NovelToon NovelToon
Once Mine

Once Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Percintaan Konglomerat / Obsesi / Romansa / Slice of Life / Dark Romance
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Just_Loa

Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.

Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.

Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.

Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.

"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"

Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Where Silence Screams

Lorong lantai atas hotel itu sepi.

Hanya langkah kakinya yang terdengar, cepat dan berat. Lucien menyusuri koridor dengan dada mengencang. Ia tidak tahu kenapa, tapi sejak dua puluh menit lalu, pikirannya seperti diikat oleh rasa tak nyaman yang tak punya nama.

Pesta masih berlangsung. Gelas beradu, musik berdentum. Tapi bagi Lucien, semua itu terasa jauh, seperti gema dari dunia yang tak relevan.

Tadi, seorang staf sempat bilang kalau Nathaniel meninggalkan ruangan untuk menyusul seseorang.

"wanita itu" kata mereka.

Lucien sempat tersenyum miring mendengarnya. "Wanita itu?" Kata-kata itu menggantung, anehnya tidak lucu sama sekali.

Dan kemudian…

BRAK!

Sebuah suara berat dari ujung lorong membuat langkahnya terhenti.

Matanya langsung menoleh, telinganya siaga.

Bunyi itu bukan suara pintu tertutup biasa. Lebih seperti... sesuatu dibanting. Atau seseorang.

Ia mempercepat langkahnya.

Tiba di depan salah satu kamar VIP, kamar berlapis kayu gelap dengan emblem exclusive guest di pintunya. Ia mengenali ruangan ini. Salah satu favorit Nathaniel. Tempat di mana pria itu biasa bersembunyi dari dunia, dari tekanan, dari siapa pun.

Lucien mengetuk.

Tok. Tok. Tok.

“Nathaniel?”

Tak ada jawaban. Tapi ia yakin ia mendengar sesuatu di balik pintu itu. Napas. Gesekan. Sebuah gerakan samar yang membuat kulitnya bergidik.

Tok. Tok. Tok.

“Nate. Jawab aku.”

Masih sunyi. Lalu… suara.

Sangat lemah. Seperti bisikan yang mencoba bertahan hidup.

Lucien langsung mencengkeram kenop pintu. Terkunci.

Tanpa berpikir panjang, ia mundur setengah langkah dan—

BRAK!

Tendangan keras menghantam sisi bawah kunci.

Pintu itu berguncang. Belum terbuka. Ia menarik napas dalam, mengumpulkan semua kemarahan yang sejak tadi ditahannya.

BRAK!

Satu kali lagi. Suaranya menggema hingga ke ujung lorong.

BRAK!!

Akhirnya—

KLEK.

Pintu terbuka setengah, dan apa yang dilihatnya membuat waktu berhenti.

Nathaniel tergeletak di sisi sofa. Tubuhnya separuh telungkup, wajahnya pucat, darah merembes dari pelipis dan belakang kepalanya. Tapi itu bukan yang menghantam Lucien lebih dulu.

Sara.

Ia terduduk membungkuk di lantai, tubuhnya menggigil setengah tersembunyi oleh bayangan sofa. Rambutnya berantakan, wajahnya belepotan darah, entah darah siapa. Tapi matanya…

Kosong.

Seolah tak ada apa pun yang tertinggal di sana.

Gaunnya terkoyak di beberapa bagian. Bagian atasnya melorot, memperlihatkan kulit di leher dan dadanya dan di sana... terlihat jelas jejak kemerahan, samar tapi mencolok di kulit pucatnya. Luka itu bentuknya, letaknya Lucien tahu pasti siapa yang menyebabkannya. Tangannya terkepal.

Rambut Sara kusut, menjuntai ke wajah. Tangannya gemetar, dan di salah satu telapak... luka kecil menganga, berdarah. Tapi bukan itu yang paling menghantam Lucien melainkan ekspresinya. Kosong.

Lucien menahan napas. Butuh waktu sepersekian detik untuk bisa bergerak.

"Sara..." bisiknya, lebih seperti doa daripada panggilan.

Ia segera bergerak. Jasnya dilepas cepat, lalu perlahan disampirkan ke pundak Sara, namun jaraknya tetap dijaga. Ia bahkan tak berani menyentuh kulitnya langsung.

Lucien tahu… sesuatu dalam diri gadis itu sudah retak parah.

Dan yang paling menyesakkan adalah:

Ia terlalu terlambat untuk mencegahnya.

“Ini aku. Lucien.”

Nadanya pelan.

Ragu. Seperti bisikan kepada anak kecil yang baru saja diseret keluar dari mimpi buruk,dan belum tahu apakah dunia nyata lebih baik dari situ.

Sara tak menjawab.

Tapi napasnya memburu. Bahunya naik turun tak teratur. Tubuhnya membeku di tempat, punggung tetap melengkung tajam ke belakang sofa, seolah satu sentuhan saja akan membuatnya pecah. Jas di pundaknya hanya tergantung, tak dipegang, tak disadari.

Lucien menunduk sedikit, mencoba menatap matanya. Tapi Sara justru memalingkan wajah, refleks menghindar.

Tubuhnya masih menggigil hebat.

Ketika Lucien mengangkat tangan, hendak menyentuh pundaknya perlahan, sangat perlahan Sara mengejang. Bahunya kaku. Seolah tubuhnya belum bisa membedakan lagi: mana perlindungan, mana ancaman.

Lucien langsung menghentikan geraknya. Jemarinya hanya melayang di udara.

“Kau aman sekarang,” ucapnya, nyaris tanpa suara. “Tak ada yang bisa menyakitimu lagi. Aku janji.”

Ia menunggu. Diam. Memberi waktu.

Hanya setelah beberapa detik… Sara menoleh perlahan.

Dan ketika mata mereka akhirnya bertemu—

Lucien nyaris mundur.

Yang ia lihat bukan sekadar ketakutan.

Tapi kehancuran.

Seolah sebagian dari Sara… tak akan pernah kembali lagi.

Karena yang ia lihat bukan sekadar ketakutan.

Tapi kehilangan.

Patah.

Seolah gadis itu telah menyeberangi sesuatu… dan tak yakin bisa kembali.

Lucien tidak memeluknya.

Ia hanya tetap di sampingnya, menjaga jarak, tapi cukup dekat untuk membuat Sara tahu ia tidak sendiri.

Jasnya tetap menyelimuti tubuh mungil itu, dan tatapannya… penuh amarah yang nyaris tak tertahan.

Ia menunduk sedikit, berbicara tanpa tekanan.

“Aku di sini, oke? Aku tak akan ke mana-mana.”

Sara tidak menjawab. Tapi tangannya mulai mencengkeram sisi jas yang menjuntai di pahanya. Kecil. Lelah. Tapi masih hidup.

Baru setelah itu, Lucien berdiri. Pandangannya bergeser ke arah sofa.

Ke arah Nathaniel.

Masih bernapas. Tapi nyaris tak sadar. Mata setengah terbuka, mulut sedikit bergerak.

Lucien mengepalkan rahangnya. Jemarinya menyentuh ponsel di saku. Sekali tekan. Lalu:

“Ray. Bawa Clara dan Vivienne ke kamar 602. Sekarang.”

“Lucien? Ada apa?”

“Temani Sara,” ucapnya cepat. “Dia butuh mereka. Nathaniel harus dibawa ke rumah sakit. Cepat, Ray. Ini darurat.”

Tanpa menunggu jawaban, ia menutup telepon dan kembali menatap Sara.

Gadis itu kini bersandar ke sofa. Jasnya jatuh lemas di bahu, tangannya mencengkeram sisi lengan jas erat-erat. Seolah hanya itu yang membuatnya tetap hidup.

Lucien menatap Nathaniel terakhir kalinya mata lelaki itu masih setengah terbuka. Tapi tidak fokus.

Dan dengan suara rendah, lebih dingin dari apa pun malam itu, Lucien berkata:

“Kalau kau sadar nanti…”

“aku harap kau cukup sadar juga untuk mengerti kali ini, tak ada lagi yang akan melindungimu Nate.”

Suara langkah cepat terdengar dari lorong.

Lucien menoleh, tubuhnya bersiap.

Dan malam itu, di kamar bernomor 602 yang seharusnya penuh kemewahan dan privasi.

Hanya ada luka,

diam yang menusuk,

dan batas akhir dari kesabaran seorang teman.

****

Lorong rumah sakit itu sunyi.

Hanya suara jam dinding dan langkah sepatu perawat yang terdengar sesekali. Lampu-lampu redup memantul di lantai putih, menciptakan bayangan panjang di sekitar tubuh Lucien yang berdiri di dekat jendela kaca.

Ia memegang ponsel erat. Di layar hanya tertulis satu nama:

Velmier Residence.

Ragu sempat mengendap di matanya, tapi ia tahu, ini bukan saatnya untuk diam.

Ia menekan tombol hijau.

Sambungan cepat. Suara berat dan dingin menyambut dari ujung sana.

“Lucien.”

“Tuan Velmier,” ucapnya, nada suaranya datar, tapi nadinya berdegup kencang. “Maaf saya menghubungi malam-malam begini. Ini... tentang Nathaniel.”

Diam sejenak di seberang. Hening yang penuh tekanan.

“Apa yang terjadi?”

Lucien memejamkan mata. “Dia mengalami luka di kepala. Cukup serius. Tapi itu bukan hal terburuknya malam ini.”

Suara Lucien mulai merendah. “Ada seorang wanita... dia korban.”

Nada di ujung langsung berubah. Lebih tajam. Lebih mengancam.

“Siapa?”

Lucien menahan napas sejenak, lalu menjawab dengan nada yang terkontrol, meski terasa berat.

“Sara. Sara Elowen.”

Diam.

Bukan keheningan biasa. Tapi semacam jeda sebelum badai datang.

Lalu suara tua itu hanya berkata satu hal:

“Kirim lokasi.”

Klik. Telepon terputus.

Dan malam pun terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Lucien menurunkan ponsel perlahan, lalu membalikkan badan. Di seberang lorong, tak jauh dari pintu IGD, Sara duduk di bangku tunggu. Wajahnya pucat, sebagian masih ternoda darah. Rambutnya berantakan, dan jaketnya , jas milik Lucien, masih  membungkus tubuhnya seperti lapisan terakhir pertahanan yang tersisa.

Clara duduk di sebelah kiri, menggenggam tangannya erat. Vivienne di kanan, menatap lurus ke depan seolah belum bisa memproses semua yang baru terjadi.

Lucien mendekat perlahan.

Baru hendak membuka suara saat Sara lebih dulu bicara, tanpa menoleh.

"Jangan katakan apa pun."

Langkah Lucien terhenti seketika.

"Sara—"

"Aku serius."

Nada suaranya pelan, tapi penuh tekanan. "Jangan katakan pada siapa pun. Bukan ke polisi. Bukan ke guru. Bukan kepada siapa pun."

Lucien menatapnya, rahangnya mengeras.

"Sara, ini bukan hal sepele. Nathaniel nyaris—"

"Aku tahu."

Bisikan Sara memotongnya. Cepat. Penuh kegelisahan.

"Aku tahu segalanya. Tapi aku… akan benar-benar hancur kalau harus menghadapi semuanya. Pertanyaan. Tatapan. Wajahnya. Aku tak sanggup, Lucien. Aku hanya ingin ini... selesai."

Clara menoleh pelan. Wajahnya basah, mata sembab.

"Tapi kita tidak bisa membiarkannya begitu saja."

Sara menunduk sedikit, suaranya melemah, namun tetap bulat.

"Aku tidak meminta kalian membenarkan apa yang terjadi. Aku hanya meminta satu hal, biarkan aku pergi. Jangan jadikan ini lebih besar dari yang sudah terjadi. Aku tidak butuh pertarungan... Aku hanya butuh ketenangan."

Vivienne menggenggam jemarinya perlahan. Lembut.

"Kau tidak sendiri. Kami di sini, bersamamu."

Lucien terdiam.

Banyak hal yang ingin ia katakan. Ingin ia lakukan. Ingin ia gugat.

Tapi yang ada di hadapannya sekarang... adalah seorang perempuan muda yang sedang berjuang untuk tetap bernapas, dalam tubuh yang penuh luka yang tak terlihat.

Ia hanya mengangguk. Sekali.

Kemudian menoleh pada Clara dan Vivienne.

Pandangannya jelas.

Jaga dia.

Lucien mundur perlahan, memalingkan wajah.

Dan malam pun terus bergerak, bersama rahasia yang mulai dikubur dalam, dan luka yang belum tahu kapan akan pulih.

1
Mar Lina
akankah sara menerima cinta, Nathaniel
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
Just_Loa: siap kak trmakasih sdh mmpir 🧡
total 1 replies
Mar Lina
aku mampir
thor
Synyster Baztiar Gates
Next kak
Synyster Baztiar Gates
lanjutt thor
Synyster Baztiar Gates
Next..
Synyster Baztiar Gates
Bagus thor
iqbal nasution
oke
Carrick Cleverly Lim
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
Just_Loa: Hahaha makasih udah baca sampai malam! 🤍 Next chapter lagi direbus pelan-pelan biar makin nendang, yaaa 😏🔥 Stay tuned!
total 1 replies
Kuro Kagami
Keren, thor udah sukses buat cerita yang bikin deg-degan!
Just_Loa: Makasih banyak! 🥺 Senang banget ceritanya bisa bikin deg-degan. Ditunggu bab-bab selanjutnya yaa~ 💙
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!