Bagaimana caranya Hanum si preman pasar yang bar- bar seketika menjadi anggun saat dia harus menikah dengan anak majikannya.
"Ada uang Abang kucinta. Gak ada uang Abang kusita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga Berbahaya
Hanum memastikan dirinya rapi dan wangi sesaat sebelum mengetuk pintu kamar Arya, dan masuk ke dalamnya.
Setelah mendengar seruan dari dalamnya Hanum segera masuk dan menyapa si tuan muda yang baru saja bangun dan mendudukan dirinya.
"Pagi, Tuan." Hanum segera melangkah ke arah walk in closet untuk menyiapkan pakaian Arya. Tidak sulit menyesuaikan warna, karena semua pakaian Arya berwarna gelap seperti kepribadian pria itu. Hanya ada biru navi sisanya hitam, dan beberapa kemeja putih. Jadi Hanum hanya perlu mencocokan warna jas dan kemeja, berikut dasi yang juga tak memiliki banyak warna.
Hanum baru akan keluar saat terdengar suara Arya yang baru akan memasuki kamar mandi.
"Jangan keluar sebelum aku selesai!" Setelah itu Arya meneruskan niatnya untuk memasuki kamar mandi.
Hanum mengernyit, tapi dia hanya menurut dan duduk di sofa menunggu Arya selesai. Kamar Arya masih rapi setelah semalam dia rapikan, dan rencananya setelah Arya bekerja barulah Hanum akan melakukan pekerjaannya ini. Membersihkan kamar yang sudah bersih.
Tak berapa lama Hanum menunggu Arya sudah kembali dengan tubuh setengah telanjangnya sebab dia hanya mengenakan handuk. Sebelah tangannya dia gunakan untuk mengusak rambut basahnya. Tangannya yang terangkat membuat otot- otot itu nampak jelas membuat Hanum cepat- cepat memalingkan wajahnya sebab merasa malu dengan apa yang dia lihat.
Hanum mengerjapkan matanya, pipinya bahkan terasa panas karena melihat yang tidak semestinya.
Arya berjalan kearahnya masih dengan mengusak rambutnya membuat Hanum semakin salah tingkah dan sibuk memalingkan wajahnya saat Arya terus menatapnya.
Jantung Hanum berdetak semakin cepat saat beberapa langkah lagi jarak Arya dengannya, hingga pria itu membelokkan tubuhnya ke arah ruang kerjanya.
Hanum menghela nafasnya lega. Bisa- bisanya dia berpikir Arya akan menghampirinya.
Sial, jantung Hanum rasanya masih lemas karena detakannya yang meningkat lebih cepat.
Pintu terdengar tertutup saat Arya muncul dengan menarik handle pintu di belakangnya. "Ini." Arya menyerahkan sebuah undangan yang membuat Hanum mengernyit.
"Apa ini, Tuan?" jelas Hanum tak mengerti kenapa tuannya itu memberinya sebuah undangan.
"Temani aku ke pesta pertunangan adik sepupuku." Arya melangkah ke arah walk in closet dan meraih pakaiannya yang sudah siap untuk dia kenakan.
"Hah? Tapi, Tuan. Saya tidak pernah ke pesta." Jangankan pesta, Hanum saja baru sekali ke kondangan teman sekolahnya yang menikah beberapa bulan lalu.
"Kamu harus mulai terbiasa mulai sekarang. Karena sebagai istriku kamu akan sering menghadiri pesta." Arya menghentikan gerakannya dengan mengernyit kenapa dia merasa kata 'istriku' sedikit mengganggunya.
Hanum menghela nafasnya. "Ternyata, susah jadi istri orang kaya," keluh Hanum.
Tak ada tanggapan dari Aryan hingga pria itu keluar dari ruangan gantinya. "Aku akan minta Bu Ratna ajarkan kamu. Aku harap kamu tidak membuatku malu."
Hanum memberengut. "Memang kapan pestanya, Tuan?"
"Kamu tidak lihat undangannya?"
Hanum membuka undangan yang nampak indah dan mewah di tangannya. "Ini sih tiga hari lagi, Tuan."
Arya mengedikkan bahunya acuh. "Dalam waktu tiga hari kamu harus mempelajarinya. Dan aku rasa itu akan berguna saat kamu menjadi istriku. Tentu saja jangan membuat aku malu dengan tingkahmu."
Hanum mendengus bahkan mendelikkan matanya ke punggung Arya.
"Ayo kita sarapan." Hanum membeku saat Arya menyodorkan tangan padanya.
Hanum masih terdiam membuat Arya berdecak, "Cepatlah!"
Dengan ragu Hanum menyambut tangan Arya dan seketika tubuhnya yang masih terduduk tertarik hingga menubruk tubuh tinggi Arya.
"Biasakan juga ini, Hanum. Aku tidak suka menunggu lama." Hanum mendongak dan menatap mata dingin Arya. Tubuh mereka masih merapat meski tidak ada tindakan Arya, yang menahan pinggangnya namun Hanum seolah tak bisa bergerak atau pun beranjak dari hadapan pria di depannya.
Bagai kerbau yang di cocok hidungnya. Tubuh Hanum kembali terhunyung saat tiba-tiba Arya berjalan masih dengan menarik tangannya, membuat Hanum sedikit kewalahan saking lebar dan cepatnya langkah pria itu.
Apa maksud pria ini terus membuat jantungnya berdebar kencang seperti sekarang? Sialan! Hanum merasa tangannya yang di genggam Arya berkeringat. Dia bahkan tak menyadari jika mereka tiba di ruang makan dan berhadapan dengan Ningsih. Berapa menit biasanya dia habiskan waktu dari kamar Arya ke ruang makan? Kenapa dia merasa kali ini berjalan terlalu cepat. Atau dia melamun terlalu lama?
"Duduk, Arya, kamu juga Hanum."
Hanum masih belum mencerna berapa jarak yang mereka tempuh dari kamar Arya ke ruang makan ini, dan malah mendengar suara Ningsih memintanya duduk.
"Disini, Nyonya?" tunjuknya pada kursi makan di sebelah Arya.
Ningsih mengangguk. Hanum masih diam hingga Arya kembali menariknya agar segera duduk. Sudah berapa kali pria ini menyentuhnya, dan kemana rasa jijiknya saat menyentuh orang lain?
Hanum mengedarkan pandangannya ke sekitar dimana para pelayan menatap ke arahnya hingga matanya kembali pada Ningsih.
"Kamu udah terima undangan dari Rendi?" tanya Ningsih pada Arya.
"Hm."
"Jadi Hanum, kamu juga harus siap di perkenalkan pada keluarga kami."
Hanum mengangguk kaku. "Ratna akan membantu kamu belajar, nanti."
Itu yang juga di katakan Arya. Hanum menoleh bertepatan dengan mata Arya yang mengarah padanya. Mata pria itu tetap dingin membuat Hanum dengan cepat memalingkan wajahnya.
"Iya, Nyonya."
"Dan mulai sekarang jangan panggil saya, Nyonya."
Hanum mengernyit. "Panggil tante."
.....
"Ini Tuan besar Hardi, beliau ayah mertua nyonya Ningsih." Ratna menunjuk sebuah foto yang berjejer di depan Hanum.
"Tuan Abimanyu memiliki satu orang adik perempuan, nyonya Sesilia." Ratna menunjuk foto di sebelah pria tua bernama Hardi. "Kamu harus hati- hati sama dia ini." Ratna berbicara sedikit pelan. "Dia suka sekali menghina, jangan sampai kamu membuat kesalahan yang akan membuat Nyonya dan Tuan muda malu."
Hanum mendongak menatap Ratna. "Gimana kalau itu terjadi?"
"Maka seumur hidup kamu mungkin kamu akan menjadi bahan ejekan seluruh keluarga."
Hanum menggeleng cepat. "Ini siapa?" tunjuk Hanum pada foto di sebelah Sesilia.
"Tuan Dendra suami Nyonya Sesilia. Mulutnya gak kalah tajam dari Nyonya sisilia, kamu juga harus hati- hati sama dia."
Hanum terkekeh. "Sama- sama bermulut tajem, pantes jodoh."
Ratna menggeleng pelan. "Ini Tuan Rendi." Ratna menunjuk foto yang lain.
"Ini anaknya, Nyonya Sesilia sama Tuan Dendra." Ratna mengangguk.
"Selain itu ada tiga saudara Tuan Hardi yang perlu kamu hormati. Para tetua yang berpengaruh di keluarga Chandra wijaya."
"Harus hati- hati juga?"
"Lebih tepatnya kamu harus jaga diri." Mata Ratna menyipit tajam, membuat Hanum bergidik.
"Seberapa bahayanya, sampe harus jaga diri."
Ratna terdiam. "Harus kasih tahu biar bisa meningkatkan kewaspadaan?" ucap Hanum lagi.
Ratna menghela nafasnya. "Kayaknya yang bisa jelasin ini cuma Nyonya."
Hanum bergidik, seberapa berbahayanya mereka, sampai Ratna harus memperingatkannya.
"Baiklah kita ke tahap selanjutnya."
Doble Up kalau boleh kak