NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 18 — Sinyal yang Tak Pernah Padam

Sudah seminggu sejak Ryan resmi pindah ke Brightwave Digital.

Ruang kerjanya lebih luas, timnya lebih profesional, dan gajinya naik hampir dua kali lipat.

Tapi entah kenapa, setiap kali jam makan siang tiba, pikirannya melayang ke satu tempat: kafe kecil dekat Central Park.

Tempat terakhir ia melihat Emma.

---

“Ryan, presentasi klien jam dua!”

Suara Samantha, asisten barunya, memecah lamunannya.

Ryan menegakkan duduknya, tersenyum sopan. “Iya, aku siap.”

Samantha menatapnya curiga. “Kamu kelihatan nggak di sini sejak tadi. Masih kepikiran Vibe Media, ya?”

Ryan mengangkat alis. “Kamu bisa baca pikiran?”

Samantha terkekeh. “Nggak perlu baca. Tatapan kosong kayak gitu cuma dua artinya: antara kangen kerja lama atau kangen orang lama.”

Ryan tertawa pelan. “Kalau dua-duanya?”

Samantha tersenyum nakal. “Berarti kamu masih manusia.”

---

Sementara itu di Vibe Media, Emma menatap layar laptop, berusaha fokus pada laporan mingguan.

Tapi pikirannya terus melayang pada satu nama: Ryan Miller.

Setiap kali menerima email dari klien baru, matanya mencari-cari tanda bahwa itu berasal dari Brightwave Digital.

Dan setiap kali tak menemukannya, ada sedikit rasa kosong di dada.

“Emma!”

Suara Trisha, rekan satu timnya, memanggil.

“Kamu tahu nggak? Ryan sekarang nanganin kampanye besar Brightwave! Mereka mau kerja sama dengan Vibe Media lagi!”

Emma menatapnya cepat. “Serius?”

Trisha mengangguk. “Iya, dan mereka mau meeting bareng minggu depan.”

Hati Emma langsung berdebar.

“Meeting bareng…” gumamnya.

Trisha tersenyum. “Kamu seneng kan?”

Emma berusaha tersenyum. “Iya… mungkin.”

---

Malamnya, di apartemen, Emma duduk di sofa menatap email balasannya ke Ryan yang belum juga dibalas.

> “Kalau nanti kamu butuh alasan untuk pulang… aku akan jadi alasannya.”

Ia mengetuk meja dengan jari, lalu tertawa kecil.

“Bodoh,” katanya pelan. “Siapa juga yang pulang karena email?”

Ponselnya bergetar. Pesan dari Liam.

> Liam: “Kita perlu bahas proyek baru Brightwave besok pagi. Kau di kantor jam berapa?”

Emma: “Jam delapan.”

Liam: “Baik. Dan Emma…”

Emma: “Ya?”

Liam: “Aku dengar Ryan yang akan jadi wakil klien mereka.”

Emma terdiam.

Tangannya refleks menggenggam ponsel lebih kuat.

> Emma: “Baik. Aku siap.”

(Padahal ia jelas belum.)

---

Keesokan harinya, Ryan datang ke kantor Brightwave lebih pagi.

Ia membuka laptop dan menemukan email dari klien:

> To: Ryan Miller

From: Liam Harrison (Vibe Media)

“Looking forward to meeting your team tomorrow.”

Ryan menatap nama itu lama. Liam Harrison.

Ia tertawa miring. “Dunia ini kecil sekali.”

Samantha, yang baru datang, memperhatikan ekspresinya. “Masalah?”

Ryan menggeleng. “Nggak, cuma… lucu aja. Kadang, yang kita pikir udah selesai, malah mulai lagi tanpa izin.”

Samantha menyeringai. “Kedengarannya kayak hubungan.”

“Lebih rumit dari itu,” jawab Ryan. “Karena yang satu ini melibatkan… masa lalu dan klien besar.”

---

Hari meeting tiba.

Ruang konferensi Brightwave dipenuhi orang-orang penting — suasana profesional tapi tegang.

Dan ketika pintu terbuka, Emma masuk bersama Liam dan Trisha.

Ryan menatapnya dari ujung meja.

Ia sempat menahan napas.

Emma, dengan setelan biru navy dan rambut disanggul rapi, tampak anggun sekaligus gugup.

Begitu matanya bertemu dengan Ryan, waktu seakan berhenti beberapa detik.

Liam menyadari itu, tapi pura-pura tak peduli.

“Ryan Miller,” sapa Liam dingin sambil mengulurkan tangan. “Senang bisa kerja sama lagi.”

Ryan menjabat tangannya, tersenyum ramah. “Saya juga, Pak Harrison.”

Tatapan mereka seperti dua prajurit yang tahu mereka pernah berperang — dan mungkin akan berperang lagi.

Emma duduk di seberang Ryan.

Ia mencoba fokus pada layar proyektor, tapi jantungnya berdebar terlalu cepat.

---

Pertemuan berjalan formal, tapi setiap kali Ryan bicara, matanya sesekali berpaling ke Emma.

Sementara Liam tak pernah kehilangan satu kesempatan pun untuk menunjukkan bahwa dialah bos di ruangan itu.

Sampai akhirnya Ryan melempar satu kalimat yang menusuk halus:

“Vibe Media memang luar biasa, terutama di divisi kreatif. Saya tahu betul karena pernah bekerja dengan orang-orang hebat di sana.”

Ia melirik sekilas ke arah Emma.

Tatapan mereka bertemu.

Liam menyela dengan nada datar. “Ya, dan beberapa dari mereka masih di sini — karena mereka nggak pernah pergi.”

Emma menatap meja, sementara Trisha menatap ke arah Liam dengan wajah ‘serius, bro?’.

Ruangan mendadak hening sesaat.

Ryan menatap Liam, lalu tersenyum kecil.

“Kadang pergi bukan berarti menyerah, Pak. Kadang itu satu-satunya cara buat tetap waras.”

Samantha yang duduk di sebelah Ryan menahan tawa kecil. “Touché.”

Liam memaksakan senyum. “Baiklah. Kita lanjutkan ke bagian berikutnya.”

Tapi Emma tahu — kata-kata Ryan tadi bukan hanya untuk Liam. Itu untuknya juga.

---

Setelah meeting, semua orang keluar ruangan.

Emma menunggu sampai Liam pergi lebih dulu, baru ia mendekati Ryan yang masih membereskan laptopnya.

“Ryan,” panggilnya pelan.

Ryan menoleh, tersenyum tipis. “Hai.”

Emma berdiri di hadapannya, mencoba tegar. “Kau baik-baik saja?”

“Baik,” jawab Ryan. “Dan kau?”

Emma menatapnya lama. “Nggak.”

Ryan terdiam.

Suara bising kantor seakan memudar.

“Aku nunggu balasan emailku,” kata Emma lirih. “Tapi kau nggak jawab.”

Ryan memandangnya, lalu menghela napas pelan. “Aku baca. Berkali-kali malah. Tapi aku takut jawabanku bikin kamu nggak bisa tidur.”

“Kenapa?”

“Karena aku cuma mau bilang… aku belum benar-benar pergi.”

Emma menatapnya, hatinya berdegup tak karuan. “Apa maksudmu?”

Ryan mendekat sedikit, cukup dekat untuk membuat napas Emma tercekat.

“Mungkin aku pindah kantor, Emma. Tapi perasaanku nggak ikut pindah.”

Emma membuka mulut, tapi tak ada suara keluar.

Ryan tersenyum pelan. “Sampai jumpa di proyek berikutnya, Miss White.”

Ia melangkah pergi — meninggalkan Emma dengan jantung yang berdebar keras, dan satu kesadaran baru:

Ia tidak bisa lagi berpura-pura tidak peduli.

---

Malamnya, Emma menatap pantulan dirinya di jendela apartemen.

“Hidup benar-benar aneh,” gumamnya. “Waktu aku punya dia, aku takut kehilangan. Waktu aku kehilangan, aku justru makin takut… kalau dia datang lagi.”

Ia tertawa kecil, getir tapi jujur.

Dan di tempat lain, Ryan menatap layar laptopnya, membaca ulang email dari Emma untuk kesekian kalinya.

> “Kalau nanti kamu butuh alasan untuk pulang… aku akan jadi alasannya.”

Ryan tersenyum pelan.

“Aku rasa aku baru aja nemu alasannya.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!