Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.
Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.
"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.
Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4.
Ustadz Yassir Qayyim berdiri dengan tenang, merapikan sorbannya. Senyumnya ramah tapi matanya menyimpan perenungan.
Ia pamit tanpa banyak kata, hanya menunduk sopan sambil berkata, “Aku duluan, ya. Hati-hati pulangnya.”
Zamara hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan kecewa yang tiba-tiba menyusup dalam dada. Ia menatap punggung Yassir yang perlahan menjauh dan hilang di balik pintu kaca kafe.
Tangannya masih menggenggam sisa buket mawar kuning yang tadi dibawanya penuh harap.
Ia bersandar, menatap secangkir teh yang kini hanya tinggal setengah. Matanya menerawang. Langit sore mulai berubah warna, angin meniup lembut tirai kafe yang setengah terbuka.
Dalam hatinya ia bergumam lirih, "Aku harus meyakinkan ustadz apapun yang terjadi, kami harus menikah hari Jum’at nanti. Aku nggak bisa nunggu lebih lama. Bukan karena takut kehilangan, tapi karena aku ngerasa ini bukan sekadar cinta, ini panggilan hati. Dan aku siap berjuang untuk itu.”
Zamara menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini belum selesai. Bahkan mungkin ini baru mulai. Tapi satu hal yang pasti, tekadnya sudah bulat.
Kalau Tuhan sudah mengetuk hatinya tak ada yang bisa menghentikan langkahnya.
Malam itu jalanan kota mulai sepi tapi langkah Zamara justru semakin cepat. Troli belanjaannya sudah penuh sesak.
Berbagai kebutuhan ia pilih dengan cermat beras, minyak goreng, gula, kue kering, baju-baju baru untuk anak-anak dari usia SD, SMP sampai SMA, lengkap dengan seragam putih abu-abu dan sepatu hitam mengilap.
Tangannya sibuk, tapi pikirannya terus berkelana membayangkan wajah satu per satu orang yang ingin ia bahagiakan.
“Kalau aku mau jadi bagian dari hidup ustadz Yassir, aku juga harus mencintai keluarganya, tanpa syarat,” gumamnya pelan, sembari menyeka peluh di keningnya.
Ia tahu nama-nama itu. Aliyah yang katanya paling cerewet tapi lembut hatinya. Annisa dan Salwa yang sedang mondok di luar kota, sesekali pulang dan sangat menjaga adab.
Faris dan Salman yang masih usia tanggung, suka bercanda tapi diam-diam peka. Lalu Gilang, si bungsu yang katanya selalu ikut tidur di kamar ustadz kalau malam hujan deras.
Zamara tahu semua itu bukan karena mengintip, tapi karena diam-diam ia dekat dengan beberapa santri keluarga yang sering bercerita.
Bahkan ia tahu kalau Pak Mahmud suka kopi pahit buatan sendiri, dan Bu Sarah senang kalau dapur wangi kayu manis saat pagi. Bu Rasmi yang katanya paling selektif adalah yang paling harus ia dekati dengan hati-hati.
Semua itu ia pelajari diam-diam. Bukan karena ingin cari muka. Tapi karena ia benar-benar ingin diterima, bukan sekadar oleh Yassir tapi juga oleh seluruh keluarganya.
Ia tahu, cinta yang besar harus datang dengan pengorbanan. Maka malam ini, ia tidak hanya membawa buket mawar lagi. Ia membawa seluruh harapan dalam wujud belanjaan dan niat tulus.
Sampai di rumah, ia menatap semua kantong dan kardus yang berjajar rapi di ruang tamu.
"Semoga mereka mau menerimaku, semoga lamaranku nggak dianggap main-main. Dan semoga hari Jum’at nanti, aku berdiri di sisi Yassir... bukan sebagai tamu, tapi sebagai istri yang sah," batinnya sambil menatap langit dari jendela kamarnya.
Langit malam tampak gelap tapi tenang, seolah ikut mendoakan langkah Zamara yang mulai terasa berat, tapi yakin.
Pagi masih lembut ketika Zamara tiba di halaman rumah sederhana berwarna krem milik keluarga Ustadz Yassir.
Langkahnya pelan, tapi degup jantungnya tak bisa ia redam. Mobil sewaan penuh dengan kardus dan kantong besar berhenti perlahan.
Begitu pintu pagar dibuka, terdengar suara ceria menyambut.
“Eh, itu Mbak Zamara ya?!” seru seorang remaja laki-laki sambil berlari kecil keluar. Gilang si bungsu yang sering disebut-sebut oleh teman santriannya.
Zamara tersenyum kikuk. “Iya, Gilang ya? Alhamdulillah masih ingat…”
Tak lama, seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu utama. Senyum lembutnya seperti embun pagi yang jatuh perlahan.
"Zamara, ya? Astaghfirullah... cantik betul kamu nak. Assalamualaikum," sapa Bu Sarah hangat.
"Waalaikumsalam warahmatullah," jawab Zamara buru-buru menunduk, hormat.
Disusul oleh Pak Mahmud dan Bu Rasmi yang berjalan pelan dari ruang dalam. Mereka tak tampak kaku.
Bahkan Bu Rasmi yang menurut cerita paling pendiam menyambut dengan anggukan ramah.
"Kamu yang suka nganter makanan ke pondok waktu bulan puasa itu kan?" tanya Pak Mahmud sambil membetulkan kaca matanya.
"Iya, Pak... Saya Zamara. Maaf mendadak datang. Ini cuma bawa sedikit titipan dari saya buat adik-adik dan keluarga sebagai rasa hormat dan terima kasih saya selama ini," ujar Zamara lirih sambil membuka bagasi mobil.
Mereka terdiam beberapa saat, menyaksikan belasan kardus dan kantong besar berisi sembako, pakaian sekolah, perlengkapan harian dan bungkusan kue dengan hiasan pita sederhana.
“Kamu niat banget, Nak,” gumam Bu Rasmi, tak bisa menyembunyikan kekagumannya meski suaranya tetap datar.
Zamara menunduk. “Saya cuma ingin ikut bahagia kalau keluarga ustadz Yassir juga bahagia…”
Aliyah tiba-tiba datang dari dapur membawa dua gelas air dingin. “Ya Allah, Mbak Zamara orangnya beneran selembut ini ternyata. Mbak, sini dulu duduk, kita bantuin nurunin barang-barangnya.”
Gilang dan Salman langsung sigap membongkar barang dari bagasi. Faris ikut muncul dengan tawa khasnya.
“Kalau ini bukan calon kakak ipar, saya heran banget,” celetuknya membuat semua tertawa kecil.
Zamara menahan senyum, hatinya menghangat pelan. Ia tak menyangka sambutan itu begitu bersahabat. Tanpa sindiran, tanpa rasa tidak suka. Bahkan Bu Rasmi pun duduk mendekat padanya.
“Kamu niat baik, Nak. Semoga niat baikmu dijaga Allah juga... Kami doakan yang terbaik. Soal Yassir, dia anak kami, tapi keputusan akhir tetap di tangannya.”
Zamara mengangguk pelan. “Saya tahu Bu, saya nggak mau maksa. Tapi saya cuma ingin menunjukkan kesungguhan saya.”
Bu Sarah mengelus tangan Zamara penuh kelembutan. “Kami lihat itu, Nak. Dan kami senang kamu datang dengan niat baik, bukan sekadar janji manis.”
Zamara tersenyum haru. Matanya basah, bukan karena sedih tapi karena harapan kecil itu perlahan menemukan tempatnya.
Dalam hati, ia berdoa diam-diam,” aku yakin ustadz Yassir setuju menikah cepat denganku.” senyuman smirk terlihat tipis di sudut bibirnya.
Langkah kaki Ustadz Yassir terdengar pelan memasuki halaman rumah. Suaranya baru saja lelah menyampaikan ilmu, namun hatinya berdebar tak biasa saat melihat sosok perempuan muda itu sedang duduk di ruang tamu tersenyum hangat dikelilingi keluarganya.
"Assalamu’alaikum..." ucapnya lembut.
"Wa’alaikumussalam, Kak," seru Gilang sambil berlari kecil menghampiri. "Kak Zamara datang bawa banyak bingkisan, loh!"
Aliyah menimpali, "Bahkan baju sekolah buat anak-anak panti, Kak. Ada buat SD, SMP, sampai SMA."
Bu Sarah memandang dengan mata berkaca. “Jarang ada tamu yang datang membawa niat sebaik ini. Hati Ibu tersentuh.”
Ustadz Yassir menarik napas panjang. Ia memandangi Zamara dalam-dalam. Tak ada kepura-puraan di matanya. Tak ada kemewahan yang dipamerkan.
Hanya ketulusan dan usaha keras seorang perempuan yang ingin mencintai dengan jalan yang benar.
“Kamu sungguh serius dengan niatmu?” tanyanya lirih, tapi dalam.
Zamara menatap penuh harap. “Saya tahu saya masih banyak kekurangan, Ustadz. Tapi saya juga tahu hati saya tidak main-main. Kalau boleh saya jujur saya ingin rumah tangga yang sederhana, tapi penuh keberkahan. Saya ingin membersamai langkah Ustadz dalam dakwah. Kalau diperkenankan, saya ingin hari Jum’at jadi awal perjalanan itu.”
Suasana mendadak hening. Angin malam menerobos lewat jendela yang terbuka separuh. Ustadz Yassir tersenyum. Bukan senyum biasa, tapi senyum seorang pria yang akhirnya menemukan alasan untuk tidak lagi ragu.
“Insya Allah... kalau itu yang kamu niatkan karena Allah. Kita menikah hari Jum’at.”
Salwa bersorak kecil, Gilang menggenggam tangan Ustadz Yassir. Bu Rasmi dan Pak Mahmud saling pandang penuh haru.
Malam itu, bukan hanya sebuah lamaran yang diterima. Tapi juga sebuah jawaban untuk doa-doa yang diam-diam terucap dalam sepertiga malam.
“Yes! Rencana aku berhasil. Aqila dan Laira, 80 persen berhasil,” batinnya Zamara.
Hening menyelimuti malam. Angin lembut menyusup lewat celah jendela. Di sudut kamar yang temaram, Ustadz Yassir bersimpuh dalam sunyi.
Sajadah berwarna biru tua terbentang rapi. Sementara air wudhu masih membasahi wajahnya yang tampak lelah, namun penuh harap.
Tangannya terangkat perlahan. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi langit pasti mendengarnya.
“Ya Rabb... kalau perempuan itu adalah takdir baik yang Kau kirimkan untuk menenangkan hatiku, mudahkanlah jalanku. Tapi kalau niatnya hanya sebatas emosi, jauhkanlah dengan cara yang Engkau ridai,” bisiknya lirih.
Matanya terpejam. Menggigil tubuhnya bukan karena dingin, tapi karena rasa yang belum ia kenali sepenuhnya. Bukan karena ragu, tapi karena takut mencintai dengan cara yang salah.
“Selama ini aku terlalu sibuk menasihati orang lain, tapi lupa bahwa aku juga manusia. Aku bisa jatuh cinta, aku bisa lemah, aku bisa salah. Tapi malam ini aku hanya ingin Engkau yang menjadi penentu,” ucapnya lagi dengan suara pecah.
Dari luar kamar terdengar sayup azan dari masjid kecil di ujung kampung. Waktu fajar sudah dekat. Namun Ustadz Yassir masih diam. Kepalanya bersandar di atas sajadah. Bibirnya terus bergetar membaca doa-doa yang ia hafal sejak kecil.
“Kalau benar dia adalah takdirku, izinkan aku mencintainya dalam taat. Jadikan pernikahan kami bukan hanya penyatu dua nama, tapi juga penyatu dua jiwa yang ingin menuju surga-Mu bersama.”
Tak ada yang tahu doa itu. Tak ada yang mendengar kecuali langit dan bumi.
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah