Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Itu Nyata
Mulia mengambil ponselnya, ingin menghubungi Ikhsan. Ia ingin mendengar suara Ikhsan, memastikan bahwa Ikhsan baik-baik saja, bahwa jantungnya masih berdetak. Tetapi ia ragu. Ia tidak ingin Ikhsan mengkhawatirkannya, apalagi di tengah jadwal pemeriksaan kesehatannya.
Ia menelpon Kartika, tetapi Kartika tidak mengangkatnya. Mulia kembali merasa sendirian dalam ketakutannya.
"Jika aku membatalkan pernikahan ini," Mulia berpikir, "apakah Ikhsan akan aman? Apakah dia akan hidup lebih lama?"
Pikiran itu menyesakkan. Namun, ia ingat wasiat ibunya, janji untuk menemukan perlindungan dan membangun cinta dari sana. Ia ingat Ikhsan yang selalu ada, selalu menjadi tameng.
Mulia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak boleh takut. Aku sudah berjanji pada Ibu. Aku sudah berjanji pada Ikhsan."
Ia bangkit, berjalan kembali ke kamar. Malam masih panjang, dan tawa gila Bu Hanim masih bergema di benaknya. Mulia tahu, pernikahan mereka bukan hanya janji cinta, melainkan medan perang terakhir melawan bayangan kebencian yang tak pernah mati. Ia harus kuat, demi Ikhsan, demi dirinya, dan demi janji yang ia buat di atas makam ibunya.
Ia berbaring lagi, memejamkan mata. Kali ini, ia berpegangan pada harapan, mencoba menggantikan bayangan Bu Hanim dengan wajah Ikhsan yang tersenyum.
****
Udara pagi itu terasa dingin, namun bagi Mulia Anggraeni, yang mengenakan kebaya pengantin broken white yang sederhana namun anggun, ia merasakan panas dingin menjalari kulitnya. Ia duduk di depan cermin rias, bukan karena gembira, melainkan karena ketakutan yang mencekik.
Pikirannya dipenuhi gema tawa membahana Bu Hanim dari mimpi buruknya, bayangan darah Ikhsan yang menyembur di meja, dan suara pisau yang menusuk. Ia terus menanti. Menanti suara pintu didobrak, menanti jeritan histeris, menanti kedatangan ancaman yang akan membatalkan pernikahan ini, persis seperti yang terjadi sebelumnya, persis seperti di dalam mimpinya.
"Mulia, kamu cantik sekali, Nak," bisik Kartika, menyentuh bahu Mulia lembut. "Semua aman. Petugas keamanan sudah menutup semua akses. Jangan khawatir."
Mulia menoleh pada Kartika, matanya memohon keyakinan. "Bagaimana jika hal buruk terjadi Tante? Bagaimana jika Bu Hanim benar-benar mengirim seseorang? Bagaimana jika Dinda lolos?"
"Mereka sudah di tempat yang seharusnya, Mulia. Hari ini adalah hari kamu menutup buku lama dan membuka buku baru. Fokus pada Ikhsan. Fokus pada wasiat ibumu."
Mulia menarik napas dalam-dalam. Wasiat. Itu adalah benang terakhir yang mengikatnya pada pernikahan ini, di samping janji perlindungan dari Ikhsan.
****
Ijab kabul diselenggarakan di sebuah ballroom privat yang kecil di kediaman Kartika, dikelilingi oleh sedikit kerabat terdekat. Tidak ada kemewahan mencolok, hanya kesederhanaan yang khidmat.
Ketika tiba waktunya, Mulia berjalan ke ruangan, didampingi Kartika. Matanya langsung tertuju pada Ikhsan yang sudah duduk berhadapan dengan wali hakim.
Hati Mulia mencelos. Di hadapannya, bukan ayahnya yang akan menyerahkan tangannya. Ia sudah tidak memiliki ayah dan ibu. Ia diwakili oleh seorang wali hakim, seorang pria paruh baya yang bermartabat. Momen itu adalah pengingat pahit akan kesendiriannya dan harga yang harus ia bayar demi keamanan ini.
Air matanya nyaris tumpah, namun ia menahannya. Ia duduk di tempatnya, menunduk, sambil mendengar bisikan doa dan pengantar dari wali hakim.
"Saudara Ikhsan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Mulia Anggraeni, yang perwaliannya telah diserahkan kepada saya karena wali nasabnya tidak ada," kata wali hakim.
Mulia menggenggam erat tangannya di bawah meja, tubuhnya menegang. Ini adalah detik-detik terpanjang dalam hidupnya. Ia memejamkan mata, menunggu. Menunggu serangan. Menunggu kekacauan. Menunggu sesuatu.
****
Ikhsan melihat ketakutan yang jelas di wajah Mulia. Ia tahu, bayangan pisau Bu Hanim di mimpinya tadi malam lebih nyata daripada ruangan ini. Ikhsan merasakan nyeri di bahunya, mengingatkannya pada harga yang ia bayar. Namun, dia tidak gentar.
Ikhsan mengambil napas, suaranya dipenuhi tekad baja—sebuah komitmen untuk melindungi wanita yang kini berserah diri di hadapannya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Mulia Anggraeni binti Hendra dengan mas kawin tersebut, tunai."
Ikhsan mengucapkan ijab kabul dengan suara yang kuat, yakin, dan tanpa keraguan sedikit pun. Suaranya tidak hanya mengalahkan ketegangan ruangan, tetapi juga mengalahkan gema tawa brutal Bu Hanim yang masih bersemayam di telinga Mulia.
Semua berlangsung cepat dan khidmat. Hanya perlu satu tarikan napas, satu kalimat janji, dan semua selesai.
"Bagaimana saksi? Sah?"
"Sah!"
Kata sah itu menggema di ruangan, memecahkan ketegangan yang Mulia rasakan. Ia tersentak, hampir tidak percaya bahwa ancaman Bu Hanim tidak terwujud.
Mereka berhasil.
Mulia membuka mata. Air mata yang tadi ia tahan kini mengalir deras, namun bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kelegaan yang luar biasa. Pernikahan ini terjadi. Mereka berhasil melampaui kutukan kebencian.
****
Ikhsan beranjak dari kursinya, mendekati Mulia yang masih gemetar. Ia berlutut di hadapan istrinya, mengangkat wajah Mulia dengan lembut.
"Kita berhasil, Sayang. Kita aman," bisik Ikhsan, matanya berkilauan penuh cinta dan keyakinan.
Mulia hanya bisa mengangguk, isakannya tertahan.
Mulia mengulurkan tangannya yang gemetar. Ikhsan memasangkan cincin di jari Mulia, lalu Mulia melakukan hal yang sama pada Ikhsan.
Ikhsan kemudian mencium kening Mulia. Ciuman itu adalah segel janji, penghancur trauma, dan penutup wasiat. Dalam sentuhan itu, Mulia merasakan perlindungan yang dijanjikan ibunya, perlindungan yang dipertaruhkan oleh Ikhsan dengan darah dan nyawa.
Saat Mulia menatap mata Ikhsan, ia teringat pengakuannya pada Satria: bahwa ia belum memiliki rasa cinta, tetapi ia akan mencoba mencintai pria ini.
Namun, kini, di tengah rasa aman yang nyata, di bawah tatapan teduh Ikhsan, janji itu terasa tidak lagi berat. Ia menyadari, benih cinta itu sudah tertanam, tumbuh dari rasa hormat, terima kasih, dan pengakuan bahwa pria ini adalah rumahnya yang baru, tempat yang ia cari setelah badai yang mengerikan.
Pernikahan ini mungkin lahir dari wasiat dan ancaman, tetapi Ikhsan telah menunjukkan dirinya layak dicintai.
Mulia tersenyum, senyum tulus pertamanya dalam beberapa bulan terakhir. Ia meraih tangan Ikhsan, menggenggamnya erat. Babak kehidupan yang baru telah dimulai, babak yang akan ia jalani dengan tekad untuk mencintai pria yang telah berjuang mati-matian demi keselamatannya. Mereka telah selamat dari ancaman Bu Hanim; kini saatnya mereka membangun kebahagiaan dari pecahan trauma.
****
Pukul tiga pagi di Rumah Sakit Jiwa Cendana. Bangsal isolasi terasa sunyi, hanya suara dengung lampu neon dan langkah kaki Perawat Toni yang berpatroli yang memecah keheningan. Namun, di dalam keheningan itu, ada sesuatu yang terasa salah.
Perawat Toni berhenti di depan kamar isolasi khusus. Ini adalah ruangan tempat Bu Hanim dikurung setelah tindakan brutalnya menyerang Dokter Surya. Ruangan itu didesain dengan keamanan maksimum: jendela berlapis kawat tebal, dan pintu baja yang terkunci secara elektronik.
Toni mendekat ke lubang pengintai. Biasanya, ia akan melihat bayangan Bu Hanim yang terikat di ranjang setelah obat penenang. Tetapi, kali ini, ranjang itu kosong.
Jantung Toni mencelos. Ia segera memasukkan kode akses dan membuka pintu dengan gemetar. Kamar itu dingin, dan benar-benar kosong. Ranah isolasi itu telah dikosongkan.
Toni melihat ke arah jendela. Kawat kaku di salah satu sudut terlihat sedikit bengkok, dan ada bekas gesekan tajam di dinding, tepat di bawah jendela.
"Ya Tuhan!" bisik Toni, panik. Ia berbalik dan segera berlari menuju stasiun perawat.