Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Pertemuan Tak Terduga
“Mama…”
Akhir pekan yang ditunggu-tunggu Ares akhirnya tiba. Bocah kecil itu sudah bangun sejak subuh dengan semangat meluap. Semalam Stasia berjanji akan mengajaknya ke mal dan bermain sepuasnya di Timezone.
Dengan rambut klimis, baju santai rapi, dan wangi cologne anak-anak, Ares melangkah masuk ke ruang makan. Senyumnya makin merekah ketika melihat meja sudah penuh dengan hidangan lezat.
Meski lama tinggal di Paris, Stasia tetap lebih sering memasak makanan khas Indonesia. Pagi ini pun nasi goreng seafood dengan kerupuk udang renyah, plus segelas susu kedelai hangat, sudah tersaji.
“Kesayangan Mama semangat sekali,” sapa Stasia sambil tersenyum hangat melihat wajah ceria Ares.
“Tentu saja! Mama janji hari ini mau ajak Ares jalan-jalan dan main di Timezone. Jadi kan, Ma?”
“Ya, tentu saja jadi. Pokoknya akhir pekan Mama hanya untuk Ares tersayang. Kalau mau, minggu depan kita bisa pergi ke mana pun yang Ares suka. Mau ke kebun binatang, taman fantasi, atau tempat lain—tinggal pilih.”
Ares langsung bangkit dari kursinya dan memeluk Stasia erat. “Terima kasih, Mama. Ares sayang Mama!”
“Mama juga sayang Ares,” balas Stasia sambil mengecup kepala keponakannya.
Setelah pelukan itu, mereka mulai menikmati sarapan dengan penuh tawa kecil.
Sementara itu, di rumah keluarga Ardhana, suasana berbeda. Mama Rini sudah berdiri di depan kamar Damar sejak beberapa menit lalu, berusaha membangunkan putranya yang masih terlelap.
“Damar… bangun, Nak! Tumben banget, sudah jam enam belum juga bangun,” seru Mama Rini dengan nada kesal.
Terdengar suara berat dari balik selimut. “Damar ingin sendiri dulu, Ma… boleh kan kalau seharian ini Damar di kamar saja?”
“Tidak boleh! Segalau apa pun kamu, tidak ada alasan untuk bermalas-malasan seperti ini.”
“Siapa yang galau sih, Ma…” gumam Damar, malas membuka mata.
Mama Rini menyilangkan tangan di dada. “Sudahlah, jangan pura-pura. Bangun, Dam…”
Setelah jeda sejenak, ia menambahkan kalimat yang membuat Damar sontak membuka mata. “Mau Mama bantu dapatkan Stacy, nggak?”
Damar langsung terduduk. “Maksud Mama?”
“Mama sudah feeling, sikap dingin dan kaku kamu itu bakal bikin Stacy gagal jadi menantu Mama. Jadi besok Mama mau ke kantor. Pokoknya Mama akan cari cara agar dia jadi bagian keluarga kita, dengan cara apa pun.”
“Stacy yang sekarang sudah banyak berubah, Ma! Lagi pula, Mama punya rencana apa?” Damar mulai tertarik.
“Yang jelas, rencana Mama pasti berhasil. Stacy sekarang memang sudah berubah. Dia lebih dewasa, sikapnya lebih matang. Tapi hati baiknya pasti masih sama seperti dulu.”
Damar menunduk, lalu berbisik, “Aku sudah coba ajak Stacy ke rumah ini. Aku bilang Mama ingin bertemu dengannya. Tapi dia menolak… katanya sudah ada janji lain.”
Mama Rini terbelalak, lalu malah tertawa geli. “Astaga, Dam! Kamu ajak dia dengan mengatasnamakan Mama? Kenapa tidak terus terang bilang kamu yang ingin mengajaknya? Pantas saja!”
“Karena dia sayang banget sama Mama. Tapi kalau sama aku… rasanya kaku sekali.”
“Itu karena kamu yang selalu dingin. Coba ubah sikapmu, lebih lembut. Mama yakin, Stacy akan luluh.”
Damar terdiam, mencoba mencerna setiap kata.
“Sudahlah, sekarang bangun. Sarapan dulu. Setelah itu temani Mama belanja kebutuhan Dilan.”
“Iya, Ma…” Damar akhirnya pasrah, lalu memeluk Mama Rini sambil mencium pipinya sekilas.
“Ih… bau asem! Cepat mandi dulu sana!” omel Mama Rini sambil mendorong pelan bahunya membuat Damar terkekeh. Beginilah sisi lain Damar yang tidak pernah orang tahu karena hanya di tunjukkan pada keluarga saja.
***
Segala permainan sudah dijelajahi Ares. Dari wahana ketangkasan, balapan mobil, sampai permainan tembak-tembakan—semua dicoba tanpa henti. Sejak mal baru saja buka, bocah itu tak pernah menunjukkan tanda lelah.
“Ares nggak capek?” tanya Stasia sambil tersenyum, melihat semangat anaknya.
“Sedikit capek… tapi Ares suka,” jawabnya dengan napas terengah namun mata berbinar.
Stasia mengusap lembut puncak kepala putranya. “Sekarang sudah waktunya makan siang. Mau lanjut main, atau kita makan dulu?”
Ares berpikir sebentar, lalu mengangguk mantap. “Ares sudah coba semua. Kalau begitu, kita makan.”
“Baiklah. Ares mau makan apa?”
“Boleh spaghetti, Ma?”
“Tentu saja boleh. Kalau begitu, kita ke restoran spaghetti.”
“Yeay! Terima kasih, Mama!” Ares bersorak riang, menggandeng tangan Stasia menuju restoran.
Tak lama kemudian mereka sudah duduk rapi di meja, makanan dipesan, dan tinggal menunggu.
“Ares, Mama ke toilet sebentar ya. Tolong jangan kemana-mana, duduk yang baik, tunggu makanan di sini.”
“Siap, Mama,” jawab Ares dengan patuh.
Stasia pun beranjak, meninggalkan Ares yang masih duduk manis. Namun matanya iseng melirik sekitar, memperhatikan orang-orang berlalu-lalang.
Hingga pandangannya terhenti pada sosok yang begitu familiar. Hatinya berdegup kencang. Ia yakin itu wajah yang sama dengan foto yang pernah ia lihat diam-diam di kamar Stasia. Foto yang selalu disimpan di laci, sering dipandang Stasia dengan wajah murung sejak mereka masih di Paris.
Pria itu kini ada di depannya. Lebih dewasa, lebih berwibawa. Tapi Ares yakin—itu orang yang sama. Orang yang penting untuk Stasia.
Tanpa pikir panjang, ia berlari.
“Papa!” teriak Ares, memeluk kaki pria itu erat saat telah sampai di dekatnya.
Damar tersentak. Ia menatap bocah kecil itu dengan wajah terkejut. “Hei… kamu siapa? Di mana orang tuamu?” tanyanya bingung.
Bocah itu mendongak polos. “Aku Ares, Papa. Kenapa Papa Damar nggak mengenaliku?”
Damar makin terhenyak. Jantungnya berdentum kencang. Bagaimana mungkin bocah ini tahu namanya?
Sebelum ia sempat merespons lebih jauh, sebuah suara memecah suasana.
“Ares!”
Suara lembut namun panik terdengar dari kejauhan. Bocah itu langsung menoleh.
“Mama!” serunya girang.
Langkah kecil Ares segera menghampiri Stasia yang baru tiba dengan raut panik dan takut yang bercampur jadi satu. Wajahnya penuh binar, seolah baru menemukan sesuatu yang berharga.
Berbeda dengan Ares, mata Damar justru membulat. Napasnya tercekat.
Wanita itu…
Wanita masa lalunya.
Sosok yang dulu selalu berisik, penuh kegilaan, tak pernah bisa diam. Lalu tiba-tiba menghilang tanpa kabar, meninggalkan hatinya yang penuh tanda tanya. Kemudian tiba-tiba kembali dengan sikap yang sudah berbeda.
Dan kini, ia berdiri tepat di depannya. Dewasa, anggun, dan… seorang bocah memanggilnya “Mama”.
Damar membeku. Stasia terdiam. Namun Ares justru tersenyum polos.
"Stacy?" wanita paruh baya yang juga tiba-tiba datang membuat Stasia semakin salah tingkah.
"Kamu dengan siapa nak?" Tanya Mama Rini melihat Ares bergelayut di kaki Rini.
"Papa, kenapa tidak ikut kesini?" tanya Ares dengan melihat Damar.
"Papa?" heran Mama Rini sambil melihat putranya dengan penuh tanda tanya.