hitam, dan kacamata hitam yang membuatnya tampak seperti CEO yang baru pulang dari pertemuan bisnis.
“Fix,” gumam Rio. “Dia kelihatan mahal. Gue jadi pengen minta skincare routine-nya dulu sebelum nyulik.”
“Yo.” Bima menatap tajam. “Fokus.”
Rio langsung mengganti ekspresi menjadi profesional. Ia berjalan anggun ke arah Jiyo sambil membawa papan bertuliskan nama palsu: “Ms. Han — Private Pickup”.
Jiyo melihat papan itu dan mengangkat alis. “You’re here for me?” suaranya lembut tapi waspada.
Rio tersenyum ramah. “Of course, Ms. Han! Mr. Razka send me personally to pick you up. He said you just landed, right?”
Begitu nama Razka disebut, wajah Jiyo melunak sedikit. “Ah, okay… I thought he forgot.”
Rio menahan mual. “He never forgets someone like you, dear.”
Sambil menuntun Jiyo keluar, Rio memberi kode halus — dua ketukan di gelangnya. Sinyal itu langsung ditangkap oleh Bima yang menunggu di dekat parkiran.
Begitu mereka sampai di area mobil, Rio pura-pura membuka pintu mobil sewaan. “Please, masuk duluan aja. Mr. Razka bilang mau langsung bawa Anda ke tempat pertemuan.”
Jiyo mengangguk, tapi baru satu langkah masuk mobil—
Srek!
Bima muncul dari sisi belakang, menutup mulut Jiyo dengan kain kecil yang sudah dibasahi bius ringan.
“Maaf, nona cantik,” bisik Bima cepat. “Kita nggak kerja buat Razka.”
Jiyo sempat menendang, tapi Bima menahannya dengan cepat dan hati-hati agar tidak menimbulkan perhatian. Dalam hitungan detik, tubuhnya melemas.
Rio buru-buru menutup pintu mobil dan menatap Bima. “Ya ampun, bisa nggak lo pelan dikit? Gue nggak mau makeup gue rusak karena keringat panik, tahu.”
Bima mendengus. “Lama-lama gue sumpel mulut lo pakai kaos kaki gue yang gak gue cuci selama satu tahun.”
Rio langsung masuk ke kursi depan dan menyalakan mesin. “Ih jijay bajay lo jorok sekali Bima sayang…Oke, sayang, next stop—base Gentha. Dan tolong ya, jangan sampai Moira tahu kita hampir kepergok satpam bandara.”
Bima memutar bola mata. “Gue yakin Moira udah tahu, Yo. Dia tuh kayak punya radar dosa.”
Mobil itu melaju cepat keluar dari bandara, meninggalkan gemuruh lalu lintas malam.
Di kursi belakang, Jiyo tertidur dengan wajah tenang — belum tahu kalau hidupnya sebentar lagi akan berubah total.
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/