Kecantikan selalu diartikan sebagai keberuntungan
Apa yang terjadi ketika kecantikan yang diberikan oleh Tuhan berakhir sebagai kutukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena Prasetyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Arman menunggu di bawah rumah tempat kamar sewa Kirana berada. Beberapa orang yang lewat melihatnya dengan tatapan curiga. Mungkin karena pakaian yang digunakannya tidak sesuai dengan lingkungan yang dia hampiri. Lima anak mendadak mendekat dan mulai mengagumi mobilnya.
"Paman. Paman tentara ya?" tanya anak-anak itu.
"Ya" jawabnya malas.
"Kereenn!!" puji anak2 itu entah memuji mobil Arman atau dirinya.
"Terima kasih"
Lalu muncullah Kirana. Rambut hitam panjang tergerai indah, gaun bermotif bunga berwarna merah muda berkibar tertiup angin, sebagian besar kulit nampak putih bersih tanpa noda dan wajah yang sangat cantik. Baik Arman maupun anak-anak tadi hanya bisa diam menatap Kirana yang datang mendekat.
"Bagaimana?" tanya wanita itu.
Apa yang harus Arman katakan?
Lidahnya kelu, tak bisa bergerak sesuai dengan keinginan hatinya.
"Cantik seperti bidadari" celetuk anak-anak mewakili Arman.
"Terima kasih" jawab Kirana dengan suara yang tak pernah Arman dengar sebelumnya.
Biasanya, Kirana menjawab dengan suara datar dan tegas.
Dan ketika wajah cantik itu beralih ke arah Arman, dia semakin kaku. Tak bisa bergerak sama sekali. Dia seperti orang bodoh yang bahkan tak bisa bergumam.
"Paman!!" teriak anak-anak disana sambil memukulnya keras. Membuat Arman akhirnya bisa bergerak dan mengendalikan diri.
"Masuklah!" kata Arman menunjuk pintu mobil. Lalu ingat kalau pintu itu belum terbuka. Tapi dia menguncinya sehingga tidak bisa terbuka. Arman begitu sibuk membuka pintu lalu berputar karena salah sisi. Kemudian berputar lagi dan membuka pintu yang benar. Dia terengah-engah seperti orang ...
"BODOH!!" ejek anak-anak yang kemudian kabur.
Arman dan Kirana saling menatap, tanpa berkomentar atas ejekan anak-anak itu.
Mereka hanya diam sampai tiba di restoran. Arman tidak dapat menemukan topik pembicaraan karena terlalu gugup. Saat itu ibunya datang di depan pintu restoran.
Sebuah tangan dengan jari-jari ramping mendadak meraih lengan Arman dan memeluknya erat.
"Kau!"
"Saya kekasih Anda" ucap Kirana mengingatkan Arman.
Dia sungguh lupa akan kesepakatan diantara mereka. Dengan perlahan, Arman menyentuh tangan itu. Dan memindahkannya ke dalam genggamannya. Udara hangat mengalir lembut di sekitar Arman. Dan udara itu berbau manis.
"Arman" panggil ibu Arman mengejutkannya.
"Ibu sudah datang"
Kirana berdiri dan mengulurkan tangan ke arah ibunya.
"Salam kenal, saya Juwita. Kekasih putra Anda"
Arman tak sadar, tapi ujung bibirnya naik ke atas.
"Kau sangat cantik!" puji ibunya
"Terima kasih"
"Sungguh cantik sekali. Sekarang aku tahu kenapa Arman menyimpan hubungan kalian dari kami, orang tuanya"
"Anda terlalu memuji"
"Tidak. Kau memang sangat cantik. Bagaimana bisa ada wanita secantik ini. Dan Arman, kau sangat beruntung mendapatkannya"
"Anda terlalu memuji, Bibi"
Arman terpaksa batuk untuk menghentikan untaian pujian yang terus menerus itu.
"Ehm Ehm. Ayo kita pesan makanan dulu!" ujarnya.
"Baiklah"
Ibunya dan Kirana terlibat pembicaraan tentang cuaca dan hal-hal kecil. Arman hanya bisa menjadi pendengar setia yang terus menerus memperhatikan bibir berwarna merah muda itu bergerak.
Ketika makanan datang, tiba-tiba Arman mendengar rengekan dari sebelahnya.
"Sayang!! Kenapa memesan daging? Apa kau lupa aku sedang diet??!"
Kirana merengek padanya dengan suara paling manja dan manis. Dan panggilan itu ... Sayang? Dia lupa kalau semua yang sedang dikatakan Kirana saat ini adalah bagian dari kesepakatan mereka beberapa waktu lalu.
"Juwita, kau sudah sangat kurus. Kenapa masih diet? Tidak. Kau tidak boleh diet. Harus makan banyak" sela ibunya.
"Tapi bibi, perutku bisa besar kalau makan daging. Dan lagi, aku bisa kesulitan untuk ... Melakukan yang nomor 2" bisik Kirana tampak begitu lucu di mata Arman. Tapi,
Nomor 2? Apa itu?
Arman sama sekali tidak tahu apa itu nomor 2 yang dimaksud oleh Kirana. Tapi ibunya mengerti dan segera memanggil pelayan untuk memesan segelas yoghurt. Setelah itu Arman mengerti apa itu nomor 2.
"Aku bisa memijat perut dan punggungmu" katanya membuat Kirana melotot. Sepertinya Kirana terlalu terkejut mendengar apa yang dikatakan Arman.
"Aaahh sayang! Aku tidak mau merepotkan mu!" balas Kirana lalu mendekatkan wajah cantiknya dan mencium pipi Arman.
Kirana menciumnya?
Menciumnya? Kenapa?
Tunggu, bukankah itu memang ada dalam kesepakatan yang mereka setujui waktu itu? Begitulah karakter Juwita yang dikarang oleh Arman. Dan dia juga berkata pada ibunya kalau mereka memiliki hubungan yang terlampau mesra sampai bisa membuat jijik orang yang melihat.
Jadi Arman memeluk pinggang Kirana dan membalas dengan sebuah kecupan singkat di dahi wanita itu.
Walau sedikit gugup, Arman bersyukur bisa melakukannya.
"Kalian manis sekali!!" puji ibu Arman yang melihat mereka.
"Kenapa Bi?" tanya Kirana.
"Tidak, aku hanya senang melihat putraku menunjukkan hal manis pada kekasihnya"
"Bibi, Arman sangat menyayangiku. Biasanya kami melakukan yang lebih dari ini. Seperti ... "
Tanpa aba-aba, Kirana menaikkan permainan. Wanita itu tanpa malu-malu memegang wajah Arman dan menciumnya. Kali ini bukan di pipi melainkan di bibir.
Seperti awan lembut yang sedang menyentuh bibir Arman. Dan ketika bibir itu menjauh, Arman kesal. Dia menarik kembali Kirana dan melanjutkan ciuman mereka. Mereguk manisnya bibir Kirana yang terasa seperti permen kapas.
Dan saat Arman merasakan dorongan lembut di dadanya, dia mengerti kalau itu saatnya berhenti. Matanya bertemu dengan milik Kirana. Wanita yang ada di pelukannya itu seakan melancarkan protes dari tatapan mata. Tapi Arman tak peduli. Ini adalah bagian dari kesepakatan.
Makan malam berjalan lancar. Dan ketika tiba waktunya pulang,
"Bibi ingin mengundangmu ke rumah besok. Bukankah kau libur?" tanya ibu Arman memegang tangan Kirana.
"Sayang sekali Bi, aku tetap masuk di hari libur"
Kirana tetap masuk di hari libur? Kenapa?
"Benarkah? Sayang sekali"
"Iya. Untuk hari ini saja, saya terpaksa harus bekerja dua shift di restoran besok. Jadi akan sulit untuk menyediakan waktu di hari libur"
Restoran?
Lagi-lagi Arman lupa kalau Kirana sedang memerankan karakter kekasih yang dia ciptakan. Seorang mantan wanita malam yang sekarang bekerja di restoran.
"Oh sayang sekali. Kalau hari kerja? Apa bibi bisa mengundangmu makan siang dan belanja bersama?"
Kirana tampak sulit menolak. Kini saatnya Arman menolong.
"Tentu saja boleh" jawabnya tanpa berpikir apa-apa.
"Benarkah? Kalau begitu hari Senin ini bagaimana?" tanya ibunya lagi.
Arman tersenyum dan menoleh ke samping. Tak disangka akan mendapatkan tatapan tajam dari Kirana. Sepertinya dia melakukan sesuatu yang salah, tapi tidak tahu apa.
"Tapi sayang. Itu hari kerja. Benarkah aku bisa pergi makan siang dengan ibumu dan berbelanja bersama?" tanya Kirana.
Segera saja Arman mengangguk.
"Tentu saja. Aku akan dengan senang hati mengantar kalian" jawabnya persis seperti orang bodoh yang tidak berpikir.
"Hahaha, bukankah sayangku baik sekali Bibi?" ucap Kirana menambah endorphin dalam otak Arman. Membuat kenyataan semakin menjauh dari pikirannya.