Kairos Valente.
Seorang pria yang memiliki masa lalu percintaan yang kelam hingga menambah traumanya. Trauma akan kekerasan yang dilakukan oleh Daddy nya kepada Mommy kandungnya. Kairos Valente mengidap penyakit CPTSD. Pewaris Valente Corp. sebuah dinasti yang dibangun oleh mendiang kakek Valente diwariskan kepada kedua cucunya yaitu Kairos Valente dan Aureliany Valente. Namun, karena Aurel tidak tertarik di dunia bisnis, Valente Corp. dipimpin oleh Kairos Valente. Suatu pertemuan tidak disengaja di suatu malam antara Kairos dan seorang gadis yang bernama Aurora membuatnya tersentuh. Semesta menemukan mereka, obsesi Kairos mendekati gadis itu tumbuh semakin besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih suka lo yang keras kepala
Pintu kamar rumah sakit itu berderit pelan ketika Kairos mendorongnya.
Aroma antiseptik langsung menyambut, bercampur dengan keheningan ruang VIP yang sunyi.
Di atas ranjang putih, Aurora terbaring dengan wajah pucat. Matanya menatap kosong ke arah langit-langit, bulir air mata yang lolos dari sudut mata mengalir perlahan, membasahi pipinya.
Ia tidak sadar pintu sudah terbuka, tidak menyadari langkah-langkah berat yang kini semakin mendekat.
Kairos berdiri di ambang pintu beberapa detik, menatap pemandangan itu. Ada sesuatu di dadanya yang menegang, campuran getir dan sesuatu yang ia sendiri tak mau akui.
Sementara Stella dengan cepat, melangkah masuk di belakangnya. Ia hampir terhuyung karena kantong buah-buahan, namun segera menata semuanya di meja samping.
Bunyi gesekan plastik dan dentingan wadah kaca terdengar, tapi Aurora tetap diam.
Kairos akhirnya bergerak.
Buket bunga besar itu ia letakkan di kursi dekat ranjang, lalu ia menarik kursi lain dan duduk di sisi Aurora.
“Kalau lo terus begini, lo bakal kelihatan lemah Ra." Ucapnya pelan, nada suaranya jauh lebih lembut daripada biasanya. Tangannya terulur, menyentuh punggung tangan Aurora yang dingin.
Aurora tersentak kecil. Barulah ia menyadari kehadirannya. Perlahan ia menoleh, matanya merah sembab.
Namun tidak ada teriakan, tidak ada penolakan. Hanya tatapan kosong penuh lelah.
Kairos tersenyum tipis. “biasanya lo bakal langsung ngusir gue, nyuruh gue pergi. Hari ini apa lo udah nyerah?”
Aurora menghela napas, samar. “Capek…” suaranya lirih, hampir tak terdengar. “Kalau aku lawan pun ujung-ujungnya percuma Tuan..”
Kairos menunduk sedikit, mendekat. “Jadi lo mau gue menang begitu aja?” Nada suaranya terdengar seperti memancing, mencoba membangkitkan perlawanan yang biasanya selalu membuat darahnya berdesir.
Namun Aurora hanya menutup mata, air matanya kembali jatuh.
Tidak ada energi lagi untuk berdebat.
Kairos menarik kursinya lebih dekat. Ia mengusap lembut pipi Aurora dengan ibu jarinya, gerakan yang kontras dengan sifat kerasnya.
“Gue lebih suka kalau lo keras kepala Ra. Lo tahu kan itu yang bikin gue terus balik?”
Aurora tidak menjawab, hanya diam dengan air mata yang mengalir.
Kairos menghela napas berat. Ada kekecewaan samar karena tidak mendapat “pertarungan” yang biasanya ia nikmati, tapi juga ada sesuatu yang mengganjal melihat Aurora benar-benar rapuh begini, hatinya tidak bisa bohong.
Stella berdiri canggung di dekat pintu, menunduk, berpura-pura sibuk merapikan kantong buah agar tidak terlihat jelas ekspresi wajahnya.
Kairos kemudian meraih selimut, merapikannya di sekitar tubuh Aurora dengan gerakan hati-hati.
“Tidur aja. Gue di sini. Lo nggak sendirian.” Suaranya tenang dan penuh keyakinan seperti janji yang tak bisa ditawar.
Aurora tetap diam. Tidak melawan tapi tidak menerima sepenuhnya.
Tapi ia juga tidak menolak ketika Kairos menggenggam tangannya erat, seakan berusaha menyalurkan kekuatan lewat sentuhan itu.
Kairos menatap wajahnya lama, lalu berbisik rendah. “Sampai kapan pun, gue nggak akan bosen ada di sini. Percuma lo mau kabur.”
Aurora hanya menghela napas pelan. Di titik itu, perlawanan yang biasanya jadi tamengnya runtuh sepenuhnya, meninggalkan hanya kelelahan dan pasrah.
Dan Kairos, meski tidak mendapat lawan yang ia tunggu, tetap memilih bertahan di sisinya, seperti seorang gentleman yang setia, meski aura obsesifnya tetap tak bisa disembunyikan.
Keheningan kamar hanya diisi detak jam dinding dan suara mesin monitor yang berdetak tenang.
Kairos masih duduk di samping ranjang, jemarinya menggenggam tangan Aurora erat, seakan ia adalah jangkar yang menjaga Aurora tetap ada di dunia nyata.
Aurora memejamkan mata, napasnya berat tapi stabil. Kairos menatap wajah pucat itu lama, hingga hampir lupa ada orang lain di ruangan.
Stella yang sejak tadi berdiri canggung akhirnya memberanikan diri berdehem pelan. “Ehem…”
Kairos menoleh cepat, seakan baru sadar kalau Stella masih ada di sana. Tatapannya melunak sedikit.
“Tuan Kairos…” suara Stella pelan, penuh hati-hati, “kalau tidak keberatan… izinkan saya keluar dulu. Saya rasa… kalian butuh suasana tenang berdua.”
Kairos menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk singkat. “Ya, silakan terima kasih sudah ikut repot. Gue udah transfer bonus buat lo—cek aja nanti.”
Wajah Stella sempat terkejut, lalu cepat-cepat ia menunduk dalam. “Terima kasih banyak Tuan” Nada suaranya tulus meski tubuhnya masih terasa lelah karena beban tadi.
Kairos hanya memberi isyarat dengan gerakan tangan agar ia segera pergi.
Stella menunduk sekali lagi, lalu melangkah keluar dengan langkah cepat namun tetap rapi.
Pintu kamar menutup perlahan di belakangnya, menyisakan Kairos dan Aurora dalam sunyi yang lebih intim.
Kairos menghela napas tipis, kembali menatap Aurora. “Sekarang, cuma lo dan gue Ra.” Suaranya rendah, hampir seperti janji.
Tbc🐼