Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Kediaman Pentronas mafia
Payung hitam itu menaungi kepala Arunika, melindunginya dari hujan yang semakin deras. Nafasnya tercekat ketika Rafael berdiri hanya beberapa langkah darinya. Wajah itu tak banyak berubah sejak tiga tahun lalu, tatapan tajam, rahang tegas, aura dingin yang membuat siapa pun menunduk.
Namun bagi Arunika, yang berubah hanyalah satu hal, dulu dia lari dari pria ini, malam ini dia justru terselamatkan olehnya.
“Masuk.” Suara Rafael berat dan dalam, tak memberi ruang untuk penolakan.
Arunika terpaku, tangannya masih menggenggam koper usang, tubuhnya gemetar antara dingin dan ketakutan. Dia menatap Rafael dengan mata yang masih sembab.
“Kenapa … kau ada di sini?”
Rafael tidak menjawab, dia hanya menoleh sekilas pada ketiga preman yang masih berdiri gemetar, dan di depan mereka beberapa bawahan Rafael sudah bersiap untuk eksekusi mereka semua. Satu lirikan saja cukup membuat mereka mundur terbirit-birit.
Salah satu anak buah Rafael mengambil koper Arunika, sementara pria itu sendiri menyibakkan jasnya, lalu menuntunnya masuk ke dalam mobil hitam berkelas yang pintunya sudah terbuka.
Arunika ingin menolak, ingin berkata kalau ia tak butuh bantuan siapa pun. Tapi tubuhnya terlalu lemah, hatinya terlalu hancur. Dan entah kenapa, tatapan Rafael membuatnya tak mampu menolak.
Deru mesin mobil yang melaju perlahan menelan suara hujan di luar. Dari balik jendela, Arunika melihat bayangan lampu jalan berkelebat bersama derasnya air yang menetes. Tangannya menggenggam erat kain bajunya sendiri, masih menggigil.
Dia duduk di kursi mobil mewah itu, tubuhnya kaku, seolah setiap inci kulitnya menolak kenyamanan yang baru saja ia dapat. Tubuhnya masih basah, rambutnya meneteskan air ke pundak, tapi tatapannya kosong.
Di sampingnya, Rafael duduk tegak. Wajahnya dingin, garis rahangnya tegas, sorot matanya lurus ke depan. Pria itu tidak berkata banyak, tapi kehadirannya memenuhi seluruh ruang sempit itu dengan aura yang berat.
Arunika tidak tahan dengan hening itu. Suaranya pecah ketika akhirnya keluar dari bibirnya.
“Kenapa kau menolongku?”
Rafael menoleh, menatapnya dengan mata gelap yang seakan mampu menembus lapisan jiwanya.
“Karena aku sudah pernah berjanji, Arunika ... tiga tahun lalu.”
Arunika menelan ludah, jantungnya berdegup tak karuan. Kilas balik itu menyeruak, tak bisa dia tolak. Tiga tahun yang lalu, dia masih ingat hari itu. Di ruang tamu mewah keluarga Arummuda, rumah orang tuanya, ia dipertemukan dengan Rafael untuk pertama kali. Semua orang terkejut, seorang mafia dengan reputasi dingin datang hanya untuk menemuinya. Rafael tidak banyak bicara, hanya menatapnya dengan tatapan yang membuatnya tak bisa bernapas.
Ayahnya, memohon agar dia menerima perjodohan itu. Rafael datang dengan niat baik, membawa kehormatan, dan di balik namanya yang gelap, ia menawarkan perlindungan. Tapi Arunika menolak dengan keras kepala, ia memilih Adrian. Pria sederhana yang ia cintai setengah mati. Adrian yang katanya pekerja keras, Adrian yang katanya akan berjuang bersama. Dia ingat bagaimana Rafael hanya diam kala itu, lalu berkata dengan suara berat, “Kalau suatu hari kau terjatuh, ingatlah, Arunika … aku akan ada di sana.”
Dan benar saja. Malam ini, ketika semua orang membuangnya, Rafael benar-benar ada. Tiga tahun itu sudah berlalu, air mata Arunika jatuh lagi, tapi kali ini bukan hanya karena luka. Ada sesuatu yang lain campuran rasa bersalah, haru, dan kebingungan.
“Aku lari darimu … aku memilih pria itu, dan sekarang aku kehilangan segalanya.”
Rafael tak mengalihkan pandangan dari jalan di depan.
“Kau tidak kehilangan segalanya. Kau hanya kehilangan ilusi. Apa yang kau kira cinta, ternyata hanyalah kebohongan yang dibungkus rapi.”
Arunika terisak. “Aku bodoh…”
Rafael menoleh singkat, kali ini ada bayangan emosi dalam tatapannya.
“Tidak, kau hanya mencintai orang yang salah. Dan kebodohan itu sudah terbayar mahal.”
Mobil berhenti di lampu merah. Rafael meraih sapu tangan dari jasnya, lalu tanpa ragu mengulurkannya ke wajah Arunika. Tangannya singkat menyentuh pipi basahnya, membuat jantung Arunika berdebar tak karuan.
“Hapus air matamu, kau bukan lagi perempuan yang boleh terlihat lemah. Kau akan berdiri di sampingku, dan aku tidak mau istriku menangis hanya karena pria rendahan itu.”
Arunika terperanjat.
“Istri?”
Tatapan Rafael menusuk. “Aku tidak menunggu tiga tahun hanya untuk melihatmu hancur. Jika kau setuju, mulai malam ini kau akan jadi milikku. Dan aku bersumpah … aku akan membuat semua orang yang telah merendahkanmu berlutut.”
Kata-kata itu menggema di benak Arunika. Bagian dirinya yang masih hancur berteriak menolak, tapi bagian lain bagian yang terluka, marah, dan ingin membalas dendam yang mulai menyala. Dia menunduk, suaranya lirih namun penuh tekad.
“Aku akan membalas mereka semua, Rafael. Adrian, Shila, bahkan ibu mertuaku, Rohani. Mereka sudah memperlakukan aku seperti binatang. Aku ingin mereka menyesal … aku ingin mereka merasakan apa yang kurasakan.”
Senyum tipis muncul di sudut bibir Rafael. Senyum dingin yang penuh arti.
“Itu jawaban yang kutunggu. Bersiaplah, Arunika. Perangmu baru saja dimulai.”
Mobil kembali melaju, meninggalkan hujan malam dan semua kepedihan di belakang.
Salam sehat ttp semangat... 💪💪😘😘
Salam kenal Thor.. 🙏🏻
mikir nihh