Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perut Bunyi, Hati Ikut Riuh
Arga masih berdiri di depan pagar rumahnya, senyum kecil belum juga hilang dari wajahnya. Bayangan wajah Nayla yang salah tingkah tadi masih menari-nari di kepalanya terutama waktu cewek itu buru-buru ngeles soal "angin di perut". Sudut bibir Arga makin naik, dan matanya menatap kosong ke arah tempat Nayla tadi berdiri, seolah masih bisa melihat ekspresi panik gadis itu.
"Lucu banget, sih," gumamnya pelan, hampir nggak terdengar.
Raka yang sedari tadi berdiri di sampingnya menatap ayahnya dengan pandangan menyelidik. Bocah itu mengerutkan dahi, lalu menatap Arga dengan senyum jail khas anak cerdas yang baru nemu rahasia besar.
"Kakak itu lucu ya, Pa," ucapnya tiba-tiba.
Arga menoleh, pura-pura nggak paham. "Kakak siapa?" tanyanya tenang sambil membuka pintu mobil.
Raka mendengus kecil, menatap Arga sambil nyengir lebar. "Ya kakak itu, yang tadi perutnya bunyi gara-gara 'angin'. Kakak yang Papa ajak sarapan tapi nolak padahal lapar."
Arga mendecak pelan, tapi matanya memancarkan tawa yang ditahan. Ia mengacak rambut Raka dengan lembut sambil menunduk sedikit.
"Pintar banget sih kamu, hmm?" ucapnya. "Kecil-kecil udah jago nyindir Papa."
Raka tertawa lepas, lalu berjalan beriringan di samping Arga menuju mobil. "Aku nggak nyindir, cuma ngomong yang bener aja. Kakak itu cantik, lucu, terus Papa tuh beda banget kalo sama dia."
Arga berhenti sejenak, menatap anak semata wayangnya yang kini menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Beda gimana, emang?" tanyanya pelan sambil menekan remote mobil.
Raka mengangkat bahu kecilnya. "Ya... Papa tuh biasanya cuek banget sama orang. Tapi tadi, Papa senyum terus. Terus ngelihatin Kakak itu kayak..."
Raka mengerutkan alis, berusaha mencari kata yang pas. "Kayak di film, Pa. Yang cowoknya suka tapi pura-pura nggak."
Arga menatap Raka dengan tatapan yang sulit ditebak. Sesaat, ia terdiam, lalu perlahan tersenyum kecil.
"Wah, kamu kebanyakan nonton drama sama Bibi, ya?" ucapnya pelan sambil membuka pintu mobil untuk Raka.
Raka masuk sambil cengengesan. "Tapi bener kan, Pa?" godanya.
Arga hanya menghela napas pelan, menyalakan mesin mobil, lalu berkata santai, "Papa cuma sopan sama tetangga. Itu aja."
Raka langsung tertawa kecil, memeluk tas kecilnya sambil berkata, "Sopan tapi matanya senyum terus ya, Pa."
Arga yang sedang mundurkan mobil cuma tersenyum tipis, menatap jalanan depan rumah.
"Anak kecil jangan kebanyakan ngomong," ujarnya dingin tapi suaranya lembut, disertai elusan lembut di kepala Raka.
Namun begitu mobil melaju perlahan meninggalkan halaman.
Senyum itu kembali muncul tanpa sadar di wajahnya.
Sementara Raka di kursinya menatap ayahnya, lalu tersenyum sendiri.
"Papa cuek, tapi kalo soal Kak Nayla... auto genit," gumamnya pelan.
Arga hanya mendengar samar-samar, tapi kali ini ia tak menyangkal. Ia hanya menatap ke depan, membiarkan senyum kecilnya bertahan lebih lama dari biasanya.
Nayla berjalan dengan langkah cepat menuju warung nasi uduk langganannya, sambil terus mengomel pelan pada diri sendiri. Rambutnya sedikit berantakan tertiup angin pagi, dan wajahnya masih memerah karena rasa malu yang belum juga hilang sejak kejadian tadi.
"Sumpah, sumpah, Nayla... lo tuh kenapa sih bisa-bisanya perut lo bunyi di depan cowok itu!" gerutunya sambil menepuk pelan perutnya sendiri. "Udah gitu, dia senyum-senyum lagi. Ih, malu banget sumpah!"
Ia mendesah panjang, menunduk, dan melangkah makin cepat. Tapi baru beberapa meter berjalan, suara klakson pelan terdengar dari belakang. Tiiin...
Nayla menoleh sebentar, lalu matanya langsung membulat.
"Duh, jangan bilang itu..." gumamnya pelan.
Dan benar saja mobil hitam dengan cat mengilap itu berhenti pelan di sampingnya. Kaca mobil perlahan turun, menampakkan wajah seseorang yang bikin jantung Nayla langsung mau kabur ke ubun-ubun.
Arga.
Cowok itu duduk santai di balik kemudi, memakai kacamata hitam dan jas rapi seperti biasa. Namun yang bikin Nayla makin pengin lenyap ke tanah adalah senyum tipis yang muncul di bibirnya. Senyum yang entah kenapa, di matanya itu lebih mirip senyum mengejek manja.
"Pagi, Nona lapar tapi ngaku kenyang," ucap Arga santai, suaranya tenang tapi mengandung godaan halus.
Nayla langsung menegakkan tubuhnya, pura-pura tidak dengar.
"Ah, nggak... itu pasti bukan gue yang dipanggil. Banyak kok orang lapar di dunia ini," gumamnya pelan, lalu berjalan cepat tanpa menoleh lagi.
Arga hanya menggeleng pelan sambil tersenyum, matanya menatap punggung Nayla yang berjalan cepat seperti anak kecil yang ngambek. Ia menahan tawa kecil, lalu menyalakan mesin mobilnya lagi.
Sebelum beranjak, ia sempat berkata pelan dari balik kaca, "Jangan lupa sarapan ya, biar perutnya nggak bunyi lagi."
Mobil itu kemudian melaju pelan meninggalkan Nayla. Namun ucapan terakhir Arga membuat Nayla berhenti sejenak di pinggir jalan, wajahnya semakin merah padam.
"Ihh! Sialan!" teriak Nayla kecil sambil menutupi wajahnya dengan tangan. "Ya Tuhan, bisa nggak sih bumi terbuka sekarang biar gue tenggelam aja!"
Ia menatap ke arah mobil Arga yang mulai menjauh, lalu menggerutu kesal sambil menendang kerikil kecil di jalan.
"Tuh orang ya, kenapa sih harus muncul tiap pagi! Mau ngerusak mood gue apa gimana sih?!"
Namun, tanpa sadar sudut bibirnya sedikit terangkat.
"Hmm... tapi ya, senyumnya... dikit aja lucu sih. Dikit banget," gumamnya pelan sambil berjalan lagi menuju warung nasi uduk.
Beberapa langkah kemudian, ia kembali menepuk pipinya sendiri dengan pelan.
"Eh, Nayla! sadar! Dia itu tetangga ngeselin, bukan cowok manis di drama Korea!"
Ia pun akhirnya tiba di warung nasi uduk sambil masih bergumam sendiri, membuat ibu penjual menatapnya heran.
"Lho, Mbak Nayla ngomong sama siapa tuh?"
"Eh, nggak Bu, ini cuma ngobrol sama nasi uduk aja biar makin akrab," jawab Nayla cepat, membuat si ibu terkekeh.
Aroma nasi uduk yang gurih dan hangat langsung menyapa hidung Nayla begitu ia duduk di bangku kayu kecil di depan warung. Uap dari kukusan nasi menari-nari di udara, membuat perutnya kembali berbunyi.
"Duh, baru cium baunya aja udah lapar lagi," gumam Nayla sambil mengelus perutnya sendiri.
Ibu penjual, yang sudah hafal wajah pelanggannya itu, tersenyum ramah.
"Wah, Mbak Nayla kelihatan buru-buru banget hari ini. Nasinya kayak biasa ya? Nasi uduk, telur balado, sambal kacang, sama tahu goreng?"
"Iya, Bu. Pokoknya yang banyak ya, soalnya pagi gue hari ini udah cukup melelahkan," ucap Nayla dengan nada dramatis.
Ibu itu tertawa kecil sambil menyiapkan pesanan Nayla.
"Baru pagi udah melelahkan? Emangnya habis olahraga?"
"Olahraga jantung, Bu," jawab Nayla cepat.
"Lho, kok bisa?"
"Iya, tadi tuh... saya ketemu tetangga baru. Ih, ngeselin banget, Bu!"
Ibu penjual nasi uduk menatap Nayla sambil tersenyum penuh arti. "Emangnya ketemu sama siapa, Mbak?" tanyanya penasaran sambil menuang sambal ke atas nasi.
Nayla menghela napas panjang, matanya memutar jengah. "Itu lho, Bu... tetangga baru saya. Orangnya sih ganteng, rapi banget, wangi, tapi... genit parah!" ucapnya sambil mengaduk-aduk nasi uduk di piring.
Si ibu terkekeh, "Halah, ganteng aja dibilang genit. Namanya siapa, Mbak?"
Nayla mengerutkan kening, mencoba mengingat. "Saya juga nggak tau, Bu, soalnya belum pernah nanya langsung. Tapi nama anaknya tuh... Raka."
Begitu mendengar nama itu, mata si ibu langsung berbinar. "Ooh... Raka? Berarti bapaknya Arga."
Sendok di tangan Nayla langsung berhenti di udara. Ia menatap si ibu dengan mata membulat. "Ha? Arga?" batinnya langsung berteriak, jadi tuh orang namanya Arga?
"Lho, kok Mbak kaget gitu?" tanya si ibu sambil tersenyum geli.
"Enggak, Bu, saya cuma..." Nayla menggigit bibirnya, mencoba menahan komentar. "Cuma heran aja... emang bener ya, Bu, dia tuh genit banget. Masa semalem minta kacang hijau ke saya, alasannya buat tugas anaknya. Sekarang pagi-pagi muncul lagi pake jas kayak mau meeting di istana presiden! Dan tadi tuh ya, Bu... dia sempet nyapa saya, senyum lagi! Senyum yang bikin pengen lempar sandal!"
Ibu itu malah tertawa makin keras. "Aduh Mbak, Arga itu orangnya dingin, cuek malah. Jarang banget senyum apalagi ngomong sama orang. Saya sampe heran, kok bisa dia senyum ke kamu?"
Nayla mendelik, menunjuk dirinya sendiri. "Dingin apanya, Bu! Kalau dingin, masa iya ngomongnya aja suka sok manis, suaranya tuh kayak... kayak uh, kayak karakter drama Korea yang sok cool tapi nyebelin gitu, Bu!"
Ibu nasi uduk memegangi perutnya karena menahan tawa. "Mbak Nayla ini lucu banget. Tapi saya kasih tau ya, Pak Arga itu duda, Mbak."
Nayla yang tadinya masih ngoceh langsung terdiam. "Hah? Duda?" suaranya melemah, matanya berkedip cepat. "Serius, Bu?"
"Iya, bener. Katanya, udah hampir tiga tahun. Sekarang tinggal sama anaknya aja, si Raka itu. Makanya orang-orang ngeliat dia tuh kalem, serius, dan jarang deket sama siapa-siapa."
Nayla menatap piringnya, wajahnya perlahan melunak. "Oh... pantesan dia keliatan... ya, gimana ya... tenang banget gitu," gumamnya pelan, lalu buru-buru menepuk pipinya sendiri. "Eh tapi tetep aja, Bu! Genit ya genit! Duda kek, jomblo kek, tetep aja kelakuannya bikin jantung deg-degan!"
Ibu itu ngakak sampai tepuk meja. "Hahaha, ya ampun Mbak Nayla, saya gak tahu harus kasian atau ketawa. Tapi hati-hati lho, yang genit-genit gitu kadang justru serius beneran."
"Yah, kalo serius langsung aja lam eh, maksud saya jangan godain cewek sembarangan dong, Bu!" Nayla cepat-cepat membenarkan ucapannya, pipinya merah padam.
Ibu nasi uduk menatapnya geli. "Mbak Nayla ini, ngomongnya suka belok. Tapi kalo Pak Arga senyum lagi, jangan pura-pura gak liat ya."
"Bu, sumpah, kalo dia senyum lagi, saya bakal pura-pura buta!" ucap Nayla sambil berdiri dan membayar.
Saat berjalan pergi, Nayla masih ngomel sendiri. "Arga... duda... pantes aja vibes-nya tuh kayak bapak-bapak keren yang bisa bikin cewek salah fokus. Tapi tetep aja, Bu, genit tuh genit!"
Ia mendengus sambil menepuk pipinya sendiri. "Nayla, tolong ya, jangan sampe lo jatuh hati sama orang model gitu... bisa gawat urusannya."
Namun di balik semua gerutu itu, ada sedikit senyum kecil yang muncul di bibirnya senyum yang bahkan Nayla sendiri gak sadar dia keluarkan.