Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
“Shen, katamu ini ulang tahun ke 17 sepupumu, tapi kenapa ada banyak orang tua yang hadir?” Chesna mulai mempertanyakan apa yang isi kepalanya katakan.
“Santai aja, Ches, ultah sepupu aku satu ini memang selalu begini. Namanya juga ini pesta yang kendalikan papa mamanya ya mereka pasti undang teman-teman mereka, Kamu liat aja, tuh, cuman kamu yang datang tanpa orang tua.” Shenia sengaja menggoda Chesna.
Chesna melihat sekeliling. “Iya juga ya, tapi kan aku ke sini emang karna kamu yang undang bukan undangan langsung pemilik acara.”
Respon Chesna malah membuat Shenia menggelak tawa. Keduanya tertawa hangat.
“Nah, Tuh, si Alan sama papanya juga datang.” Shenia menunjuk arah yang dimaksud.
Chesna spontan menoleh. Benar saja, Miko, Alan, dan satu lagi, seorang adik perempuan terlihat sangat menempel dengan kakak lelakinya. Siapa lagi kalau bukan Lila.
Alan dan Miko bagai pinang dibelah dua. sangat mirip. Chesna mengakui itu.
Sementara Shenia, terus mengagumi sosok pak Miko yang katanya Dermawan, memiliki aset triliunan dan juga sosok ayah yang akan melakukan segalanya untuk anak-anaknya.
Chesna memalingkan muka. Ia tidak sanggup mendengar semua pujian itu.
“Eh, kamu kenapa, Ches? Iri sama Alan? Mukamu ga enak tau.” Shenia menyadari perubahan wajah Chesna yang begitu jelas. “Ga perlu iri sama Alan. Aku tahu gimana caranya kalau kamu mau setara sama dia.” Shenia berbisik sambil menggoda. “Cukup kamu berhasil jadi kesayangan sepupu aku, maka levelmu sama Alan bisa seimbang.”
Chesna mengerutkan alis, seolah bertanya.
“Itu loh, sepupu aku yang lagi ulang tahun. Tuh dia orangnya.” Shenia memutar kepala Chesna.
“Gideon?”
Musik berhenti sejenak, sorak sorai para tamu terdengar lebih ramai.
“Dan inilah yang kita nantikan, tuan rumah pesta malam ini, Gideon bersama Papa dan Mama tercinta!” MC mulai bersuara.
Seketika aula dipenuhi tepuk tangan. Semua mata tertuju ke arah tiga sosok yang melangkah perlahan..
Gideon masuk dengan setelan jas biru yang membuatnya tampak lebih dewasa dan menawan. Senyum tipis terukir di wajahnya, meski matanya menyapu ruangan dengan tatapan tenang dan penuh wibawa. Di sampingnya, Papa dan Mamanya tampil anggun, menyapa para tamu dengan ramah.
Shenia segera menepuk tangan Chesna pelan, yang baru kembali ke sisinya. “Itu dia! Sepupuku yang ulang tahun. Gimana? Keren kan?” katanya dengan mata berbinar.
Chesna terdiam. Ia tidak pernah membayangkan sepupu Shenia yang sering disebut-sebut itu adalah… Gideon. Sosok yang akhir-akhir ini kerap muncul sebagai pengganggu.
Gideon melangkah maju, menyapa tamu-tamu yang mendekat. Tapi pandangannya sempat berhenti sejenak. Tepat di arah Chesna berdiri. Sorot matanya sedikit melembut, seolah ada sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan.
Chesna buru-buru menunduk, terasa sedikit lebis sesak. “Shen, kenapa kamu ga bilang dari awal kalau yang ultah itu Gideon?”
“Eh, emang kenapa? ada yang salah?”
“Ya kan aku beberapa kali terlibat pertegangan sama dia. Gimana kalau dia liat aku terus ngusir aku dari sini? Malu, tau!”
Mendengar itu Shenia hanya terkekeh. Seolah hal itu tak akan terjadi. “Gimana mau ngusir, yang maksa aku ngajak kamu kan dia.” Batin Shenia. “Kamu tenang aja, Ches, Deon orangnya baik, kok. Aman deh selagi ada aku.”
Setelah sesi sambutan singkat, Gideon mulai berbaur dengan para tamu. Ia menghampiri beberapa kerabat dekat, menerima ucapan selamat, bahkan berfoto bersama. Namun di sela itu, tatapannya tak sekali pun lepas dari sudut aula, tempat Shenia dan Chesna berdiri.
“Kayaknya dia mau ke sini…” bisik Shenia sambil menyenggol bahu Chesna, tak menyadari kegugupan sahabatnya itu.
Dan benar saja, beberapa langkah kemudian, Gideon sudah berdiri tepat di hadapan mereka. Wajahnya sedikit serius, tapi suaranya terdengar hangat ketika menyapa.
“Shenia…,” ia menepuk pelan bahu sepupunya. “makasih, ya sudah datang..”
Shenia tersenyum lebar. “Tentu aja, ini kan pesta kakak Deon-ku. Oh iya, kenalin—” Shenia menarik lengan Chesna maju sedikit. “Aku kenalin sekali llagi, ini sahabatku, Chesna. Ingat, sahabat aku.”
Sejenak, Gideon menatap Chesna. Bukan tatapan biasa, melainkan tatapan dalam dan penuh arti, seolah-olah ia sudah tahu lebih banyak daripada yang seharusnya.
Tak tahu mau respon apa, Chesna menyodor tangannya. “Se-selamat ulang tahun,” ucapnya.
Gideon mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangan. “Terima kasih. Senang lihat kamu...” Gideon memberi senyum terbaiknya “Sangat cantik”
Shenia menatap bolak-balik keduanya, merasa ada sesuatu yang aneh, tapi tak bisa menjelaskan. “Eh, kalian kayaknya udah saling kenal dekat ya?” godanya.
Chesna buru-buru menggeleng, sedangkan Gideon tersenyum samar, tidak mengonfirmasi, tidak pula membantah. Justru sikap diamnya itu membuat suasana semakin janggal.
“Gideon,” panggil seseorang sambil menepuk bahu, nada suaranya ramah sekaligus hangat. Dia Alan. “Selamat ulang tahun.”
Gideon tersenyum lebar. “Thanks, bro.”
Chesna, yang berdiri hanya beberapa langkah dari mereka bersama Shenia, langsung merasa tidak nyaman, Rasa sakit sedikit menghantam. Baginya, Alan bukan lagi saudara kembar yang ia kenal dulu, melainkan orang asing yang memilih menghapusnya dari hidup.
Alan sempat melirik ke arah Chesna. Tatapan itu jelas menyiratkan sesuatu yang sulit disembunyikan. Kaget, lega, sekaligus rindu. Tapi Chesna buru-buru menghindar, menggenggam lengan Shenia erat.
“Shen, aku haus. Cari minum, yuk,”
Shenia menatapnya heran, tapi mengikuti ajakan itu tanpa banyak tanya. Mereka berdua melangkah menjauh, meninggalkan Gideon dan Alan.
Alan hanya mampu menatap. Ada rasa kecewa menyaksikan sikap Chesna yang menghindar.
Gideon memperhatikan perubahan ekspresi Alan. Tanda tanya besar itu kembali berputar di kepalanya. “Kok liatin dia dengan raut wajah begitu? Kamu suka sama cewek itu?” Akhirnya Gideon bertanya.
“Apa? Cewek yang mana?” tanya Alan, menutupi rasa kagetnya dengan pertanyaan itu.
“Si Chesna. Kamu liatin dia dengan ekspresi menyebalkan,”
“Ah bukan, aku liatin cewek satunya kok, siapa namanya? Shenia kan?” Alan menjawab asal. “Kenapa? Kamu suka sama Chesna? Bukankah kamu kesel banget sama dia?” Alan dengan cepat mengembalikan tuduhan.
“Iya. Aku suka dia.” jawab Gideon dengan tegas.
Suasana pesta semakin riuh dengan gelak tawa dan denting gelas, tapi di salah satu lorong menuju taman belakang, suasana justru jauh lebih lengang. Shenia baru saja keluar untuk mengambil napas sebentar ketika ibunya menyusul, membawa tatapan penuh kehati-hatian.
“Shen,” suara ibunya pelan, namun tegas. “Mama lihat kamu sangat dekat dengan temanmu itu… siapa namanya? Chesna?”
Shenia tersenyum, polos. “Iya, Ma. Dia baik banget. Aku senang main sama dia.”
Ibunya menghela napas. “Mama tidak melarang kamu berteman, tapi kamu juga harus hati-hati. Anak itu... Mama dengar, dia tidak punya ayah, hidup sendiri seperti anak liar. Apa kamu yakin dia ga bahaya?”
Kalimat yang menusuk. Bahkan Shenia yang ceria pun refleks menegang. “Ma…” suaranya melemah, ada protes yang nyaris pecah, tapi terhenti di tenggorokan.
“Shen, mama lihat kamu habisin banyak uang untuk belanjain dia. Shena, itu bukan pertemanan sehat untuk anak seusia kalian, sayang. Kita ga tau mungkin aja dia manfaatin kamu.”
Tak jauh dari sana, tepat di tikungan menuju lorong, Chesna berdiri mematung. Ia datang hendak mencari Shenia, tapi langkahnya terhenti sejak mendengar namanya disebut. Kata-kata ibunya Shenia menghantam telinganya jelas tanpa ampun.
Wajah Chesna merona panas, bukan karena malu biasa, melainkan rasa sakit yang menyesakkan. Anak liar berbahaya… tidak punya ayah, bahkan… kata-kata itu terus menggema di kepalanya.
Air matanya hampir luruh, tapi ia paksa tetap tegak. Perlahan, Chesna mundur satu langkah, lalu berbalik, berusaha menelan luka itu sendirian. Ini memang resiko yang selalu aku hadapi setiap memiliki pertemanan. Tak apa, Ches, selagi bukan mama yang mendengar ini.
Sementara di lorong, “Ma, jangan begitu… aku nggak peduli Chesna itu siapa. Dia temanku, dia tulus” jawab Shenia lembut tapi tegas, berusaha membela teman baiknya.
___
bersambung