sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 31
Arga membalikkan badan dan mendorong tubuh Kartika.
“Tika!” geram Arga. “Lepaskan!” Mata Arga melotot, sedangkan Kartika tersenyum menggoda. Ia mengenakan baju tidur yang memperlihatkan pundaknya yang putih, juga belahan dadanya tampak jelas.
“Mas Indra nanti tahu,” ucap Arga kesal.
“Aku sudah memberi dia obat tidur,” jawab Kartika.
Mata Arga membulat. “Kamu gila, Ka!”
“Aku tergila-gila sama kamu, Arga,” Kartika maju lagi.
“Stop, Ka,” ucap Arga.
“Arga, aku sangat mencintaimu,” bisik Kartika.
Lalu dia maju dan memeluk Arga. Arga kaget, jantungnya berdebar kencang saat tubuh Kartika menempel di dadanya.
“Maaf,” suara seseorang membuat mereka menoleh. Arga dan Kartika melihat ke arah sumber suara. Posisi mereka masih berpelukan.
Arga segera melepaskan pelukan Kartika.
“Maaf, saya mau pipis,” ucap Lilis.
Kartika melotot memandang Lilis tajam.
Arga segera menghampiri Lilis. “Ini tidak seperti yang kamu lihat, Lilis,” ucap Arga.
Lilis hanya diam dan meremas ujung gaunnya.
“Awas kalau kamu bawel!” ancam Kartika dengan mata tajam ke arah Lilis.
“Ya, Bu, saya enggak lihat,” lirih Lilis takut.
“Bagus,” ucap Kartika lalu berjalan kesal menuju kamarnya. Lagi-lagi usahanya gagal.
Lilis melangkah menuju kamar mandi, dan Arga kembali ke kamarnya dengan hati yang berdebar. Piring yang berisi nasi ia tinggalkan di meja makan; rasa takut pada Kartika menghilangkan selera makannya.
Arga masuk ke kamar, merebahkan tubuhnya di kasur.
“Ini gila… benar-benar gila,” gumamnya.
Arga meremas kepalanya. Kartika cantik, tubuhnya proporsional, dan suka merawat diri—ukuran yang cukup sempurna untuk seorang wanita.
Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia melangkah ke pintu, lalu membukanya.
“Bapak, ini makannya,” ucap Lilis membawa nampan berisi nasi lengkap dengan lauk dan segelas air.
Arga menatap Lilis lekat. “Aku harap kamu tidak cerita pada Ibu dan yang lainnya.”
Lilis hanya menganggukkan kepala.
Arga menerima nampan itu, lalu duduk di kursi yang ada di kamar dan makan dengan lahap.
,,,
Pagi datang begitu cepat. Melati bangun dengan malas, santai sih karena hanya hidup sendiri, tapi terkadang dia merasa sepi.
Baju putih dan rok hitam yang kemarin dia pakai, sekarang dia pakai lagi dengan tujuan yang sama—Universitas Mekar Buana. Kalau kemarin untuk melamar kerja, sekarang untuk bayar utang. Seratus juta, bahkan dalam mimpi saja Melati tidak pernah terbayang mempunyai utang seratus juta, dan itu terjadi hanya karena dia mengantuk.
Melati memakai jas lusuhnya, lalu mengendarai sepeda motor matiknya. Dia mengendarai agak cepat, biar tidak ngantuk, pikirnya. Trauma membawa motor dengan pelan, takut menabrak mobil parkir seperti kemarin.
Malas sih, karena akan bertemu Mawar, tapi Melati tak punya jalan lain untuk membayar utangnya.
Tiba di sebuah gedung lantai empat yang cukup mewah dan luas untuk ukuran universitas, Melati melepaskan helmnya. Ia menarik napas berat, menyiapkan diri untuk kembali bertengkar dengan Mawar.
Sampai di lobi, benar saja, Mawar sudah berada di lobi Ia tampak ramah menyapa seluruh karyawan dan mahasiswa yang datang.
“Kenapa dia baik sama orang, tapi tidak padaku? Kurang apa aku coba sama dia, suamiku saja aku kasih ke dia,” pikir Melati, terus melangkah dan menyiapkan mental untuk bertempur.
Hari ini kampus tampak berbeda. Halaman bersih, petugas kebersihan sibuk membersihkan gedung.
“Cepat-cepat kerja yang bagus,” ucap Mawar lembut memberi semangat pada para karyawan.
Mata Mawar bertemu pandang dengan Melati. Tatapan lembutnya berubah tajam. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal.
“Mau apa lagi kamu ke sini? Pergi sekarang juga!” hardik Mawar.
“Aku mau ketemu seseorang di sini.”
“Pergi!” suara Mawar agak tinggi. “Sebentar lagi ada tamu istimewa datang.”
“Aku mau ketemu Panji Sukmana.”
Mawar mengerutkan dahi, detik berikutnya tertawa terbahak-bahak.
“Mimpi apa kamu semalam? Tahu dari mana kamu Pak Panji Sukmana?” ucap Mawar.
“Orang itu sepertinya mengenal Mawar. Ah, bukankah Mawar itu belakangnya Sukmana, jangan-jangan masih saudara lagi sama pria itu. Kalau iya, hariku akan semakin berat,” pikir Melati.
“Cepat pergi!” suara tinggi Mawar membuyarkan lamunan Melati.
“Tapi aku harus bertemu Panji.”
“Kamu tidak layak menyebut nama dia!”
Melati mengerutkan dahi. Bukankah Panji sendiri yang memperkenalkan diri padanya dan memberikan kartu nama?
“Aku mau ketemu dia,” ucap Melati.
“Sudah janji belum? Kalau sudah, coba telepon dia.”
Melati merogoh sakunya, dan sialnya, kartu nama itu tidak ia simpan, nomor Panji pun belum disimpan di ponselnya.
“Dasar pembohong!” ucap Mawar setelah sekian lama Melati mencari kartu nama Panji.
“Aku enggak bohong, aku memang disuruh ke sini,” ucap Melati.
“Security!” teriak Mawar.
Dua orang security datang menghampiri Melati.
“Sebentar lagi tamu penting akan datang ke sini. Dia sudah buat onar, jangan sampai mempermalukan tempat kerja kalian!” ucap Mawar.
Dua orang security mendekat ke arah Melati.
“Kalau aku enggak disuruh ke sini, juga aku malas ke sini,” ucap Melati.
“Sebaiknya Anda pergi,” ucap salah satu security sopan.
“Saya mau bertemu dengan Panji dulu, baru saya akan pergi.”
“Anda benar-benar akan mengacau. Maaf, kami bertindak kasar.”
Security bersiap membawa Melati paksa.
“Ada apa ini?” suara bariton seorang pria menghentikan tindakan security.
“Kak Panji,” ucap Mawar, suaranya gemetar.
Melati kembali harus mendongak karena tinggi Panji beda dua puluh lima sentimeter darinya.
“Ada apa? Kenapa ribut?” ucap Panji dengan nada datar.
“Ini, Kak, dia mengaku mau ketemu Kak Panji. Aku rasa dia bohong, Kak,” ucap Mawar sopan.
“Dia kakaknya Mawar. Ya, jadilah aku dirujak Mawar dan Panji. Nasib, nasib,” pikir Melati merasa nelangsa.
“Tapi kenapa enggak ada mirip-miripnya ya kalau adik kakak?”
“Dari mana kamu tahu kalau dia bohong?” tanya Panji dingin.
“Ya mana mungkin dia kenal dengan Kakak, dia ini hanya orang yang enggak penting.”
Panji tampak menarik napas.
“Dari dulu kamu tidak berubah, Mawar. Terlalu gampang menilai sesuatu. Bisakah kamu telepon aku dulu, konfirmasi?”
“Maaf, Kak, aku rasa tidak perlu. Lagian dia tidak bisa menunjukkan bukti kalau Kakak kenal dengan dia.”
Panji menatap Melati.
“Apa kamu buang kartu namaku? Apa kamu mau lari dari tanggung jawab? Jangan coba-coba lari, ada seribu cara yang bisa aku lakukan untuk menemukan kamu.”
Jantung Mawar berdetak lebih kencang. Ternyata memang Panji sendiri yang mengundang Melati dan memberikan kartu namanya—hal yang sangat langka dilakukan Panji.
“Aku lupa membawanya. Kalau aku tidak bertanggung jawab, kenapa juga aku ke sini?” ucap Melati.
Semua staf dan karyawan tampak berbaris melihat percakapan Panji, Mawar, dan Melati. Acara penyambutan berubah karena Panji datang terlalu cepat.
“Ayo ke ruanganku,” ucap Panji, tatapannya mengarah pada Melati.
Semua orang terperangah. Hanya sedikit orang yang boleh masuk ke ruangan Panji.
“Kamu urus saja yang lain,” pandangannya mengarah pada Mawar, membuat Mawar dongkol.
end then kamu pakai be smart don't be stupid selangkah di depan dong bukan di belakang
lah ini orang umur berap Thor