NovelToon NovelToon
Cinta Mulia

Cinta Mulia

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Pernikahan Kilat / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Histeria Di Rumah Sakit Jiwa

Seorang suster yang berjaga di samping ranjang segera mendekat. "Nona, Anda harus tenang. Anda baru siuman."

Dinda tidak mendengar. Ia merasakan kemarahan yang membakar. Ia melihat selang infus yang menancap di lengannya, sebuah simbol dari kelemahan yang ia benci. Dengan gerakan tiba-tiba yang didorong oleh adrenalin, Dinda mencabut paksa selang infus itu. Darah segera menetes di sprei putih.

"Dia harus mati! Wanita sialan itu harus mati!" Dinda meraung.

Suster itu menjerit kaget. Ia mencoba menahan Dinda, tetapi Dinda terlalu kuat.

"Mulia! Keluar kamu, Iblis!"

Dinda melompat turun dari ranjang. Kakinya yang lemah hampir goyah, tapi tekadnya untuk mencari Mulia memberinya kekuatan yang mengerikan. Ia mendorong suster itu hingga terjatuh, lalu berlari keluar ruang inap.

Pintu ICU terbuka dengan keras. Dinda muncul di koridor, gaun rumah sakitnya yang putih kini ternoda darah di pergelangan tangan dan lengannya. Ia terlihat brutal, gila, dan penuh dendam.

"Mulia! Dimana kamu, wanita sialan!" teriak Dinda.

Satria, Soraya, Ikhsan, dan Mulia terperanjat. Mereka melihat Dinda yang berlari ke arah mereka dengan mata liar.

"Dinda!" Satria berteriak, berlari mencoba menghadang.

Mulia berdiri mematung. Ia melihat sosok Dinda, yang kini tampak persis seperti Bu Hanim di ambang kegilaan. Ia melihat pantulan kekejaman yang pernah menyerangnya.

Dinda melihat Mulia, dan targetnya jelas. "Aku akan membunuhmu! Kamu yang menghancurkan kami! Kamu yang membuat Mama dipenjara!"

Dinda menerjang ke arah Mulia. Satria mencoba menahan Dinda, memeluknya dari belakang.

"Dinda, hentikan! Aku mohon! Dia bukan yang menyakitimu!" Satria memohon, berjuang mati-matian menahan calon istrinya yang brutal.

"Lepaskan aku, Satria! Kamu juga pengkhianat! Kalian semua bersekongkol!" Dinda memukul ke belakang, mengenai wajah Satria.

Soraya, yang tadinya hanya bisa menangis, kini bergerak panik. Ia tahu, Dinda sudah tidak waras.

Tiba-tiba, dua orang Suster dan seorang Dokter dari ICU datang, berlari kencang. Mereka berupaya menghentikan Dinda sebelum ia melukai dirinya sendiri atau orang lain.

"Amankan dia! Berikan suntikan penenang!" perintah Dokter.

****

Suster-suster itu mencoba memegang Dinda, tetapi Dinda melawan dengan tendangan dan pukulan.

"Jangan sentuh aku! Aku tidak gila! Kalian gila!" Dinda menjerit histeris. Ia menunjuk Mulia. "Dia yang gila! Dia yang harus diikat! Dia pembawa sial!"

Ikhsan bergerak cepat, membantu tim medis. Ia memegang kedua lengan Dinda, menahannya dengan sekuat tenaga agar Suster bisa menyuntikkan penenang.

"Dinda, lihat aku!" Ikhsan menatap Dinda dengan tatapan tegas. "Ibuku yang menyelamatkan nyawamu! Rumah sakitku yang merawatmu! Bukan Mulia yang menyakitimu! Ibumu yang menyakiti kita semua!"

"Pembohong! Kamu dan dia! Kalian ingin harta kami!" Dinda meludah, air mata dan keringat membasahi wajahnya. "Aku akan membalaskan dendam Mama! Aku akan membalas Mulia!"

Suster berhasil menyuntikkan penenang di lengan Dinda. Dinda merasakan ototnya perlahan melemas. Matanya yang merah menatap Mulia dengan kebencian terakhir.

"Kamu akan menyesal, Mulia..." Dinda berbisik.

Tubuh Dinda melunak, ia ambruk di pelukan Satria dan Ikhsan. Mereka membopongnya kembali ke ICU.

****

Mulia berdiri di koridor yang kini kembali sunyi. Ikhsan dan Satria membawa Dinda kembali ke dalam, Soraya mengikuti dengan langkah lunglai. Ia melihat sisa darah Dinda di lantai, dan ia merasakan dinginnya kebencian yang baru saja ia hadapi.

Kartika mendekati Mulia, memeluknya dari belakang. "Sudah berakhir, Nak. Dinda sakit. Dia butuh bantuan."

"Tidak, Tante," Mulia berbisik, suaranya sangat lirih. "Ini tidak akan pernah berakhir."

Mulia tahu, meskipun Bu Hanim sudah di penjara, dendam itu telah diwariskan. Dinda telah menjadi cermin sempurna dari ibunya, dibakar oleh kebencian yang tidak berdasar dan dipicu oleh manipulasi.

Ikhsan keluar dari ICU, wajahnya tampak lelah. Ia melihat Mulia, dan ia tahu, pertarungan mereka yang sebenarnya bukanlah melawan hukum, melainkan melawan penyakit hati ini.

"Dia tertidur sekarang," kata Ikhsan. "Dia harus dirawat secara kejiwaan."

Mulia menatap Ikhsan. "Ikhsan, aku tidak mau ada lagi yang terluka. Aku... aku akan pergi."

"Pergi? Tidak, Mulia!" Ikhsan langsung menahan.

"Dendam ini akan terus mengikuti kita. Jika aku menjauh, mungkin Dinda akan sembuh. Mungkin kalian semua akan aman," Mulia menatap Ikhsan dengan tatapan penuh rasa sakit.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi," Ikhsan memegang kedua tangan Mulia. "Aku janji, aku akan melindungimu. Dinda butuh bantuan profesional, dan kita sudah mengungkap kejahatan ibunya. Kita akan menikah. Dan kita akan memulai hidup baru. Bersama-sama."

Mulia menatap Ikhsan, melihat ketulusan dan tekad yang kuat di mata Ikhsan. Ia tahu, ia tidak lagi sendirian. Meskipun dendam Bu Hanim dan Dinda masih mengintai, ia punya Ikhsan dan Kartika.

****

Koridor rumah sakit jiwa itu terasa dingin, dindingnya berwarna krem kusam, dan udaranya berbau antiseptik. Bu Hanim, yang baru saja dipindahkan dari tahanan polisi, kini ditahan di sebuah kamar isolasi. Ia tidak lagi mengenakan pakaian mewahnya, melainkan gaun rumah sakit yang tipis dan terasa asing.

Setelah serangkaian pemeriksaan awal, Dokter Surya, seorang psikiater senior dengan pengalaman puluhan tahun, menatap berkas Bu Hanim dengan alis bertaut. Laporan dari polisi, rekaman audio interogasi, dan observasi brutalnya di pernikahan Dinda semuanya mengarah pada satu kesimpulan.

Dokter Surya berdiri di luar kamar isolasi, melihat Bu Hanim melalui kaca tebal. Wanita itu mondar-mandir seperti binatang buas yang terperangkap, sesekali membenturkan bahunya ke dinding.

"Bagaimana, Dokter?" tanya seorang perawat yang mendampingi.

Dokter Surya menghela napas. "Dia menderita psikosis akut yang dipicu oleh trauma hebat, rasa malu sosial yang mendalam, dan yang paling utama, gangguan obsesif-kompulsif (OCD) dengan fokus pada balas dendam. Ia kehilangan kontak dengan realitas. Bagi dia, Mulia adalah iblis yang harus dimusnahkan agar dunia dan kehormatan dirinya kembali normal."

"Apakah dia bisa pulih?"

"Tergantung. Tapi untuk saat ini, dia adalah bahaya besar bagi dirinya sendiri dan orang lain. Tingkat kebenciannya terlalu tinggi. Dia harus diisolasi dan diberikan obat penenang dosis tinggi."

****

Bu Hanim menyadari bahwa ini bukan hanya sekadar sel tahanan biasa. Ia melihat jendela yang dilapisi kawat tebal, pintu yang dikunci secara elektronik, dan bau obat-obatan yang menenangkan. Ia tahu ia dikurung karena dianggap gila.

Ketika Dokter Surya dan dua petugas masuk untuk memberikan obat, Bu Hanim segera bereaksi.

"Jangan sentuh aku!" teriak Bu Hanim. Matanya liar, menunjukkan rasa takut yang bercampur amarah. "Aku tidak gila! Aku tidak sakit!"

Dokter Surya mencoba bicara dengan lembut. "Bu Hanim, kami di sini untuk membantu Anda. Anda perlu beristirahat."

"Aku tidak butuh istirahat! Aku butuh Mulia! Aku harus membalasnya!"

Bu Hanim melompat ke belakang ranjang. Ia melihat cermin di sudut ruangan, dan ia melihat pantulan dirinya—seorang wanita yang hancur. Ia tidak melihat Bu Hanim, pengusaha sukses. Ia hanya melihat korban yang harus membalas dendam.

Ketika petugas mendekat, Bu Hanim meledak. Ia meronta dengan brutal, menendang dan mencakar ke segala arah. Kekuatan yang ia keluarkan begitu besar, didorong oleh adrenalin dan kegilaan yang tak terkendali.

"Jauhkan tangan kalian dariku! Aku tidak gila! Iblis itu yang gila! Mulia yang harusnya di sini!" Bu Hanim menjerit histeris.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!